Laras menatap lurus ke arah Tania yang kini duduk di meja yang sama dengan Kevin, menikmati makanannya sembari mengobrol dengan pemuda pujaannya.
Sejenak Laras merasa hatinya mendingin, senyuman di bibirnya hilang begitu saja. Dia menjadi kesal dan tidak sabar untuk memisahkan mereka.
Segera dia memesan makanan yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu. Laras memilih gado-gado, lalu membawanya ke meja yang ditempati Kevin.
Sebelum mencapai meja, Laras mengembalikan senyuman di wajahnya. Dia mengambil bangku di antara Kevin dan Tania, duduk dengan percaya diri tanpa mengetahui ketidaknyamanan dari kedua orang di meja yang sama.
"Hai Kevin," sapa Laras dengan suara yang lembut dan centil. Dia meletakkan sepiring gado-gado di atas meja dan tersenyum kecil, "Maaf membuatmu menunggu, aku tadi dapat tugas dari guru. Jika tidak, aku pasti tidak akan membiarkan seekor kadal mendekatimu." Saat dia mengatakan bagian terakhir, tatapan matanya secara sengaja atau tidak sengaja tertuju singkat ke arah Tania.
Tania menundukkan kepalanya rendah, dia makan dengan kaku. Mendengar sindiran langsung dari Laras, dia merasa ketakutan hingga membuat tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar.
"Jangan bicara omong kosong," kata Kevin, mengernyit mendengar ucapan Laras.
Laras tersenyum, dia memakan sepotong lontong berbentuk dadu yang telah dilumuri bumbu kacang dengan tenang. Makanan yang sederhana dan lumrah ditemukan itu menjadi sangat mewah di bawah perlakuan Laras.
"Baiklah, bagaimana jika kita bicara tentang rencana bertemu? Kapan dan dimana kamu ingin kita bertemu? Apa pun itu aku pasti akan setuju," katanya dengan antusias. Matanya berbinar, menatap Kevin penuh harap.
Setelah kedatangan Laras, Kevin mempercepat gerakannya dalam memakanan makanan di hadapannya. "Bertemu apa?" Tanyanya acuh tak acuh, tidak ada kepedulian sama sekali dalam suaranya.
"Tentu saja untuk jalan-jalan, hiburan, dan ... kencan," jawab Laras dengan bahagia. Di akhir kalimat, dia sengaja memperlambat nadanya membuat suara menggoda khas yang sukses membuat sebagian besar pemuda terpesona dan Kevin merinding.
"Tidak perlu," Kevin meraih botol mineral dan minum hingga tak tersisa satu tetes air pun di dalamnya. Setelah itu dia bangkit dan melangkah pergi dengan cepat.
Laras panik, melihat ke piring Kevin untuk menemukan bahwa ternyata pemuda itu telah menyelesaikan makanannya. Dia membuka mulutnya namun akhirnya tidak memanggil Kevin.
Itu salahnya karena datang terlambat sehingga dia tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Kevin.
Tapi itu bukan masalah utamanya saat ini!
Tatapan Laras dengan tajam tertuju pada Tania, senyuman genit dan suara centilnya hilang begitu saja tanpa jejak, hanya meninggalkan tatapan kebencian dan aura permusuhan darinya. "Apakah kamu pikir aku bercanda ketika memintamu menjauh dari Kevin?" Tanya Laras dengan penuh tekanan.
Tania meneguk ludah susah payah, dia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap Laras. "Aku, aku tidak, aku ..."
"Oh selain b***k, kamu juga gagap ya? Terus darimana kamu mendapatkan keberanian untuk mendekati Kevin? Apakah kamu tidak berpikir kamu sangat rendah dan tidak dapat berdiri di sisi seorang Kevin?" Setiap kalimat tanya yang dilontarkan Laras bagai pisau tajam yang menggores hati Tania.
Tania menggelengkan kepalanya panik, dia membuka mulutnya ingin memberi pembelaan untuk dirinya sendiri, namun dia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Dia terlalu takut, sehingga bahkan suaranya menjadi tidak jelas.
Tangannya dengan erat meremas sendok, merasakan keinginan yang kuat untuk pergi dari sini, namun dia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
Sebenarnya dia tidak ingin mendekati Kevin, lagi pula siapa juga yang ingin memprovokasi kakak kelas? Tetapi semua terjadi begitu saja, dia bertemu Kevin secara tidak sengaja dan Kevin menawarkannya untuk duduk disini. Tidak sopan menolak kebaikan orang lain, meski dia merasakan perasaan rumit setiap melihat Kevin, dia akhirnya duduk bersama pemuda tersebut.
Itu hanya duduk dan makan bersama, lagi pula tidak ada percakapan yang berarti terjadi. Dia benar-benar tidak mendekati Kevin dengan sengaja.
Meski Tania tahu dia tidak salah dan memiliki beberapa hal untuk dijadikan bantahan atas tuduhan yang diarahkan kepadanya, tetapi dia tidak berani untuk mengeluarkan suaranya.
Saat hatinya penuh kecemasan dan Laras tampaknya tidak akan melepaskannya, suara seorang pemuda terdengar.
"Kamu tidak pergi juga?"
Tania mengangkat kepalanya dan melihat orang tersebut adalah Kevin yang baru saja pergi dengan terburu-buru dari sini. Kenapa dia kembali?
Laras juga melihat kedatangan kembali Kevin, senyumannya kembali bersemi. Dia ingin menjawab pertanyaan Kevin dengan semangat namun tatapan pemuda itu sama sekali tidak tertuju padanya, melainkan kepada gadis penakut yang masih menundukkan kepalanya.
"Kenapa kamu memintanya pergi?" Tanya Laras dengan heran, kemudian matanya berbinar. "Kamu ingin berduaan saja denganku?" Senyumannya bahkan lebih lebar lagi, dia merasa bahwa pikirannya tidak mungkin salah.
Berpikir bahwa Kevin sangat ingin berduaan bersamanya dan bahkan mengusir gadis cupu itu pergi membuatnya merasa bahagia. "Kamu tunggu apa lagi? Pergi sana, cepat! Hush, hush!" Laras membuat gerakan mengusir pada Tania, mendesaknya untuk pergi sekarang juga.
Tania sama sekali tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk pergi dari sini. Dia mengangguk dengan kuat, lalu bangkit untuk segera melangkah keluar dari kantin. Dia tidak bisa menahan napas lega, merasa hidupnya telah diselamatkan ketika dia telah berhasil keluar dari lingkungan kantin.
"Nah, dia sudah pergi. Ayo duduk lagi di sini bersamaku," kata Laras dengan lembut dan penuh pemujaan.
Namun Kevin sama sekali tidak duduk, dia mengernyit dengan pandangan ke arah Laras. "Aku sudah mengatakan jangan mengganggu Tania, apa yang kamu katakan tadi padanya hingga membuatnya takut?" Tanyanya dengan kesal.
Ketika dia keluar dari kantin, dia ingat bahwa masih ada Tania di sana bersama Laras. Berpikir tentang sifat kikuk gadis itu, Kevin berjalan kembali untuk membawanya pergi. Jangan sampai Laras membuat gadis itu ketakutan lagi.
Dia baru saja masuk kembali ke kantin, dan melihat pemandangan yang membuatnya marah. Laras— gadis yang terus mengganggunya itu memiliki ekspresi sombong di wajahnya, dengan keangkuhan yang berlebihan ketika pandangannya tertuju pada Tania. Sedangkan Tania hanya menundukkan kepalanya, tubuhnya tegang dan dalam sekejap Kevin tahu bahwa gadis itu sangat ketakutan.
Jadi dia segera datang untuk membuat Tania pergi dan menjauh dari Laras. Dia tidak tahu apa yang dikatakan gadis angkuh ini pada Tania, tetapi Kevin tahu bahwa itu pasti bukan hal yang baik.
"Aku mengganggunya?" Tanya Laras dengan tatapan tidak percaya, "Kapan aku mengganggunya? Aku hanya duduk disini dan memakan makanan di depanku. Kenapa juga aku mengganggu gadis bodoh itu?"
"Tidak perlu membuat alasan, aku melihatnya sendiri." Kevin berkata dengan dingin, dia menatap Laras sekilas sebelum berbalik dan melangkah menjauh, mengabaikan panggilan Laras yang sangat lantang di belakangnya.
"Kevin! Kevin! Kamu mau kemana?" Laras bangkit, dia segera mengejar Kevin dan menghalangi jalan pemuda itu. "Kamu marah padaku hanya gadis itu? Kenapa? Dia bukan orang yang istimewa dan juga aku sama sekali tidak menyentuhnya, kenapa kamu menghindariku?" Tanya Laras dengan heran, merasa dirinya dianiaya.
Kevin mundur selangkah untuk menjauh dari Laras, "Aku menghindar bukan karena Tania, dari awal aku tidak menyukai atau pun mendekatimu. Jadi kamu juga lebih baik menjauh dariku," katanya tanpa ampun, melukai hati gadis di hadapannya.
Laras membeku di tempat, dia segera menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak mungkin, aku menyukaimu dan akan terus mendekatimu. Kamu akan menyukaiku akhirnya!" Serunya lantang.
Mereka berdua tidak sadar bahwa tindakan mereka terlalu besar sehingga menjadi perhatian publik. Murid-murid yang kini menikmati makanan mereka menatap ke arah mereka dengan penuh minat dan rasa penasaran, merasa bahwa seperti menonton drama menarik sehingga setiap pandangan tidak bisa menjauh dari keduanya.
"Terserah padamu," Kevin sudah lelah mengobrol dengan Laras, yang tidak ada pengertian sama sekali. Gadis itu hanya mementingkan perasaannya, mengabaikan perasaan dan kenyamanan orang lain hanya untuk memuaskan keinginan hatinya.
Kevin tidak menyukai sifat obsesi seperti itu, dia mengernyit hingga kedua alisnya hampir menyatu. "Jangan mengikutiku," katanya sebelum melangkah pergi dengan tegas.
"Kevin!" Seru Laras panik, mengabaikan seluruh pandangan sekitar mengarah padanya, dia berteriak dengan keras. "Aku menyukaimu dan akan terus mengejarmu! Aku yakin kamu pasti akan menyukaiku juga!" Serunya dengan volume besar mengerahkan seluruh suara dan tenaganya untuk mengeluarkan dua kalimat itu.
Kevin tidak menjawab, tubuh pemuda itu telah menghilang dari kantin, hanya menyisakan kebisuan yang menjawab Laras.
Laras berdiri diam di tempatnya untuk waktu yang lama, suara bisikan dari sekitar yang sedang membahasnya diabaikan begitu saja. Dia hanya merasa dadanya sangat sesak, seolah seseorang menjatuhkan beban berat ke hatinya. Itu membuatnya tidak nyaman, ingin melampiaskannya namun dia tidak tahu cara untuk melakukannya.
Akhirnya bel masuk berbunyi, menyadarkan gadis itu dari lamunan panjangnya. Dia menemukan beberapa tatapan dengan jelas tertuju kepadanya dan wajahnya langsung ganas. "Apa lihat-lihat? Tidak pernah lihat cewek cantik?" Tanyanya dengan kesal.
Murid-murid itu langsung mengalihkan tatapan mereka, berpura-pura menatap makanan lezat di depan mereka yang ternyata hanyalah piring kosong.
Laras mendengus kesal, seolah bukan dia yang tadinya termenung menyedihkan di tengah keramaian, langkahnya begitu arogan, berjalan keluar dari kantin dengan kepala terangkat seolah semua orang selain dia adalah orang rendahan.
Setelah kepergiannya, kantin menjadi ramai lagi. Mereka langsung dengan heboh membahas kejadian menarik yang baru saja terjadi seolah sedang mengulas film yang baru saja mereka saksikan. Meski bel masuk telah berbunyi, itu tidak menghentikan para murid untuk menetap di tempat dan terus bergosip dengan bahagia.
Ada yang tertawa merasa itu lucu, ada yang merasa bahwa Laras itu mengesalkan, dan ada juga yang merasa dia sangat menyedihkan.
"Aku akui dia sangat cantik, tetapi sifatnya benar-benar membuat kecantikannya menjadi sia-sia. Ternyata benar, tidak ada manusia yang sempurna." Seorang murid berkata dengan wajah seolah tahu segalanya.
Murid lainnya mengangguk setuju, "Jika saja dia tidak terlalu menyebalkan, Kevin mungkin sudah menyukainya."
"Tetapi aku merasa sifatnya tidak menyebalkan," orang lain segera menyambungnya. "Jika aku adalah Kevin, aku pasti akan menerimanya. Laras sangat cantik dan juga manja, siapa coba yang akan menolaknya?"
"Kevin," jawab semua orang dengan pasti.
Kisah Laras yang mengejar Kevin sudah menyebar ke seluruh angkatan kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas. Itu juga karena gadis itu tidak pernah ingin menyembunyikan perasaannya, dia sangat terbuka dan bahkan ingin seluruh dunia tahu bahwa dia menyukai Kevin.
Namun, dia tidak tahu bahwa perilakunya membuatnya menjadi tontonan publik yang menarik. Tak sedikit pembahasan di gosip antar murid tertuju padanya, entah itu rasa kasihan atau jijik, semua dikatakan oleh para murid tersebut di waktu senggang.
Sayang sekali, pikiran gadis tersebut hanya berputar pada bagaimana cara membuat Kevin— pemuda pujaannya jatuh hati kepadanya. Dia berjalan ke kelas dalam suasana hati yang buruk dan aura yang mengerikan, seolah dia ingin menelan seseorang hidup-hidup. Teman sekelasnya sudah terbiasa dengan Laras yang seperti itu, sehingga mereka tidak lagi merasa waspada dan hanya dengan cerdas menjauh dari jangkauannya.
"Kevin tidak ke kantin lagi?" Tanya Rena dengan bingung. Gadis itu tadi keluar kelas dengan sangat antusias dan semangat, dan ketika kembali hanya ada kegelapan dalam wajahnya. Itu membuatnya merasa sedikit kasihan pada temannya. Dan juga sedikit kesal dengan Kevin yang begitu tak berperasaan.
Laras duduk di tempatnya sendiri. Mendengar pertanyaan Rena, dia mendengus dengan keras. "Gadis bodoh itu membuat Kevin menjauhiku, benar-benar mengesalkan!"
"Siapa?" Tanya Rena penasaran.
"Siapa lagi? Tania si gadis bodoh," jawabnya dengan amarah yang jelas. Matanya tajam, dengan eyeliner hitam pekat di ujung matanya, membuatnya terlihat lebih sinis dan sadis.