Perasaan

1388 Words
Laras mengikuti langkah Kevin dengan susah payah, dia tersenyum diam-diam, merasa bahagia ketika mengingat kejadian yang baru saja terjadi itu. Namun melihat Kevin tampaknya sedang dalam suasana hati yang buruk, Laras menahan senyumannya agar tidak nampak. Dia mengikuti Kevin menuju ke kantin. Lalu meminta pemuda itu untuk duduk saja, dia kemudian pergi memesan makanan untuk mereka berdua. Laras membawa nampan di tangannya, dia melihat Kevin duduk termenung tampak dengan pikiran kosong. Laras tidak bisa lagi merasakan bahagia. Laras kadang bingung pada Kevin. Apa yang begitu spesial dari gadis cupu itu sehingga Kevin jatuh kepada kebohongannya yang jelas munafik. Tania tidak secantik dirinya, gadis itu juga penakut dan cengeng. Laras berpikir sangat keras dan yakin tidak ada sedikit pun hal baik yang bisa ditemukan pada diri Tania. "Kevin, makan dulu." Laras berkata dengan lembut, meletakkan sup ubi di depan Kevin dan depannya. Kevin mengangguk, berterima kasih dengan suara rendah dan makan dengan perlahan. Tidak ada kata lagi yang terucap darinya. Laras melihat Kevin yang tampak tak bersemangat dan merasa napsu makannya juga hilang. "Maaf, apakah kamu marah dengan tindakanku barusan?" Laras tiba-tiba berbicara, ketika dia berpikir Kevin mungkin marah karena dia mengaku sebagai kekasihnya, dia langsung menjadi panik. "Aku, aku hanya tidak ingin dia mengganggumu lagi. Jadi aku mengatakan hal seperti itu langsung tanpa berpikir. Sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa." Laras mengatakan hal itu namun dia menghela napas dalam hati. Sebenarnya dia sedikit bermaksud untuk pamer di depan Tania dan bangga ketika Kevin tidak membantah ucapannya saat itu. "Ini tidak ada hubungannya dengan kamu," kata Kevin sembari menggelengkan kepalanya. Artinya bahwa emosinya saat ini buka kesalahan Laras. Laras mengangguk namun tidak tega membiarkan lelaki pujaannya begitu lemah tanpa tenaga. "Kevin," panggil Laras halus, lembut, dan sedikit memanjakan. Kevin mengangkat pandangannya menatap ke arah gadis di depannya. "Ada apa?" tanyanya. Dia juga tahu bahwa emosinya saat ini tidak bagus, namun dia sedang tidak ingin mengurusi hal-hal. Laras menggelengkan kepala, tersenyum sangat cerah. "Kado yang kamu berikan padaku indah, aku suka." Dia mengangkat tangan kirinya, menggerakkan gelang pemberian dari Kevin untuknya dengan bahagia. Kevin mengikuti pandangan Laras dan mengangguk. "Bagus kalau kamu suka," katanya memaksa senyum tipis. Laras menatap wajah tampan Kevin dan menghela napas, dia bangkit berdiri dan pergi begitu saja. Tindakannya terlalu cepat, membuat Kevin terpana dan tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Dia melihat punggung gadis itu menjauh dan menghela napas berat. Mungkin Laras saat ini kesal padanya karena sikapnya yang acuh tak acuh? Kevin merenung sesaat dan akhirnya menggelengkan kepala. Meski tahu dia salah, namun dia benar-benar tidak ingin menanggapinya seperti biasa. Dia menghela napas lagi, menatap ke sup ubi di atas meja dan memakannya dengan perlahan. "Kevin!" Suara ceria Laras terdengar lagi. Gadis itu kembali duduk di tempatnya dan menyeringai polos. "Aku mendengar bahwa coklat bisa membuat suasana hati menjadi bagus lagi." Gadis itu berkata dengan ekspresi serius dan bersungguh-sungguh, meletakkan kantong plastik belanjaan tadi depan Kevin. "Coklat untukmu," lanjutnya sembari membuka kantong plastik tersebut, memperlihatkan makanan dan minuman coklat. Kevin menatap ke cokelat yang sangat banyak itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Laras. "Aku pikir kamu kasal karena aku mengabaikanmu," katanya dengan pelan. Laras tertegun ketika mendengar ucapan Kevin. "Aku? Kesal karena kamu mengabaikan ku?" Laras bertanya dengan tatapan tak percaya. Dia sudah mengejar Kevin untuk waktu yang lama. Jika hal seperti itu bisa membuatnya kesal maka tak mungkin dia masih bertahan sampai saat ini. Laras terkekeh, menatap Kevin dengan lucu. "Kamu meremehkan mentalku," katanya. Kevin juga memikirkannya, Laras selalu mengejarnya. Sebelumnya dia bahkan lebih acuh tak acuh dan tidak menjawab pertanyaan gadis itu, namun Laras tampaknya tidak terpengaruh dan masih menyukainya. Bahkan setelah Kevin salah paham padanya, gadis itu tetap tersenyum sangat cerah, tatapannya penuh pemujaan, tidak ada kebencian sedikit pun untuknya, seolah gadis itu akan memaklumi semua perbuatannya dan tidak akan pernah menyalahkannya. "Kamu sangat baik, kenapa kamu tidak mencoba menyukai yang lain?" Kevin menatap lurus ke mata Laras, mata yang tampaknya mengunci ribuan bintang di dalamnya. Laras merasa ngeri ketika mendengar kata-kata Kevin. "Kamu ingin menolakku dengan alasan umum bahwa aku terlalu baik untukmu?" tanya Laras dengan terkejut. Dia langsung menggelengkan kepalanya menolak, "Tidak, aku tidak mau. Kamu tidak perlu susah payah cari alasan untuk menolak ku, karena aku akan tetap mengejarmu." Kevin membuka mulutnya, ingin mengatakan bahwa itu bukan alasan yang dibuat-buat tetapi terhenti ketika melihat ketegasan dalam pandangan Laras. Dia hanya bisa menghela napas, tidak tahu harus bereaksi bagaimana untuk menghadapi gadis itu. "Kamu belum makan, cepat makan, sebentar lagi bel masuk." Kevin akhirnya mengakhiri topik itu dan menunjuk makanan yang diabaikan Laras sedari tadi. Laras mengangguk, makan dengan nikmat dan mengobrol dengan Kevin. Dia merasa senang ketika menemukan bahwa Kevin tidak lagi bersikap acuh tak acuh padanya. Pemuda itu menjawab setiap ucapannya dan mengobrol santai yang tampak lebih akrab dari sebelumnya. Laras hanya membeli coklat tanpa memakannya tetapi merasa dirinya lebih dengan rasa manis saat ini. Dia mulai bertanya-tanya apakah akhirnya hari pemuda itu terbuka untuknya, apakah sekarang saatnya untuk terus menerjang ke depan dan mengakui perasaannya? Ketika bel masuk berbunyi, Laras berjalan beriringan bersama Kevin. Hanya ketika mereka dipisahkan oleh jalan bercabang di koridor, Laras melambai. "Kevin, aku menyukaimu, dah!" Dia melambaikan tangannya dengan semangat dan segera berlari menuju ke kelasnya setelah mengatakan perasaannya dengan lantang di depan orang yang disukainya. Rena melihat temannya itu kembali dengan senyum lebar seolah akan merobek bibirnya dan memiliki keinginan untuk memutar matanya. Entah kenapa, Rena menjadi semakin merasa Laras benar-benar tak tertolong lagi. Suatu waktu dia muncul dengan kesal, marah, sedih dan di waktu berikutnya dia bisa kembali dengan bahagia dan senyum musim semi yang menyegarkan. Jika saja Rena tidak kenal akrab dengan gadis itu, maka dia akan berpikir bahwa Laras itu pasti sudah gila dan perlu dirawat di rumah sakit. "Rena, Rena!" Laras menyenggol tempatnya, tampak tidak nyaman sebelum membagikan kebahagiaannya kepada orang lain. Rena bergumam pelan untuk merespons Laras. "Sepertinya Kevin sudah mulai menyukaiku," kata Laras dengan tawa yang tak tertahankan. Rena meliriknya datar, dia sama sekali tidak yakin dan tidak percaya. Tetapi jika dia mengatakannya, Laras pasti akan marah dan menyuruhnya tutup mulut. Jadi Rena hanya mengangguk, dengan enggan menyetujui kata-katanya. "Tadi kan gadis cupu itu berusaha mendekati Kevin, aku kebetulan lihat. Awalnya aku pikir aku perlu maju untuk memisahkan mereka, tetapi ternyata Kevin berusaha menjauh dari gadis itu." Semangat Laras berkobar ketika mengatakan hal itu. Kebahagiannya kembali muncul. "Tetapi gadis cupu itu tidak mau melepaskan Kevin, ya sudah aku maju dan mengaku sebagai kekasih Kevin." Laras berkata dan segera bahkan matanya telah menyipit membentuk bulan sabit. Rena mengangkat alisnya, terkejut ketika mendengarnya. "Kamu mengaku pacar Kevin di depan mereka berdua?" Laras mengangguk, namun tidak berbicara lagi. Hal itu membuat tangan Rena terasa gatal ingin memukul temannya. "Jadi bagaimana reaksi Kevin?" "Kamu tidak bertanya bagaimana reaksi gadis cupu itu?" Laras mengangkat alisnya terkejut. "Sedih, menangis, dan terluka. Ya kan?" tebak Rena dengan percaya diri. Laras mengangguk, menatap Rena dengan penuh kekaguman. Dia memberikan jempolnya kepada temannya itu. "Dan Kevin tidak membantah kata-kataku, itu artinya dia menyetujuinya diam-diam." Rena mengangguk acuh tak acuh, "Maksudku bagaimana reaksi Kevin setelah kalian sudah terpisah dari Tania? Apakah dia biasa saja atau sedih?" Ketika Rena mengajukan pertanyaan itu, Laras merasa tidak nyaman. Dia mengerutkan keningnya dan menatap Rena dengan waspada. "Kenapa bertanya seperti itu?" tanyanya dengan curiga. Rena melirik ke pintu kelas di mana guru telah masuk. "Jawabanmu menentukan bagaimana perasaan Kevin pada Tania saat ini," katanya dengan suara rendah. "Hah? Apa maksudmu?" Laras melotot, "Kevin sudah tidak menyukai Tania!" geramnya kesal. Rena melirik ke arah Laras. Dia mengangguk, menepuk pundak temannya itu untuk mengisyaratkan agar dia tenang. "Ya, ya, aku hanya bicara ngasal. Kamu tenang, kelas sudah dimulai." Rena kemudian membersihkan mejanya dari kemasan cemilan dan mengambil bukunya. Dari sudut matanya, dia melihat bahwa temannya sudah tampak termenung. Kebahagiaannya sebelumnya lenyap sudah seolah tersedot ke dalam lubang hitam. Nah kan, orang jatuh cinta benar-benar merepotkan. Rena menghela napas tak berdaya. Mengabaikan temannya yang sedang diam menyendiri itu dan fokus memperhatikan guru di depan. Kevin masih memiliki perasaan untuk Tania? Laras bertanya-tanya dalam hatinya. Dia memikirkannya dengan keras, namun tak membuahkan hasil. Otaknya yang jarang digunakan tidak berfungsi dan tidak ingin memberitahukannya jawabannya. Atau mungkin dia sendiri yang tidak ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu. Laras melirik tajam ke teman yang tidak diakuinya itu. Dia merasa kesal bahwa Rena selalu mengatakan hal yang tidak menyenangkan. Benar-benar membuat suasana hatinya segera jatuh dari langit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD