Aktivitas Hari Minggu

1132 Words
Laras makan bubur dengan nikmat, masakan dari bibinya selalu sangat lezat dan menaikkan mood. Dia melihat kakak sepupunya itu masih di sini dan terdiam tampak merenung, Laras mengangkat alisnya heran. "Kenapa? Mikirin beban hidup?" tanyanya sembari terkikik. Randi tertawa rendah ketika mendengar pertanyaan aneh adik sepupunya itu, dia bersandar di sofa dan menggelengkan kepala. "Aku akan pergi sekitar satu minggu," katanya sembari melirik ke arah Laras. "Hum?" Laras menoleh, jejak keheranan terlihat jelas di matanya. "Kemana?" tanyanya. Randi memberikan segelas air kepada Laras sembari menjawab pertanyaan dengan tenang, "Kota Z." Laras menerima gelas itu dan minum, dia perlu waktu lama untuk mencari tahu kota macam apa yang disebutkan Randi. Setelah beberapa saat dia akhirnya mengingatnya, bagaimana pun Laras dulunya sering dibawa ibunya keliling kota dan jadi dia kurang banyak tahu kota-kota di negara ini. "Itu kan terpencil bangat, aku pernah ke sana waktu kecil, bayangin aja tidak ada signal." Laras mendelik ketika menceritakannya. Baginya hal yang paling utama yang tidak boleh lepas padanya adalah signal. Apalah hidupnya tanpa signal. Randi bergumam, "Sudah ada." "Tapi pasti masih sangat terpencil. Emang kenapa coba kamu pergi ke sana? Ini kan masih sekolah, aneh." Laras menggelengkan kepala, bersikap seperti orang yang sangat rajin belajar sedang mengkritik orang yang ingin bolos sekolah. Tingkah dan perilakunya benar-benar membuat orang tidak dapat membayangkan bahwa dia memiliki nilai yang buruk serta sering mendapatkan teguran dari guru. Randi mengambil bantal sofa dan memukulnya ke kepala samping Laras tanpa kekuatan. "Aku ke sana untuk ikut kompetisi, bukan jalan-jalan." Mendengar hal tersebut, Laras mengangguk dengan acak, dia melirik ke arah Randi, berpikir dan berdecak lidah. "Kamu sudah kelas dua belas, bukankah kegiatan untuk kelas dua dikurangi ya? Kenapa masih ikut kompetisi ginian? Dasar." "Iya, ini kompetisi terakhirku." Randi berkata dengan senyum kecil. Laras meliriknya dan mengangguk, kakak sepupunya itu selalu mengikuti banyak lomba, olimpiade, kompetisi, dan hal-hal lainnya. Tak terhitung berapa penghargaan yang telah dia terima. Piala dari kenyataannya bahkan telah memenuhi tempat piala di kantor kepala sekolah. Dan di kamarnya sendiri banyak piagam serta medali yang menumpuk. Itu adalah hal yang aneh bagi Laras. Mereka adalah keluarga, tetapi kenapa Randi bisa begitu mudah mendapatkan juara di setiap kompetisi pelajaran, tetapi dia bahkan tidak tahu pelajaran yang sedang berlangsung di kelas? Laras bahkan pernah mengira Randi adalah cheat dalam hidup. Setelah selesai memberitahukan informasi itu kepada Laras, Randi berdiri dai sofa. "Jangan membuat masalah ketika aku tidak ada," katanya memberi pengingat yang jelas. Laras melihat ekspresi Randi yang tampak serius dan tidak bercanda, dia kemudian mengangguk patuh. "Apakah akhir-akhir ini aku membuat masalah untukmu? Kamu tidak perlu memedulikan aku, percaya saja aku pasti akan sangat berperilaku baik." Randi sama sekali tidak percaya, dia mengacak rambut berantakan Laras dan berbalik pergi. "Menyebalkan," Laras melempari bantal sofa ke arah punggung Randi, kesal karena rambutnya menjadi sarang burung akibat kakak sepupunya itu. Setelah beberapa saat, dia segera berdiri dan berlari ke pintu. "Randi, kamu perginya kapan?" Randi menghentikan langkahnya, dia menoleh melihat kepala Laras yang muncul dengan badannya tersembunyi di belakang pintu. "Hari ini," katanya dengan tenang. "Hah?" Laras mengerjap, lalu dia mengangguk, "Oke? Naik pesawat, kan? Mau aku antar ke bandara?" Randi tertawa, "Jangan, nanti kamu hilang di bandara tidak ada yang bisa menemukanmu." Laras memutar matanya, mencibir dengan gerakan mulut berlebihan dan akhirnya menutup pintu rapat. Dia berjalan kembali ke sofa duduk dengan malas, dan mencari acara televisi yang menghibur. Setiap hari Minggu, dia terkadang akan keluar untuk jalan-jalan bersama Rena, pergi ke mal, belanja atau nonton di bioskop. Hari ini pun tidak terkecuali. Dia merasa bosan hanya berdiam diri di rumah, jadi dia meraih ponselnya untuk menelepon Rena. "Halo," suara malas Rena terdengar. Laras melihat ke jam dinding dan berdecak lidah, "Kamu masih tidur jam segini?" tanyanya dengan nada mengejek. "Hum, ini hari Minggu, kenapa aku harus bangun cepat? Katakan, kemana kamu akan mengajakku hari ini?" tanya Rena langsung tanpa basa basi, lagi pula pertemanan mereka selalu begitu langsung. Laras berdecak lidah, "Ke mal, yuk. Aku ingin belanja bulanan." "Oke, aku siap-siap. Dalam setengah jam, aku sudah di rumahmu." Suara Rena segera menjadi semangat dengan vitalitas yang penuh. "Oke, jangan lama-lama." Laras berkata dan memutuskan panggilan. Dia mengambil mangkuk dan gelas kotor di atas meja, lalu membawanya ke dapur. Setelah itu, dia dengan malas berjalan ke lantai dua menuju kamarnya dengan langkah zombi. Dia melihat banyaknya anak tangga yang perlu dia daki untuk sampai ke kamarnya dan menghela napas tak berdaya. Sepertinya dia harus meminta ibu atau ayahnya untuk memberinya modal agar bisa membuat lift di rumah. Namun ide malas itu hanya berlangsung sekilas, dia membuangnya begitu saja ketika telah sampai di kamarnya. Laras berhenti di depan meja riasnya, dia melirik ke cermin. Melihat sosoknya yang begitu kacau, Laras cemberut, dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Mandi merupakan satu dari dua hal yang sangat disukai Laras, dia membutuhkan banyak waktu di kamar mandi. Lagi pula sebagian besar waktunya adalah perawatan tubuh yang tentu saja sangat penting dalam hidupnya. Ketika Rena sudah sampai di depan rumah Laras, dia berdiri di depan pintu, membunyikan bel untuk waktu yang lama dan tidak ada yang menanggapinya. Akhirnya dia menyerah bersikap sebagai tamu yang sopan dan langsung membuka pintu untuk masuk ke dalam rumah dengan santai. Dia melihat ke dalam ruangan yang luas namun tanpa penghuni, Rena langsung berjalan ke tangga lantai dua dan menuju ke kamar Laras. Baru saja dia masuk, suara air terdengar samar dari kamar mandi, Rena berdecak lidah, duduk di depan meja rias dan memakai alat rias Laras dengan santai sembari menunggu sang tuan rumah. Kamar mandi Laras terhubung dengan ruang ganti, jadi setelah mandi dia langsung pergi ke ruang ganti untuk memakai gaun yang cantik. Saat dia keluar, dia melihat Rena telah datang. "Kamu kapan tiba?" tanya Laras santai, dia berdiri di depan meja rias, mengambil pelembab dan dengan santai menepuk-nepuknya di wajahnya. "Tidak lama, baru dua puluh menitan doang." Rena menjawab dengan nada mengejek yang terlihat jelas sedang menyindir. "Oh," Laras sama sekali tidak peduli. "Btw, kapan kamu beli boneka besar itu?" Rena menunjuk ke boneka di atas tempat tidur Laras, merasa sedikit iri dan ingin juga memilikinya. "Dimana belinya? Kayaknya enak dijadiin bantal guling." Laras melirik santai ke tempat tidurnya, lalu terkekeh. "Randi memberikannya sebagai hadiah ulang tahunku." "Serius?" tanya Rena dengan ekspresi tak percaya, "Kak Randi tipe orang yang memberikan boneka sebagai kado?" "Hum," Laras mengangguk, "Jangan tertipu dengan tampang sok kerennya itu, dia benar-benar tidak sekeren itu. Aku menyimpan banyak aibnya sedari kecil, jika kamu tahu semuanya, maka kamu tidak akan berpikir dia benar-benar berpikir bahwa dia sebaik itu." "Oh, apa aibnya?" tanya Rena dengan penuh minat, sangat tertarik untuk mengetahuinya. Namun Laras menggelengkan kepalanya, "Tidak semudah itu untuk mengetahuinya. Aku masih akan menyimpannya untuk mengancamnya jika diperlukan." Setelah itu dia tertawa jahat, sangat pas dengan karakter antagonis yang puas dengan rencana buruknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD