Jijik?

1410 Words
Kevin sering mendengar pujian dari Laras namun tak terelakkan bahwa dia sedikit malu dan merasa canggung. Terlebih lagi gadis itu tidak mengecilkan suaranya sama sekali, tampak ingin semua orang mendengar ucapannya. Apa yang dipikirkan Kevin tidaklah salah. Laras benar-benar ingin setiap gadis yang datang untuk Kevin hari ini lihat bahwa dia sangat akrab dengan Kevin dan menyerah untuk mendekati Kevin. Laras menghela napas dalam hati, Kevin terlalu tampan dan baik, banyak orang menyukainya dan itu adalah tantangan yang harus dia emban karena telah jatuh hati pada pemuda populer itu. Istirahat tidak berlangsung lama, Laras tidak mengobrol banyak dan babak kedua telah dimulai. Laras kembali ke bangkunya sebelumnya bersama Rena terus menyaksikan pertandingan dengan gembira dan sorakan keras. Akhirnya ketika tanda-tanda menunjukkan bahwa sekolah mereka akan menang. Laras menjadi panik dan dengan gelisah terus bersorak. Suara peluit terdengar nyaring, ada sorakan gembira dan desahan kecewa di gedung olahraga yang luas. Laras sangat bahagia, dia memberikan air kepada Kevin lagi lalu memuji seluruh tim bermain dengan baik. Kali ini dia benar-benar memberikan pujian tulus kepada anggota lain yang sedari diabaikannya. "Terima kasih," kata Kevin dengan senyum tipis. "Hei, kali ini kalian beruntung." Sebuah suara pemuda datang mendekat ke arah mereka dengan nada akrab dan bersahabat. Laras menoleh dan menemukan bahwa pemuda tersebut adalah salah satu pemain basket tim lawan. Dia menyipitkan mata, menatap dari atas ke bawah dan segera menganggukkan kepala. Benar saja Kevin yang paling baik. Kevin melihat keberadaan temannya dan terkekeh, "Kalian semakin lemah," katanya dengan sedikit nada provokasi. Sepertinya mereka sering saling memberi komentar buruk satu sama lain, namun tidak ada yang menyimpan dalam hati. Mereka mengobrol dengan santai seolah pertandingan sengit dan penuh ketegangan tidak terjadi. Kemal tertawa, kemudian tatapannya tertuju pada gadis cantik di sisi Kevin. "Oh, itu kamu? Kita bertemu lagi," katanya dengan senyum nakal. Laras melirik ke arah Kemal, mengerutkan keningnya, dia sejenak melupakan siapa pemuda itu dan kapan dia bertemu dengannya. "Di ulang tahun Kevin, apakah kamu ingat?" Kemal melihat keheranan d matanya dan menjelaskan dengan sedikit tak berdaya dalam suaranya. Baru kali ini dia bertemu gadis yang melupakannya saat dia mengambil inisiatif menyapa. Laras terdiam sejenak, seolah baru teringat sesuatu, dia mendelik, mundur menjauh dari Kemal. "Jangan sok akrab, aku tidak mengenalmu." "Jangan gitu dong, Cantik. Bukankah malam itu kita bertemu dalam takdir yang penuh kebahagiaan." Kemal berkata dengan senyuman dan tatapan menggoda. Laras mundur terus ke belakang Kevin, merasa jijik ketika mendengar kata-kata Kemal. Kemal ingin maju mendekati Laras, tetapi Rena secara alami berdiri di antara mereka. Ekspresi wajahnya tampak sangat alami dan tidak disengaja sama sekali. "Jangan mengganggunya," tegur Kevin untuk Kemal. Dia sudah mengenal betapa buruknya temannya itu ketika mendekati seorang gadis. "Kenapa? Dia pacarmu?" Kemal mengangkat alisnya dengan penuh kejutan. Di pesta ulang tahun sebelumnya, Kemal jelas melihat Kevin bersikap acuh tak acuh kepada Laras. Tetapi kenapa sekarang tampak begitu dekat. Dia mengelus dagunya, merasa pasti ada sesuatu. "Biar aku beritahu," kata Laras dengan suara lantang. "Aku hanya menyukai Kevin dan akan menjadi pacar Kevin. Enyah kamu." Beberapa anggota tim basket yang telah ditraktir Laras juga berseru untuk mendukungnya. Pikiran mereka sangat simpel, siapa yang memberi mereka keuntungan, maka mereka akan berada di pihak orang tersebut. "Apakah kamu sudah selesai?" Laras menoleh, melihat kakak sepupunya tiba-tiba muncul dari belakangnya. Dia mengangguk, "Pertandingan sudah selesai." "Kalau begitu ayo pulang," kata Randi, melirik sekilas ke arah Kemal tanpa jejak. Kevin mengangguk, "Ya, kamu pulanglah. Terima kasih sudah datang dan mendukung." Laras masih ingin bersama dengan Kevin. Namun melihat wajah tegas kakak sepupunya dan mendengar ucapan Kevin, dia akhirnya mengangguk dan menurut. Sesampainya di dalam mobil, Laras mendengus. "Siapa sih cowok itu, ganggu mulu." "Dia mengganggumu di pesta ulang tahun Kevin?" tanya Rena dengan heran. Laras menganggukkan kepalanya, lalu berdecak lidah. "Menjijikkan," katanya sembari mendelik. Rena melirik ke arah gadis itu dan menoleh ke jendela. Setelah beberapa saat, dia seolah baru memikirkan sesuatu dan berkata. "Saat kamu menggoda Kevin, maka pikirkan itu." Laras melotot ke arah Rena. "Kamu ingin membandingkan aku dengan cowok tidak jelas itu?" Rena tidak berani menganggukkan kepala, "Tidak, kamu yang terbaik," katanya dengan nada datar tanpa emosi. Laras mendengus, lalu bersandar ke kursi dan menatap ke luar jendela. Kata-kata Rena kemudian terbayang-bayang di pikirannya. Apa mungkin dia menggoda Kevin terlalu berlebihan? Apa yang Kevin pikirkan padanya? Apakah pemuda yang disukainya itu merasa jijik? Laras mengerutkan kening, merasa sangat cemas dan tidak tahu harus berbuat apa. "Jangan pikirkan, aku hanya asal bicara." Rena melihat gejolak batin di tatapan Laras dan mencoba untuk menenangkannya. Namun jelas itu tidak berhasil sama sekali. Laras melotot tajam ke arah Rena lalu sibuk dengan pikirannya. Otaknya yang jarang digunakan tampaknya menderita dengan beban pikiran tanpa akhir Laras. Kemudian gadis itu melihat ke pengemudi mobil dan bertanya dengan penuh harapan. "Randi, setiap kali aku memuji dan menggodamu, apa yang kamu rasakan?" tanya Laras dengan waspada, takut mendengar hal yang tidak dia inginkan. "Kamu tidak jijik kan?" Randi menghentikan mobil di lampu merah, dia melirik adik sepupunya melalui kaca spion tengah dan bergumam rendah. "Tidak," jawabnya dengan tenang. Laras menghela napas lega, dia langsung menoleh dan menatap Rena penuh kemenangan. "Sudah aku bilang, aku beda dari cowok tidak jelas itu." Rena memutar matanya, menoleh ke arah jendela di sampingnya. "Bukankah aku sudah bilang aku hanya bicara ngasal." Mobil berhenti di depan pekarangan rumah Rena. Rena turun dari mobil, berterima kasih kepada Randi dan melambai kepada Laras. Setelah mobil hanya menyisakan dua remaja kakak adik sepupu, Laras berdehem panjang. Tubuhnya bersandar malas di kursi dengan mata setengah terpejam. Dirinya saat ini tanpa penjagaan sama sekali, seolah tidak memiliki energi hanya dengan menggerakkan satu jari pun. Tak lama mobil berhenti di garasi rumah keluarga Randi. Randi melihat gadis itu melangkah malas pulang ke rumah besar yang sepi. Dia mendesah pelan dan mengikutinya di belakang. "Duduk di sofa, aku akan mengambilkan air hangat." Randi memberi instruksi, menunjuk ke sofa ruang tengah. Laras menggerutu tidak puas tetapi menuruti kata-kata kakaknya. Dia berbaring di sofa yang panjang, matanya tertutup dengan tubuhnya yang lemah layu tanpa energi. "Laras, minum air dulu." Randi mengangkat gadis malas itu untuk duduk dan menyerahkan ujung gelas ke mulutnya. Rasa hangat yang pas, Laras dengan patuh minum. Dia merasa tenggorokannya membaik dan menghindar untuk memberi isyarat dia tidak akan minum lagi. "Tidur di kamar," kata Randi. "Hum," Laras bergumam, memegang kuat lengan kakaknya untuk menopang tubuhnya bangkit berdiri dan berjalan malas ke arah kamarnya. Randi melihat punggung gadis itu semakin menjauh dan akhirnya tak terlihat lagi. Dia meletakkan gelas ke dapur, mengunci pintu rumah Laras dan berjalan ke rumahnya sendiri. Ketika Laras bangun, dia disapa oleh gelap yang menyelimuti pandangannya. Dia sudah terbiasa dengan kegelapan di sekitarnya jadi tidak kaget atau takut sekali pun. Gadis itu bergerak malas di tempat tidur, tangannya meraba sekitar mencari ponselnya. Ketika dia melihat bahwa sekarang sudah tengah malam, Laras mendesah tak berdaya dan bangkit bangun. Dia masih mengantuk, tetapi dibangunkan oleh rasa lapar dan keluhan di perutnya. "Dia menyalakan lampu ruangan satu persatu, keadaannya yang berantakan akibat baru bangun terlihat jelas. Bajunya telah acak-acakkan, dengan rambut yang tersebar kemana-mana. Laras memeriksa kulkas, jika tidak ada makan maka dia akan memesan saja. Untungnya, Randi, kakaknya yang baik dan pengertian telah meramal bahwa Laras akan bangun tengah malam untuk makan. Jadi gadis itu menemukan makanan di kulkas dan memanaskannya sebentar sebelum makan dengan lahap. Di ruangan itu, hanya ada suara dentingan alat makan dengan jarum jam yang bergerak lambat. Setelah makan, Laras membiarkan semua piring kotor di atas meja, membiarkan Randi atau bi Ina datang membersihkannya. Dia berjalan dengan malas, menuju ke sofa ruang tengah. Berbaring malas dan memutar televisi hingga memecahkan keheningan di sekitarnya. Laras menonton dengan malas, sesekali fokusnya tertarik ke ponselnya dan melihat hal-hal populer di sosial media. Hingga akhirnya dia tanpa sadar tertidur, ponselnya jatuh ke lantai dan televisi masih menyala tanpa ada yang menghiraukannya. "Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Randi kesal, ketika melihat Laras baru saja bangun dengan malas. Dia baru saja datang untuk mengantarkan sarapan kepada adik sepupunya, namun dihadirkan oleh pemandangan berantakan di ruang tengah. Randi mengambil remote dan mematikan televisi, dia meraih ponsel gadis itu dan meletakkannya ke atas meja kaca. Dan menunggu Laras bangun. Laras bangun dengan meringkuk dalam selimut, mendengar kritik tidak puas dari kakak sepupunya, dia segera sadar. "Aku ketiduran," katanya sembari menguap lebar. "Sarapan apa kali ini?" tanyanya dengan penuh minat, mengalihkan topik begitu aja. "Ibu membuat bubur ayam, kamu cuci muka dan makan." Laras melihat ke arah rantang di atas meja dan mengangguk dengan patuh. "Oke, oke, aku tahu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD