Sosok yang Diharapkan

1195 Words
Ketika Laras sampai ke restoran, dia telah melihat teman-temannya menunggunya di dalam lobi. Ketika mereka melihat Laras mereka menjadi bersemangat namun tidak berani begitu heboh ketika melihat sosok ketua OSIS berjalan di belakang Laras. Seolah mereka takut jika mereka berbicara sangat keras, maka Randi akan mengurangi poin mereka begitu saja. Tentu saja itu hanya pikiran absurd mereka, namun karena kesan Randi pada orang-orang sangat mendalam sehingga mereka segan kepadanya. "Kalian sudah lama menunggu? Kenapa tidak menunggu ke dalam ruangannya langsung, ayo pergi." Dia memberi isyarat kepada teman-teman kelasnya untuk mengikutinya ke ruang VVIP yang sangat mewah dengan fasilitas terbaik. Karena Rifaldi— kakak Laras telah mengaturnya dengan manajer restoran sehingga di ruangan telah disediakan banyak kursi yang dapat semua orang duduki tanpa ada satu pun yang mengeluh tidak dapat bagian. Malah masih ada beberapa kursi kosong yang tampak mengganggu pemandangan. "Kalian pesan apa pun yang kalian inginkan. Khusus malam ini, semuanya gratis!" Laras menyampaikan pengumuman ini dengan lantang, menimbulkan sorakan semangat dari teman-teman sekelasnya. Kemudian mereka saling mengoper buku menu dan memesan tanpa menahan diri. Lagi pula semua teman Laras tahu betapa royalnya gadis itu, jadi tidak ada yang berkecil hati sama sekali dengan jamuan mewah ini. Laras tersenyum melihat kegembiraan di sekitarnya. Dia menoleh ke arah kakak sepupunya, bertanya dengan suasana hati yang baik. "Kamu makan juga, pilih yang paling mahal. Mari buat ayahku jatuh bangkrut," katanya dengan senyuman kejam, dia bahkan tertawa layaknya peran antagonis yang baru saja mendapatkan rencana jahat. Randi melihat tingkah konyol Laras dan menggelengkan kepala heran. Dia merasa heran dengan keadaan cinta dan benci antara hubungan kekeluargaan Laras meski dia pun termasuk dalam keluarga gadis itu. Laras tidak tanggung-tanggung, dia memimpin mengatakan semua menu paling mahal. Tampaknya dia benar-benar berencana membuat perusahaan ayahnya jatuh bangkrut. Meski dia tidak bisa membuatnya langsung bangkrut, tetapi Laras akan mencobanya dari hal kecil. Sayangnya dia tidak tahu, bukannya marah, Gunawan— ayah Lara sangat senang ketika mengetahui bahwa Laras memesan banyak dan bahkan mengajak semua teman sekelasnya untuk makan bersama. Dia mengangkat tangannya, meletakkan ponsel di dekat telinganya. "Apa pun yang anakku inginkan, turuti semuanya. Bahkan jika restoran tutup hari ini, aku tidak peduli. Prioritaskan Laras, kalau perlu, batalkan semua janji klien ke hari lain." Rifaldi yang mendengarnya mendesah berat, menggelengkan kepala melihat tingkah laku ayahnya tetapi tidak berkomentar apa-apa. Setelah semua menu telah dipesan, semua orang mengobrol dengan riang, mengatakan banyak hal dan tampak berapi-api. Laras juga masuk ke dalam obrolan, tertawa tanpa henti dan sesekali melirik ke ponselnya yang tergeletak di atas meja. "Ada apa di ponselmu? Kenapa terus melihatnya?" tanya Rena dengan penasaran, mengangkat tangannya dan memakan keripik. Laras tidak mengerti bagaimana temannya itu bisa menyediakan keripik di mana saja kapan saja dan di situasi apa pun. Tampaknya keripik dan Rena itu tak bisa terlepaskan. Bahkan karena Laras dekat dengan Rena, dia juga mulai mengembangkan kebiasaan menyediakan cemilan keripik di rumah. "Tidak, aku tidak melihat ponsel," katanya cepat, namun tatapannya masih tertuju pada ponselnya. "Sudahlah, dia tidak akan ingat." Rena mengatakannya dengan sangat baik hati. Namun dia tidak menyangka, pengingat baik hatinya itu membuat temannya menjadi marah dan kesal. "Rena, aku mengatakan agar kamu tidak bicara hari ini padaku! Jangan bicara padaku! Tutup mulutmu!" Laras melotot marah. Jika saja dia tidak sayang pada ponselnya, dia pasti akan melemparkannya kepada Rena. Rena langsung mengangguk, membuat gerakan mengunci bibirnya dan membuang kunci imajiner jauh-jauh. Suasana hati Laras segera menurun ke titik beku, membuatnya tidak dapat tersenyum lagi. "Rena menyebalkan," gerutunya kesal, mendengus dan menatap ke arah ponselnya yang memiliki layar gelap. Ya, gelap, seperti hatinya. Randi melirik ke arah gadis itu, namun hanya diam. Dia menatap ke arah layar ponselnya di mana terbuka sebuah e-book pelajaran. Saat ini pintu terbuka, semua pandangan tertuju ke arah pintu. "Wah, makanannya cepat bangat." Zulkifli berkata dengan semangat. Yang lain juga menjadi antusias, air liur mereka bahkan tak terbendung lagi akan tumpah. Laras melirik tanpa energi ke pintu, namun tidak melihat pramusaji. Yang datang adalah orang yang dikenalnya. Itu adalah Wawan dengan teman-temannya. Laras memperhatikan mereka masuk ke dalam ruangan, lalu matanya bersinar ketika melihat sosok yang dinantinya muncul di belakang. "Kevin!" Panggil Laras dengan antusias, segera bangkit berdiri dan berjalan mendekati pemuda yang mengusik pikirannya itu. Kevin tersenyum, menyerahkan kotak yang terbungkus indah kepada Laras. "Maaf terlambat, selamat ulang tahun." "Kamu ingat?" Laras mengambil alih kado yang diserahkan Kevin, merasa sangat bahagia hingga bisa melayang saat ini. "Untuk yang tadi di sekolah, maaf, aku tidak ingat." Kevin dengan tulus mengakui kesalahannya. Laras menggelengkan kepalanya, semua emosi negatif yang tadinya merasuk dirinya langsung lenyap sudah tanpa sisa. "Tidak masalah, yang penting kamu ada di sini sekarang, yang lain tidak penting lagi." "Uhuk, uhuk," Wawan batuk palsu, "selamat ulang tahun Laras, semoga cintamu terkejar." Laras mengangguk senang mendengar kata-kata baiknya, dia langsung memanggil mereka untuk duduk di kursi kosong. Rena sebagai teman yang pengertian, segera bangkit berdiri pindah ke bangku yang lain agar Kevin dapat duduk di samping Laras. Melihat inisiatif dari temannya, Laras segera melupakan kekesalannya pada Rena dan memiliki tatapan menyanjung. Benar saja, Rena memang teman dekatnya! "Ayo duduk Vin, pesan makanan sesukamu. Jangan ragu untuk memesan apa pun." Dia berkata dengan senyuman manis dan penuh ketulusan. Lalu tatapannya mengarah kepada Wawan dan teman-temannya, "Kalian juga pesan apa pun yang kalian inginkan. Sangat sungkan padaku. Lagi pula aku tidak akan rugi apa pun bahkan jika kalian membuat restoran ini bangkrut." Saat mengatakan itu, beberapa tertawa geli berpikir bahwa Laras sedang mengatakan lelucon. Laras juga tertawa, hanya saja dia benar-benar mengatakan yang sebenarnya. Makanan akhirnya diantar, Laras dengan antusias memperkenalkan satu persatu menu kepada Kevin tampak seperti sedang melakukan promosi semua makanan dalam menu. Senyumannya selalu hadir, sikapnya yang aktif tampak menjadi sosok yang paling bercahaya di sini. Dia berbicara dengan sangat mudah dengan orang lain. Membuat teman kelasnya dari kelas 11 mudah berbaur dengan para kakak kelas teman-teman Kevin. Hal yang menyenangkan selalu berakhir begitu saja seolah hanya satu kedipan mata saja. Laras melihat ke meja yang penuh piring kotor berantakan, dan akhirnya sadar bahwa kegiatan hari ini akan berakhir. "Kenapa tidak ada kue ulang tahun?" tanya Wawan dengan heran, di acara ulang tahun sangat wajar dengan kehadiran kue. Jadi terasa kurang ketika tidak ada kue sama sekali di meja. Laras menggelengkan kepalanya, melambai untuk menunjukkan penolakannya. "Tidak, aku tidak meniup kue ulang tahun." "Kenapa?" tanya Tiara— teman sekelas Laras langsung dengan bingung. Laras mengerutkan kening, mencoba berpikir alasannya dan menggelengkan kepala. "Aku ingin beda dari yang lain. Yang lain meniup kue, aku tidak." "Baiklah, Laras yang paling terbaik." "Ya, Laras idolaku!" Seruan demi seruan terdengar, hingga sebuah suara yang lantang mengagetkan semua orang. "I love you, Laras!" Semua orang bersiul dan bersorak dengan keras hingga mengguncang gendang telinga. Laras melihat ke tempat sekelasnya yang baru saja mengatakan omong kosong dan mendengus. "Aku hanya suka Kevin, berikan cintamu pada yang lain," kata Laras dengan mudah, tampaknya sudah terbiasa mengakui perasaannya. Kevin juga tidak lagi memiliki perasaan aneh ketika mendengarnya, mungkin dia telah mati rasa setelah mendengar Laras berulang kali mengatakan perasaan untuknya. Dia hanya bisa tersenyum tak berdaya, dan diam tanpa kata-kata. Kegiatan malam ini berakhir begitu saja. Laras melambai dengan semangat kepada Kevin dan akhirnya masuk ke dalam mobil bersama Randi dan Rena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD