Three | The Name

1145 Words
"Saya nggak membicarakan Mas. Saya membicarakan orang yang baru saja pergi ke arah sana," ujar Nadin dengan menunjuk ke arah lobi kanan. "Jelas-jelas hanya ada saya tadi. Dan jelas-jelas kamu membicarakan sesuatu yang tadi saya katakan pada sopir saya. Apa saya masih salah mendengar dan salah mengira?" Nadin menelan salivanya dan tertawa sekali lagi. Tawa yang jelas-jelas terlihat canggung dan kaku. "Pak Jokowi!!!" seru Nadin heboh yang membuat pria di depannya itu langsung menolehkan kepala ke belakang sesuai dengan arah telunjuk Nadin. Nadin langsung menarik kopernya dan berlari sejauh mungkin dari pria tadi. Mulutnya meracaukan makian untuk dirinya sendiri. Berharap ia tak lagi mendapat masalah dengan apapun dan siapapun selama berada di kota Malang. Sudah cukup visi terbarunya saat ini, 'Bertahan hidup di Malang selama 6 bulan'. Begitu sampai di luar bandara, Nadin langsung bersiap berdiri di tepi untuk mendapatkan taksi. "Taksi!" serunya. Taksi bandara itu akhirnya berhenti tepat depan Nadin. Saat sopir taksi itu keluar untuk membantu menaikkan koper hitamnya ke dalam bagasi, Nadin melarangnya. "Sebentar, Pak. Koper saya bukannya ada 2, ya?" "Mana saya tau, Neng. Kan Neng yang punya barang." "Makanya itu, Pak. Perasaan tadi saya bawa koper 2, terus yang satunya ..." Kening Nadin mengkerut dalam sambil berpikir. Dan begitu Iserunya dengan mata membulat dan mulut terbuka lebar. "Jangan bilang kalau kopernya ketinggalan di depan bagage claim?" Detik itu juga Nadin langsung berlari kembali masuk ke dalam dengan menarik satu kopernya yang masih tersisa. Sepertinya nasib baik memang tidak pernah berpihak baik padanya. Koper hitam miliknya sudah tak lagi ada. Bahkan pria yang mengenakan jas cokelat pun sudah tak lagi terlihat. Nadin menggeram kesal dengan menjambak rambutnya frustasi. "Pak, lihat koper hitam yang tadi ada di sini, nggak?" tanya Nadin pada orang tak dikenal yang masih berdiri di sekitar bagage claim. "Koper hitam? Yang Mba bawa sekarang bukannya koper hitam?" "Saya bawa 2 koper hitam dari Jakarta, Pak. Tapi yang saya bawa keluar malah cuma 1." "Waduh Mba, kok bisa lupa? Coba lapor dengan petugas, siapa tau ada yang salah bawa." "Apa? Salah bawa?" Adinda meringis kuat. Bagaimana bisa ada orang yang salah membawa koper miliknya? Padahal isi koper itu adalah barang-barang miliknya yang paling berharga. "Dasar bodoh," makinya pelan pada dirinya sendiri. Entah sudah berapa banyak ia memaki dirinya hari ini. Dan sepertinya hari ini ia akan akhiri dengan memaki dirinya sendiri. ♥♥♥ Nadin menghempaskan tubuhnya ke atas kasur begitu ia sampai di unit apartemen miliknya. Perjalanan yang tak seberapa tapi sangat membuatnya lelah. "Nggak pernah nyangka, kalau akhirnya gue akan balik ke tempat ini," lirihnya sambil menghela napas panjang. Nadin merogoh ponselnya yang berbunyi dari tas kecilnya. Dengan helaan napas kecil, ia mengangkat panggilannya. "Halo, Ma." "Gimana Sayang? Sudah sampai di Malang?" "Sudah, Ma. Aku baru aja sampai di apartemen." "Syukurlah, jangan lupa makan dan jaga kesehatan ya." "Of course, Ma." "Kalau gitu Mama tutup teleponnya ya. Kamu jaga diri di Malang. Saat liburan nanti, Mama dan Papa akan usahakan datang ke Malang untuk ketemu kamu." Nadin tersenyum samar kemudian menjawab, "Nggak perlu kalau memang sibuk, Ma. Aku bisa jaga diriku sendiri." "Mama tutup dulu ya, Sayang. Sedang ada tamu. I love you, bye." "Love you too." panggilan dengan sang mama akhirnya terputus. Nadin bangkit duduk, mengusap wajahnya, kemudian menguncir rambutnya ke belakang. "Mungkin dia lupa," ucap Nadin berusaha meyakinkan dirinya. "Nggak semua orang akan ingat masalah pribadi yang lo punya, Nadin. Termasuk nyokap bokap lo." ♥♥♥ Hotel yang terlihat cukup tinggi itu tak henti menjadi pusat pandangan Nadin saat ini. Terlihat cukup besar, namun justru memberikan kesan yang sedikit aneh dan perasaan tidak nyaman. Entahlah, mungkin ia harus masuk lebih dulu untuk bisa lebih banyak menangkap keadaan hotel tersebut. "Gue bener-bener kerja di situ muulai hari ini?" tanyanya masih tak percaya. "Kita lihat seperti apa keadaan hotel di mana Pak Wisnu berani buang gue," ujarnya dengan melangkah mantap memasuki hotel tersebut. Untuk hari pertamanya bekerja, Nadin menggunakan kemeja berwarna kuning muda yang ia padukan dengan setelan blazer berwarna hitam dan celana senada. Make-up ia poles sewajarnya dengan rambut bergelombang yang ia biarkan tergerai setengah punggung. Mulut Nadin sedikit terbuka saat berhenti di dekat pintu masuk dan melihat jendela besar yang berada di depan lobi terlihat berdebu. Ia menempelkan telunjuknya pada jendela tersebut. Ia meringis pelan saat melihat ruas telunjuknya yang kini berwarna abu-abu. "Ya Tuhan, ini hotel nggak berpenghuni atau gimana, sih? Kok bisa-bisanya jendela utama berdebu amat kayak gini?" Begitu sampai di lobi, Nadin sedikit bisa menghela napas melihat keadaan lobi yang terlihat sedikit baik kondisinya. Dekorasinya pun tetap terlihat estetik walau terlihat lebih sederhana dari TM Hotel lain yang ia ketahui. "Kalau sudah sampai sana, minta bertemu dengan Pak Rizal. Beliau adalah orang kepercayaan GM di sana." Nadin pergi ke meja resepsionis. "Permisi, Mba," sapanya ramah pada resepsionis di hadapannya. Seorang resepsionis wanita yang sedang berjaga langsung berdiri dan menyambut kehadirannya dengan senyuman. Resepsionis tersebut memakai seragam yang sama seperti yang Nadin ketahui saat ia pernah berkunjung ke TM Hotel di Jakarta dan Bogor. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Mba?" "Saya Nadin, dari kantor TM Group di Jakarta. Saya ingin bertemu dengan Pak Rizal, apa ada?" "Oooh, Mba yang katanya kiriman langsung dari Pak Wisnu ya?" "Mmm ... berasa barang gue," keluh Nadin nyaris berbisik. "Kenapa, Mba?" "Nggak papa. Jadi gimana, apa Pak Rizal ada?" "Pak Rizalnya belum datang, Mba. Biasanya Pak Rizal datang bareng Pak Wira." Nadin mengangguk singkat tanpa berpikir banyak. "Memang biasanya mereka berdua datang jam berapa, Mba?" "Kadang jam 10, kadang juga bisa jam 11." "APA?!" pekik Nadin tak tertahankan. "Apa mereka pikir ini hotel punya kakek neneknya? Pak Wisnu aja selalu datang jam 7 pagi untuk kerja, tapi orang-orang ini ...." Nadin memejamkan matanya erat bersamaan dengan helaan napasnya yang terasa semakin berat. Hari pertama ternyata tak semudah yang ia bayangkan. "Memangnya Mba belum dengar desas-desus hotel ini?" "Desas-desus apa?" "Kalau hotel ini akan bubar sebentar lagi karena bangkrut. Semuanya terjadi sejak 2 tahun yang lalu. Saat pergantian GM baru, hotel di sini jadi seperti nggak punya harapan. Banyak karyawan yang jadi malas-malasan bekerja karena GM hanya diam saja dan tidak pernah mengambil tindakan tegas. Makanya sekarang banyak karyawan yang mengundurkan diri sebelum hotel ini resmi ditutup." Kedua mata Nadin membulat tak percaya. "Mba bahkan sudah bisa menilai bagaimana kondisi hotel ini sejak menginjakkan kaki di sini, bukan?" Ia menaikkan sebelah alisnya bingung. Segera ia menoleh dan sontak tersenyum miris saat menyadari kondisi lobi hotel rupanya sangat sepi. Bahkan satpam yang berjaga di pintu masuk pun tidak ada. Dan apakah hotel itu sama sekali tak memiliki pengunjung? "Siapa nama GM yang sekarang mimpin di sini, Mba?" tanya Nadin penasaran. "Pak Wira, Mba." "Maaf, siapa?" ulang Nadin dengan kedua kening mengerut yang membuat alisnya hampir menyatu. "Wira, Mba. Nama lengkapnya Elwira Putra Adhitama." Untuk sesaat Nadin lupa bagaimana cara menghela napas, karena setelah ia mendengar nama itu ia justru menahan napasnya dengan kedua membulat sempurna. ♥♥♥♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD