Bab 1. Batal Nikah
“Kenapa, Bah?” Nabila berjalan cepat menuju ayahnya, undangan yang sudah ada di tangan itu spontan terlempar berserakan. “Apanya yang batal nikah? Siapa yang hamil?”
Pria paruh baya itu hanya mampu diam di depan anak gadisnya yang batal menikah, padahal segala persiapan sudah hampir selesai sampai pada undangan yang akan segera dibagikan. Akan tetapi, pihak keluarga laki-laki datang dan mengabarkan kalau mereka membatalkan pernikahan itu karena Hanif menghamili mantan kekasihnya.
“Umik, ini ada apa? Abah diem aja, terus Umik nangis, Nana harus tanya siapa?” Nabila sudah berlinang air mata, perasaan wanita itu campur aduk tidak enak sejak tadi pagi. Ia pun berjalan menuju Hanif. “Mas Hanif pasti tau kenapa orang tuaku nangis gitu ya, kan? Bilang ke aku ada apa, Mas!”
Hanif meneguk salivanya, kisah indah yang mereka bangun, ternyata harus berakhir mengerikan seperti itu. “Kita batal nikah, Na. Daisy ha-mil anak aku, maaf!” jawab Hanif setengah terbata-bata.
“Apa?” Nabila mematung, wajah cantik itu berubah pucat. Wanita itu diam beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa sambil menyeka air matanya. “Ak-aku pasti salah denger. Ya, aku pasti salah!”
Semua orang di ruangan itu melihat iba Nabila, undangan sudah mau disebar, bahkan semua biaya sudah dilunasi, tetapi pernikahan itu harus batal.
“Na, kamu nggak salah denger!” ucap Hanif.
“Nggak!” sahut Nabila, ia menggelengkan kepalanya kuat.
“Nabila, tolong jangan gini!” Hanif berusaha meraih lengan wanita berjilbab itu, memaksa Nabila bersitatap dengannya. Sakit melihat Nabila tampak kacau, tetapi semua sudah terjadi dan Hanif mengaku bodoh.
“Nggak, Mas Hanif! Kamu mau kasih aku kejutan apa? Hari ulang taunku masih tujuh hari lagi, pas sama tanggal nikah kita—”
“Nabila!” Hanif mencengkram lembut lengan calon istrinya itu.
“Apa, Mas? Kena-kenapa liat aku gitu?” Percayalah, Nabila tidak berhenti menitihkan air mata saat itu. “Ulang taunku masih—”
“DAISY HAMIL ANAKKU, NA!” potong Hanif diiringi sesak yang tak tertahan di dadanya, sama seperti Nabila, itu terlalu sakit. “Aku bodoh! Aku bodoh, Na!”
Hanif berlutut di depan Nabila, kepalanya tertunduk penuh sesal, bahkan ia merasa tak pantas berada di dekat wanitanya itu. Nabila telah membantunya dibanyak hal, di saat Daisy meninggalkannya dulu, Nabila yang menjadi obat sampai kuliahnya selesai dan mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi bodohnya Hanif masih tergoda dengan rayuan sang mantan hingga malam gila itu terjadi dan sekarang Daisy hamil.
“Aku minta maaf, Na. Aku minta maaf!” ucap Hanif bersuara pelan lagi serak.
Nabila menutup kedua telinganya dengan tangan rapat-rapat, wanita itu masih bergumam tak percaya. Ia mundur, melihat semua orang yang berkumpul di rumahnya, Daisy juga ada di sana dan menatapnya remeh sambil mengusap perut yang masih rata.
“Na, sini!” ucap Riana mendekat, ingin memeluk putrinya.
“Enggak! Ini pasti salah!” Nabila mundur beberapa langkah.
“Nabila, denger Umik!”
“Enggak, Umik! Enggak!” Nabila menekan telinganya kuat-kuat. “ENGGAK!”
Nabila berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia benci semua orang di rumah itu, hatinya hancur, dunianya berubah gelap. Lelaki yang selalu indah di matanya, dibanggakan dan diidamkan menjadi imam terbaik, ternyata menusuknya dari belakang dengan berselingkuh.
Habis, semua sudah habis. Tidak terhitung sudah uang yang Nabila keluarkan untuk pernikahan itu, tetapi bukan soal uangnya, melainkan hatinya yang berantakan seperti kaca yang dilempar batu.
“SAKIT, UMIK! SAKIT!” teriaknya sembari menepuk dadanya sendiri.
***
Selama dua hari berturut-turut Hanif datang ke rumah Nabila hanya untuk memastikan mantan calon istrinya itu baik-baik saja meskipun Hanif tahu kalau tidak ada yang baik, setelah pernikahan itu dinyatakan batal.
“Nabila masih menolak untuk bertemu saya, Mik?” Hanif berdiri begitu Riana kembali ke depan.
“Apa masih harus Umik jawab, Nif?” balas Riana sembari berdecak kecil. “Abah saja sudah nggak mau ketemu kamu, apalagi Nabila. Umik hanya menghargai tamu. Pulang saja, Nif!”
“Tapi—”
“Apa nggak denger omongan Umik?” potong Nabila menyergah, kedua orang itu lantas menoleh dengan mata melebar kaget. “Pulang aja! Aku nggak mau ketemu kamu lagi, Mas. Daripada kamu di sini nggak jelas, ajak aja calon ibu dari anakmu itu jalan-jalan!”
Nabila hanya berdiri di ujung tangga, sebelah tangannya terangkat memberi tanda pada Hanif agar tak mendekat. Semua sudah cukup dan tidak patut dilanjutkan lagi, apa pun itu Nabila tidak mau mendengarnya.
“Na, aku masih cinta sama kamu!” ucap Hanif mengejutkan Riana, wanita paruh baya itu kontan melotot pada mantan calon menantunya itu. “Aku cinta sama kamu, Na! Aku sama Daisy waktu itu—”
“UDAH!” pinta Nabila berteriak, dadanya bergemuruh hebat. “Umik, tolong kunci pintunya dan jangan terima dia lagi!” titah Nabila.
Riana tak menunda lagi, kedua sisi pintu itu langsung ditarik dan dirapatkan sehingga wajah Hanif tak lagi terlihat di mata Nabila. Anaknya itu baru saja mau ke luar kamar, setelah hampir dua hari mengurung diri dan tak mau berbicara. Nabila butuh waktu menerima dan memulihkan diri.
“Abah di mana, Mik?” tanya Nabila usai bayang Hanif pergi.
“Abah di peternakan, ada temen lama Abah yang mampir ke sana dan mungkin nanti diajak ke sini, Na. Kamu mau makan disuapin Umik, Nak?”
Nabila mengangguk, ia sangat butuh perhatian untuk menguatkan diri. Digandengnya tangan sang ibu ke ruang makan, bahkan Nabila menghabiskan makanannya dengan kepala banyak bersandar di pundak Riana.
Tak lama dari itu, Harun pulang bersama beberapa orang seperti ucapan Riana tadi, teman lama abahnya yang terpaksa harus Nabila temui sejenak. Akan tetapi, seorang pria berjas gelap yang masuk terakhir sendiri membuat Nabila mengerjap tak percaya.
“Kamu kenal Rendi?” Harun berdiri ke samping putrinya.
Nabila mengangguk, lalu menatap sekilas wajah lelaki itu. “Pak Rendi itu bosnya mas Hanif, Bah, di kantor pusat,” jawab Nabila lantas diangguki Rendi, mereka hanya berbeda kantor saja, sebab Nabila ada di kantor cabang.
“Oo … hahaha, dunia ini sempit ya? Ayo-ayo, duduk!” timpal Harun mempersilakan semua tamunya masuk.
Sebenarnya, masih suasana duka usai pernikahan itu batal, tetapi yang namanya orang bertamu dan teman lama, mana mungkin ditolak, apalagi lama tak bertemu. Maka, di pertemuan itu pun masalah pernikahan Nabila dan Hanif yang kandas juga dibahas.
Nabila tak berlama-lama, hatinya masih terlalu sakit, apalagi seharusnya malam-malam itu dihabiskannya dengan membayangkan pernikahan indah bersama Hanif, bukan meratapi nasib. Tak jarang Nabila menutup kedua telinganya karena mendengar dan berhalusinasi Daisy menertawakannya dengan bangga. Wanita itu duduk di balkon kamarnya sampai tamu-tamu itu pulang, Nabila baru kembali menemui kedua orang tuanya.
“Bah, Nabila masih trauma!” kata Riana memelankan suara.
“Abah tau, tapi dia juga berhak melanjutkan hidup. Siapa tau Nabila memang berjodoh sama Rendi ya, kan?”
Nabila berbalik mengurungkan niatnya menemui Riana dan Harun, ia berjalan pelan menuju kamarnya lagi.
“Apa aku mau aja dinikahkan sama pak Rendi?” batin wanita itu.