Sebuah Kenyamanan Kisah Lalu

1728 Words
Kau datang dalam gersangnya kebahagiaan Seteguk kesegaran membawa canda Hadirmu memberi harapan baru Teduh sikapmu menciptakan damai ku Semesta bolehkah aku bergembira mengobati duka yang menyiksa? °° Tata Dayuning tyas Pov Tata Sepertinya aku takjub dengan kuasa-Nya Berbulan-bulan kurasa hatiku ini sesak terhimpit seakan-akan sulit bernafas. Duka yang setia bersahabat kini seolah pergi tanpa payahku mengusirnya. Kebahagiaan datang dengan senyum indahnya, lesung didekat bibirnya yang menawan membuat pesonanya kian memaksa jantung ini berdebar diiringi desir nafas tak beraturan. Rasa apa ini, seolah asing di mana perasaan itu semacam sayang, semacam kepedulian. Apakah ini bentuk dari rasa kagum ku akan dirinya? Ataukah karena aku telah lama tak berinteraksi dengan pria sehingga merasakan nyaman dengan persahabatan ini? Entahlah. Pertemuan kami berawal dari sebuah tuntutan pekerjaan, aku juga tak paham sampai-sampai menanggapi pesan teks yang dikirimnya sesaat kami berpisah dari pertemuan untuk membicarakan sebuah kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja. Juga jikalau saja Vina tak memintaku menggantikannya pertemuan itu tak pernah terjadi. Semua berjalan begitu saja aku membiarkan hubungan persahabatan ini semakin erat. Radit Aditama, nama yang selalu aku sebut dalam doa, ku kenalkan pada Rabku. Hari-hari mengisi waktuku, dia hadir sebagai sahabatku dalam bercerita apapun. Karena dirinya memenuhi memori chat di ponselku, selalu menanyakan keadaanku. Pria hangat dengan senyuman tulus tubuh tegap, kulitnya putih, bersih wajahnya dihiasi kumis tipis khas pria blasteran. Radit sosoknya mampu mendekap erat menyusun hatiku yang telah luluh lantak. Dia seakan hadiah yang dikirimkan Allah padaku. Benarkah? Apakah aku yang terlalu berlebihan? Dengan kami hanya sekedar bersama karena merasa nyaman saja. Tidak siapa aku ini hanya seorang wanita tak memilki suami, beranak dua pula. Seorang janda, ya hanya seorang janda. Jauh dirinya seorang laki-laki single eksekutif muda mungkin hanya dengan menunjuk perempuan mana yang ia mau tak akan ada yang mampu menolaknya, menolak pesonanya, sungguh hal mustahil jika itu yang dilakukan perempuan ketika dirinya hadir. Meskipun usianya lebih tua 5 tahun dariku dia seperti seumuran denganku. Akan tetapi aku harus sadar diri siapa aku. Harapan yang tak tau diri ini harus mati sebelum tumbuh menyiksa diri. Harus musnah dari hatiku yang terlalu berlebihan memujinya. Hampir satu bulan ini kami saling mengisi kosongnya ruang hati. Saling? Ah bukan! Mungkin itu hanya berlaku untukku saja. Kami bertemu di beberapa restoran yang bagiku mahal agak sayang sebenarnya. Aku tahu betul harga setiap menu yang selalu kami nikmati. Harga itu begitu tak murah. Hari-hari berlalu menghabiskan waktu berdua dengannya. Bercanda menyenangkan, berbagi cerita. Yah aku bahagia, semoga ini adalah kenyataan bukan khayalanku saja, harapanku sangat berlebihan. Kami saling bercerita tentang masalah yang kita hadapi saling memberi solusi. Aku nyaman, aku tak mau pergi dari kedamaian ini. Ya Allah maafkan aku yang tak tahu diri. Saat ini kami sedang menikmati makanan restoran Itali masih dengan hobi nya memesan tempat VVIP, dia berkata tak begitu menyukai keramaian. Yah ku iyakan, aku tak pernah berhasil membayar setiap kami beranjak setelah makan selalu bill sudah terbayar penuh. Sampai tak enak hati rasanya. Di suatu malam yang indah pertemuan kami tercipta kembali. Di malam itu ia begitu mempesona dengan balutan kaos berkerah berwarna abu-abu dan celana hitam slim fitnya. "Aku pingin banget lanjutin kuliah dari semasa anakku baru satu, tapi dulu suamiku melarang kuliah dengan dalih takut aku kecantol teman di kampusku nanti, padahal gua udah mentok hati sama dia." Ceritaku padanya di sela kami menikmati makan malam kala itu yang bisa di bilang makan malam romantis. Mungkin bagiku romantis. Suasana restoran yang temaram, alunan musik klasik mengalun indah. Di sini hanya kami berdua, dengan pesanan menu yang banyak sekali tak hanya malam ini di setiap pertemuan kami, dia selalu saja berlebihan jika perkara memesan makanan, padahal kita hanya berdua saja. Aku jamin jika kegiatan ini terus menerus aku lakukan berat badanku akan naik drastis. "Ya bener banget kalik Ta' jaman sekarang gak peduli punya suami laki sekarang nekat-nekat, dan sialnya perempuan lemah jika sudah disentuh hatinya." Ucapnya merespon ceritaku. Dan terasa sekali di hati, seperti kata itu. Deg... 'Lemah disentuh hatinya?' Apakah dia sedang menyindirku? Ada benarnya, hari-hari kemarin aku terlalu sibuk dengan pelukan hatiku terisi ketika bersamanya. Pelukan? Bahkan kami hanyalah bertemu biasa. Tak ada hal-hal yang bersifat istimewa, mungkin aku saja yang berlebihan. Ya anggap saja aku dipeluk meski itu sebuah angan yang terasa di pihak diriku saja. Iya aku terlalu lemah benar katanya. Tersentuh sendiri. Aduh sial sekali. Tata sadarlah! Ini hanya kebersamaan biasa yang tak bertujuan apapun selain saling mengisi kesepian, bukan untuk berdiam mengusir sepi itu sendiri. Lebih-lebih bertujuan dengan maksud menjalin hubungan. Oh common... Ataupun berlaku menyusun sebuah romantisme yang ada dalam khayalan ku. Mungkin saja aku terlalu lupa diri siapa aku ini? Terdiam sesaat. Mengalihkan sikapku yang sangat tak nyaman menelan sebuah pemikiran dari penilaian diriku. Sungguh aku tak nyaman dengan kalimatnya. Aku mencoba mengajukan sebuah pertanyaan tentang hal yang sering dia ceritakan. Itu tentang adiknya. Aku mencoba melontarkan pertanyaan mengenai adiknya. "Ohya saudara kamu yang kuliyah di Sidney udah semester berapa?" Ku coba mengalihkan pembicaraan ini. "Saudara? Adek aku maksudnya? Kalau gak ada halangan dia udah semester akhir, doain deh semoga dia tepat waktu lulusnya." Radit menjawab dengan ringan seraya memasukkan makanan ke mulutnya. "Aku doain semoga dikasih kelancaran untuknya yah." Timpalku kemudian. Aku menilai dari sekian ceritanya pria ini tidak memiliki hubungan cinta. Dia banyak bercerita tentang adik juga ibunya. Semua ceritanya berputar mengenai mereka. Sepertinya dia sangat menyayangi keluarganya. Namun dirinya sedikit tertutup, dengan wajahnya yang selalu ceria jika kita bertemu, aku menilai ia terlampau bahagia dalam penglihatan ku. Itu menegaskan, bahwasannya dia tidak pada kondisi permasalahan, kesedihan atau sejenisnya. Tak tinggi harapanku, mengingat betapa tingginya strata sosialnya, Namun satu doaku semoga semesta mengizinkan kita selalu bersahabat, karena rasa nyaman ku bersamanya, meskipun ku tahu dia jauh untukku jangkau. Takdir apa kedepannya manusia tiada yang tahu. Jika dia menikah lebih dulu semoga pasangannya baik dan benar-benar mencintainya. Dia pria yang baik. Sulit menemukan pria seperti ini. Astaghfirullahaladziim aku terlalu mengaguminya, tak sadar melupakan bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT saja. *** Malam ini aku tak bertemu dengan Radit, namun sebagai gantinya, ia mengajakku makan siang. Aku tersenyum sendiri jika mengingat kejadian siang tadi, kejadian di mana kami sedang serius berbicara, Saking semangatnya Radit menceburkan ponsel bergambar buah yang tergigit itu ke sup iga yang selesai kami santap, wajahnya merah menahan malu, senyumnya terpaksa menyimpan malu begitu besar. Aku panik mengambil tanpa menggunakan sendok sayur. Alhasil tanganku kepanasan sebab sup itu berada di atas perapian. Ya Allah sekarang tanganku masih terasa panas, namun tidak ada luka terlihat di sini. Rasa malu dan menahan sakit bercampur menjadi satu, itupun menjalar di diriku. Dan Radit sepertinya panik luar biasa ketika aku mengaduh kesakitan lebih tepatnya panas dan bercampur malu. Saat itu Radit dengan sigap menarik tanganku dan mendekat. Kini kita berdua saling bertemu wajah kami berjarak sangat dekat. Aku bisa merasakan hangat nafasnya yang menerpa kulit wajahku. Harum mint hangat dari bibir dan parfum maskulinnya sedikit membuatku beku mematung seperti melayang terbang entah aku tak menghiraukan ucapan yang keluar dari bibirnya. Semuanya seakan berhenti berputar, hanya ada aku sebagai pemeran utama di sini, menikmati segala keindahan. Ku pandangi bibirnya yang merona merah alami. Jambang tipisnya kontras di kulitnya yang bersih putih. Sampai aku berfikir, bagaimana dia merawat wajahnya yang mulus seperti itu sedangkan dia seorang pria? Pasti butuh biaya banyak untuk membuat wajahnya glowing seperti itu. Suaranya sayup-sayup ku dengar dengan lamunanku yang sesaat pudar. Sensasi sebuah rasa ringan, kosong di pikiranku. Aku tersadar ketika Radit mengajakku ke rumah sakit dengan sedikit mengguncang bahuku, namun aku tak mau karena merasa baik-baik saja. Tata udah traveling aja, bodoh! umpat ku di hati. Sesaat wajah kami saling menjauh. Aku sedikit memejamkan mataku mengusir kotornya pikiran yang hinggap di kepalaku. Namun justru kini kejadian itu seperti film yang terus menggangguku, adegan itu terus berputar di otakku. Benar-benar seperti racun, aku yang teracuni merasakan efek yang begitu jelas terasa. Resah, gelisah tak mampu memejamkan mata. Padahal besok aku harus bangun pagi sebab ada pertemuan dengan klien. *** Besok aku akan kembali ke Surabaya untuk mengurus beberapa tender di sana ada perasaan tak ingin pergi. Ada rasa tak rela menghantui, ku sadarkan hatiku penuh keras bahwasanya siapa aku tak perlu merasakan hal itu, pada kenyataannya aku harus kembali pada tugasku sebagai karyawan. Namun ku sadari aku hanya bersahabat dengannya tak lebih. Hari ini aku sangat sibuk selain menyelesaikan sisa pekerjaan aku juga pergi untuk berbelanja membeli oleh-oleh untuk keluarga di sana. Sampai aku mengabaikan pesannya di aplikasi w******p hingga dini hari aku baru menjawab, jumlah pesannya yang banyak sekali seperti spam orang jualan gerutu ku. Sambil tersenyum kecil aku akui kadar gede rasa ku besar sekarang, hanya dia memberondong chat saja aku sudah merasa orang yang berarti baginya. Ah aku terlampau percaya diri. Sekali lagi ku menyadarkan diriku yang agak melambung ini. Bergegas setelah k*****a semua pesannya dengan kesadaran yang belum penuh ku gulirkan gawe ku untuk menelfon dirinya. Tanpa menunggu nada panggilan langsung tersambung dengan suara semangat dan lega, lagi-lagi percaya diriku berlebihan kurasa. Aku meminta maaf padanya yang telah membuatnya khawatir. Dari sini tak sengaja panggilan ku berubah menjadi Mas Radit, namun tak diprotes olehnya dari seberang. Akhirnya dari situ aku memanggilnya dengan Mas. Mengingat waktu itu aku merasa geli sendiri. Aku berangkat dengan penerbangan paling pagi hari ini, aku sangat terkejut ketika Mas Radit duduk disebelah ku, seperti mimpi namun ini nyata, aku juga dikenalkan seorang laki-laki yang ternyata managernya. Bahagia sekali rasanya bisa bersama satu pesawat dan duduk bersebelahan. Ya Allah rasa gembira ini tak berhenti ku bersyukur atas skenario Engkau yang sangat indah ini. Sesampainya di Surabaya. Aku memberi mereka tumpangan karena mereka ingin naik taksi, ku ajak mereka mampir untuk mengantarkan aku pulang terlebih dahulu selanjutnya mereka membawa mobilku. Ada satu kejadian di mana anakku Embun memanggilnya dengan sebutan Papah. Aku sangat malu namun entah mengapa mas Radit terlihat tak keberatan dan menerima panggilan itu dengan senang hati. Jangan gede rasa please Tata! Setelah setengah jam mereka berbincang dengan bapak, mereka beranjak pulang membawa mobilku. Perasaan gede rasa ini datang lagi ketika ku sibuk membersihkan diri. Senyum-senyum sendiri di depan kaca. Ada apa ini? Rasa aneh ini sangat mengganggu. Kenapa rasanya seperti 9 tahun yang lalu ketika mendiang suamiku mendekati aku? Ah Tata please hilangkan rasa-rasa konyol ini. Inget kamu ini siapa Tata. Common Tata dia sangat sempurna yang tidak mungkin kamu raih begitu saja. Apa dia mau sama kamu yang udah berbuntut dua? Tapi apakah ini sebuah kesalahan jika aku mengharapkan dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD