KTA'S 10 - Convenience

2143 Words
Nanta memilih diam. Tidak lagi meneruskan pembicaraannya dengan Laisa dan membiarkan angin yang berhembus lebih rusuh dari suaranya. Susah payah ia menelan saliva. Pun setengah mati meredakan detak jantung yang justru kian bergedebam tatkala tangan Laisa bergerak mengelus dadanya. Ah, jangan sekarang. "Nan, kita ke butik dulu, ya." Laisa merengkuhnya semakin erat. "Mau ngapain?" "Mau beli nasi bungkus." Nanta sukses dibuatnya gemas. "Ya, beli baju, lah. Gimana, sih, kamu?" "Buat?" "Buat kado ulang tahun Eyang Uti." "Oh." "Kamu ikut, ya?" Nanta hanya mengangguk saja. Ia sendiri pun tak yakin. Motornya terus melaju sampai kemudian berhenti di depan sebuah bangunan besar yang tampak asri dengan berbagai model pakaian yang terpajang di balik jendela kaca besar. "Ini butik milik teman Mama. Aku biasa ke sini kalo kamu nggak ada." "Oh, ya?" Nanta menatap gadisnya dengan sorot netra yang selalu ia tunjukan penuh rasa sayang. "Hu-um." Laisa mengangguk, membuat helaian rambutnya yang indah tergerai. Lalu tangannya terulur. "Yuk," ajaknya kemudian. Meraih lengan Nanta dan bergelayut manja seperti biasa. "Dan kemeja putih yang pernah aku kasih ke kamu, aku beli di sini." Laisa melanjutkan sambil melangkahkan kakinya masuk ke ruangan yang terdesain sederhana namun tampak elegan. "Hai!" Seorang wanita melambaikan tangan ke arah Laisa begitu mereka masuk. Lantas segera menghampiri Laisa dengan wajah yang amat sumringah. "Halo, Tante." Laisa menyapa wanita itu. Memeluknya beberapa saat dengan erat. "Kamu, nih, ya. Kalo Tante nggak suruh datang ke sini, nggaaakkk akan datang." Wanita paruh baya itu memprotes dengan wajah yang dibuat cemberut. "Hmmmm, aku kan sibuk kuliah, Tan. Mana sempat main." Laisa merajuk manja. "Sibuk kuliah atau sibuk ...." Wanita itu menggantung ucapannya lalu melirik ke arah Nanta yang tersenyum berusaha menyapanya. "Ih, Tante." Laisa gemas. "Kenalin, dong." Wanita itu membisik antusias. Amat bertolak belakang dengan Asri. Laisa tertawa malu-malu. "Ya udah, kenalin. Dia pacar aku, namanya Nanta." Tangan Nanta terulur untuk menjabat tangan wanita paruh baya di hadapannya. "Kalau gitu, perkenalkan nama Tante, Antika." Antika melebarkan senyumnya. Nanta mengangguk sopan. "Salam kenal, Tan," ujarnya. "Salam kenal juga." Antika membalasnya. "Ah, pantes aja Laisa bucin banget sama kamu, ya." Lalu bersorak senang. "Emangnya kenapa, Tan?" tanya Nanta heran. "Ya, lihat aja sendiri. Jarang-jarang loh, Tante ketemu cowok semanis kamu." Antika mengakui. Nanta tertawa. "Ya, kan semuanya nggak bisa dipukul rata," kilahnya menutupi semu di wajahnya. "Tepat. Kamu cerdas." Antika memuji sepenuh hati. "Biasa aja, Tan." Nanta menggelengkan kepala. Laisa berdecak sebal. "Merendah aja terus. Nggak kasian apa sama yang udah di bawah?" Antika sontak tertawa. Tawanya yang keibuan membuat Nanta sejenak termangu, mengingat kapan terakhir kalinya ia benar-benar melihat ibu tertawa. Tentu karenanya, bukan karena Handara, Andi apalagi Doni. Cukup karenanya. Nanta terkekeh kecil. "Kamu pilih-pilih aja dulu, ya. Tante masih ada meeting sama klien di ruang atas." Antika pamit. "Iya, Tante." "Oh iya, nanti jangan langsung pulang, ya." Pinta Antika lalu melirik ke arah Nanta. "Tante mau ngobrol-ngobrol dulu sama kamu, Nan," lanjutnya sambil menyunggingkan kedua sudut bibirnya. Nanta mengangguk. "Dengan senang hati," balasnya ikut tersenyum hingga menunjukkan gigi susulnya yang manis. "Kalo gitu Tante tinggal dulu, ya." "Iya, Tan," ucap Laisa dan Nanta bergantian. Sepeninggal Antika, Nanta menatap Laisa dengan kedua matanya yang seperti tengah menunjukkan sesuatu. Kedua alis Laisa terangkat seolah bertanya 'ada apa?'. Nanta menunduk, mendekatkan wajahnya ke telinga Laisa. "I wanna hug you," bisiknya. "Ya, peluk aja," balas Laisa membalas tatapan itu. Tatapan yang mengawang penuh rindu. Entah, kenapa sesial ini ia merasakan rindu pada suasana yang tidak semestinya. Entah, apa maksudnya dengan debar di dalam dadanya yang seakan memberi sinyal bahwa ia teramat takut kehilangan sosok gadis yang kini ada di hadapannya. Entah, ia sendiri pun tak mengerti dengan perasaan yang tercampur aduk macam ini. Nanta mendesah panjang. "I miss you," ucapnya pelan lantas mengecup puncak kepala Laisa singkat. "Hmmm." Laisa menggumam. Ia tahu Nanta bahkan sangat tahu. "Nanti aja rindunya. Sekarang bantu aku cariin baju yang cocok buat Eyang Uti," ujarnya sambil menyembunyikan semburat kemerahan yang muncul begitu saja di kedua pipinya. Nanta hanya mengangguk. Sedangkan Laisa mulai melangkahkan kakinya berlalu, menuju deretan baju yang menggantung untuk menampakkan elegannya. Laisa selalu suka dengan segala karya yang Antika buat. "Aku nge-fans sama Tante Anti," ucapnya sambil berjalan pelan dan memilih pakaian yang ada di hadapannya. "Tante Anti banyak bisanya. Aku jadi iri." "Kamu juga banyak bisanya, La." "Aku bisa apa?" "Bisa menerima saya dengan apa adanya." Laisa berdecih lalu tertawa. Sesederhana itu rupanya untuk bahagia. Langkahnya terhenti saat tubuhnya berhadapan langsung dengan bayangan dirinya pada sebuah cermin besar yang dibiarkan bertengger di antara rak gantung. "Kadang saya bertanya-tanya. Kenapa harus saya yang kamu terima kehadirannya? Kenapa nggak orang lain yang satu keyakinan denganmu? Atau lebih sederhananya, kenapa nggak laki-laki sesempurna Panji, misalnya, yang kamu terima?" Laisa hanya tersenyum meski kata-kata yang otomatis terangkai berenang di kepalanya. Tanpa sepengetahuan Laisa, Nanta menarik sehelai kain panjang yang menggantung tak jauh dari tempatnya berdiri. Lalu menyematkan kain itu di kepala Laisa sebagai kerudung yang menutupi rambut panjangnya. Nanta tersenyum tipis dengan kedua bola mata tertuju lurus pada wajah Laisa di cermin. Isi dadanya kembali berdebar hebat. "Saya nggak akan pernah memaksa. Biar hatimu sendiri yang menuntun ke arah mana yang menjadi tujuanmu." Kepala Laisa tertoleh, menatap dalam-dalam sesosok lelaki berparas tenang di sebelahnya. Kemudian seulas senyum terbentuk. Ia mengangguk pelan. Tangan Nanta terangkat lalu menepuk pelan puncak kepala Laisa. "Tetap jadi diri sendiri. Jangan hanya karena orang lain kamu berubah. Karena saya, hanya ingin Laisa versi kamu." "Tapi, aku kan nyebelin." "Nggak apa. Yang penting kangen." *** Seperti yang dilihatnya, Antika memang pantas untuk menjadi idola. Di mata Nanta sendiri, Antika tak lain adalah sesosok Kartini di jaman modern ini. "Lama, ya?" Antika datang dari arah pintu masuk ruangan kerjanya. Lantas duduk di kursi yang menghadap langsung ke arah luar ruangan. "Nggak apa-apa, Tan. Santai aja," sahut Nanta dengan tenang. Sekilas ia melirik Laisa lalu mengedipkan sebelah matanya. "Khem. Masih sempat-sempatnya kamu menggoda Laisa, ya." Antika menginterupsi. "Nggak, Tan." Sedangkan Nanta tertawa kecil sambil mengelak. "Nggak salah, ya." Antika masih memiliki senjata. Nanta tertawa lagi. "Begitulah," akunya menyerah. Sedangkan Laisa, tampak sedang menyembunyikan semburat merah di pipinya yang begitu sensitif dengan segala gombalan Nanta. Ia merasakan kedua pipinya memanas. "Jadi gini, Nan." Antika memulai. Nada bicaranya terdengar begitu akrab. "Tante lagi butuh model cowok dan Tante rasa kamu cocok untuk jadi model di projek Tante kali ini," lanjutnya tanpa basa-basi. Seketika Nanta terdiam. Menatap Antika dengan kedua bola matanya yang tampak bingung juga cemas. "Sa-saya nggak bisa gaya, Tan." Lalu melirik ke arah Laisa yang justru tatapannya seperti mengatakan, 'Senyamannya kamu aja mau gimana'. Namun raut Nanta seolah memohon dan berkata, 'Sarannya dong, Sayang'. Laisa berdeham kecil. "Kalo menurut aku, sih, untuk pengalaman kamu juga. Jadi terima aja. Ya, biarpun kamu orangnya kaku kalo di depan kamera. Tapi aku yakin kamu bisa." "Ini kesempatan loh, Nan. Dan untuk soal bayaran, kamu tenang aja." Antika ikut mendukung. "Oh, nggak. Bukan begitu maksud saya, Tan. Cuma ya, seperti yang Laisa katakan tadi, kalau saya kaku di depan kamera." Nanta meralat. Antika tersenyum hangat. "Tenang aja, Tante latih kamu sampai bisa." Nanta hanya mampu tersenyum kaku. "Kamu coba dulu, ya. Kalau memang benar-benar nggak bisa, kamu boleh ngomong sama Tante." Antika mengambil jalan tengah. Nanta mengangguk singkat. "Nggak ada salahnya untuk mencoba." Laisa menambahkan. "Oh iya, untuk model ceweknya, Tante juga mau kamu yang jadi modelnya." Antika menunjuk Laisa. "Jadi, projek Tante kali ini ingin mengadakan pameran busana untuk pasangan." Antika mulai menjelaskan. Lalu ia mengambil jeda. Menatap dua anak manusia di hadapannya secara bergantian. "Dan untuk waktunya masih ada sekitar tiga bulan lagi. Kalian siap?" "Kalo sama Nanta aku siap." Tanpa sadar Laisa merangkul lengan Nanta dengan erat. Membuat Antika tertawa dengan diselimuti rasa gemas. "Saya juga siap." Nanta menambahkan sambil merentangkan satu tangannya untuk merangkul Laisa. "Ngeliat kalian kayak gini, Tante jadi keinget waktu muda." "Tante juga bucin, ya?" Laisa menuding. "Emangnya kamu doang yang bucin." Dengan gemas Antika mencolek ujung hidung Laisa. Mereka tertawa. Hangat. Nanta dapat merasakan kelembutan seorang Antika tatkala wanita paruh baya itu bersenda gurau. Ah, tidak dapat Nanta bayangkan, pasti ia menjadi sosok wanita yang sempurna. Pandangan Nanta teralih pada Laisa yang masih tertawa lepas, juga berekspresi bebas di hadapan Antika. Cukup jauh berbeda saat dirinya tengah berhadapan langsung dengan Astrid. "Oh iya, lain waktu Tante harap kita bisa ngobrol lagi, ya. Karena untuk sekarang, Tante masih ada meeting sama klien." Antika siap-siap berpamitan. "Iya, Tante. Nggak apa. Kami juga mau langsung pulang." Laisa menyahut. Namun raut Antika berubah dalam beberapa mili detik. "Kalian tinggal satu flat?" "Ah." Pertanyaan itu cukup membuat Nanta terkejut. "Nggak, Tan. Saya cuma mau antar Laisa pulang ke flatnya." "Ah, Tante pikir kalian tinggal satu flat." "Nggak kok, Tan. Kami juga ngerti." "Yah, padahal Tante harap kalian tinggal satu flat. Apalagi Tante dengar dari Laisa kalo Ibu Kos kamu galak, ya." Di akhir kalimat Antika menunjuk Nanta. "Nggak kok, Tan. Ibu Kos kalo sama saya nggak galak. Justru baik banget." "Apalagi kalo awal bulan, ya, Nan. Pas kamu bayar kosan." Laisa ikut menambahkan membuat Nanta hanya mengangguk untuk mengiakan. Dengan langkah yang beriringan, ia keluar dari ruangan yang didesain nyaman itu. Lantas berpisah dengan Antika yang meninggalkan pesan sederhananya. "Hati-hati, ya. Jangan ngebut-ngebut." Tentu, Nanta menyanggupi pesan baik itu. "Yuk." Laisa kembali menggandeng tangan Nanta. Genggamannya yang terasa hangat membuat aliran darah di tubuh Nanta berdesir tidak karuan. "Kamu nggak capek emangnya?" tanya Laisa menatap wajah Nanta yang terlihat cukup letih. "Capek, sih, tapi lebih capek nahan rindu sama kamu." "Si Mas pinter banget gombalnya." "Kalo sama kamu doang. Kalo sama yang lain saya nggak mau." "Kan, gombal lagi. Jadi, aku ini pacaran sama buaya atau sama lele?" "Sama malaikat. Mana ada lele seganteng saya, apalagi buaya." Laisa tertawa. Nanta senang gadisnya tertawa, apalagi jika ia tertawa hanya karena lelucon yang sebenarnya tidak seberapa lucunya. "Udah, ayo. Peluk yang kuat," titah Nanta. Laisa mengangguk semangat. Lalu memeluk Nanta dengan erat. Dan lagi, Nanta mengarahkan tangan Laisa ke dadanya. Sukses menimbulkan getaran yang tak biasa di dalam sana. Menggebu, menderu, meraung selayaknya mesin tua yang ingin menikmati setiap waktu yang tersisa. *** Nanta merebahkan tubuh dengan nyaman di sofa malas. Sementara Laisa, mulai sibuk sendiri dengan segala tugas paper-nya. Mengetik, lalu membaca. Mengetik lagi, membaca lagi. Begitu seterusnya. Sampai satu jam berlalu dan Nanta mulai berpergian di alam mimpinya. Tak terasa dengan tugasnya yang hampir selesai, Laisa merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Lalu menolehkan kepala ke arah samping di dekat jendela sana. Di tempatnya, ia menatap raut tenang yang tengah mendengkur halus menikmati tidur siangnya. Ia bangkit, menghampiri Nanta dan duduk di sebelahnya. Lagi, menyimak lekuk indah yang Tuhan pahat dengan penuh kehati-hatian. Tangannya bergerak menyentuh pipi Nanta. Mengusapnya halus seolah sedang menghantarkan deru dadanya yang juga berdebar tidak karuan. Perlahan ia mendekat, memangkas jarak wajahnya yang tanpa sekat. Ia tersenyum sambil terus menatap wajah Nanta dari jarak dekat. Ah, Nanta miliknya yang sempurna. Bukan soal rupa, melainkan kelapangan hatinya. Di mana ia selalu ingat dengan kesabaran Nanta ketika menghadapinya yang mulai merajuk atau bahkan saat Obsessive Compulsive Disorder yang dideritanya mulai kambuh. Jemarinya bergerak mengusap lembut segaris hidung Nanta yang lebih mirip dengan orang ras kaukasoid. "Are you happy with me?" tanyanya amat pelan dan hanya terdengar oleh telinganya sendiri. Senyumnya kian mengembang tatkala sosok yang tengah ditatapnya itu membuka kedua kelopak mata dengan berat. Nanta menyipit, berusaha menghalau sinar jingga yang nyaris langsung menerpa retina matanya. "I wanna kiss you, but—." Kalimat itu terpenggal oleh jari Nanta yang jatuh tepat di bibirnya. "Kamu pikir saya nggak?" tanya Nanta dengan suaranya yang berat akibat menahan gedebam keras di dalam dadanya. "Then, why don't we do it?" "Bukan untuk sekarang, La. Tapi nanti. Saat semesta sudah merestui kita." Nanta menatap lekat garis wajah yang tampak lesu di depannya. Lantas menjatuhkan kecupan hangatnya tepat di kening Laisa. Lama. Cukup lama ia mengecup kening itu. Kemudian tangannya terulur, mendekap erat tubuh dari sosok yang paling ia rindu selain sosok ibu. "Coba jawab pertanyaan saya." Nanta menghela napas hangat. Lalu mengecup tengkuk leher Laisa sejenak. "Apa?" tanya Laisa mulai merasakan desiran aneh di sekujur tubuhnya. "Apa yang membuat kita mampu bertahan?" Hening. Laisa tidak langsung menjawab. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Nanta. "Kenyamanan," jawabnya setelah melalui keheningan selama lima belas detik. "Kenyamanan yang timbul dari?" Nanta melanjutkan pertanyaannya. "Dari kamu." Tawa pelan itu menguar memenuhi sekitar atmosfernya. Dengan penuh rasa sayang, Nanta merangkul tubuh Laisa lalu mengecup puncak kepala gadisnya cukup lama. Perlahan turun pada kedua mata yang kini terpejam, Nanta mencecapnya sejenak dengan penuh hangat. Dan tatapannya mengedar ke arah bibir Laisa yang tampak merah. Jemarinya bergerak, menyentuh bibir itu dan mengusapnya dengan pelan. "Don't demand to kissed. Because I'm not entitled to it," ucapnya halus. Laisa membuka kelopak matanya yang lantas tertuju langsung pada bias senyuman Nanta yang selalu sukses meluluh lantakkan isi dadanya. Ia menarik napas. "Aku nggak akan minta lagi, dan biar kamu sendiri yang ngasih," balasnya. Nanta tersenyum tuntas. "I proud of you, Bee."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD