Menawan Hati
Siang hari tanpa mendung. Matahari memancarkan sinarnya dengan terik. Kendati demikian penghuni kota Jakarta tidak melupakan tanggung jawab buat memperbaiki nasib. Mereka bagaikan dipacu untuk memburu keberuntungan.
Seperti halnya seorang pemuda bernama Herman. Di bawah terik sinar matahari, dia melangkah gontai mendekati halte bis kota.
Sebentar dia mengeluh panjang, sebentar pula dia mengusap jidatnya yang basah oleh keringat. Di tangan kanannya memegang map sembari memperhatikan mobil yang lalu lalang di depannya.
Sebuah oplet berjalan lirih di depannya. Dan Herman tidak ingin menunggu di bawah halte bis itu terlalu lama. Maka dia segera menyetop oplet itu dan naik.
Baru saja Herman duduk di dalam oplet,
matanya terbentur ialah seorang gadis yang duduk di depannya.
Rambut gadis itu terurai ditiup angin. Matanya yang indah berbulu lentik sungguh menawan hati Herman. Profilnya sedikit lonjong dengan hidung mancung. Di mata Herman gadis itu telah menggetarkan kalbunya.
Detik selanjutnya tanpa disadari mata gadis itu tertumbuk mata Herman yang redup. Sepintas gadis itu menepiskan muka kesamping. Herman sedikit kecewa.
Lantas dia tertunduk sebentar. Mata Herman memandang orang berlalu lalang.
Tapi sebenarnya, perasaannya hanya tertuju pada gadis di depannya. Dengan menggerakkan kepala ke arah gadis itu, duuuuuh... hati Herman jadi sejuk.
Matanya yang indah itu memancarkan harapan buat mendekati. Atau berkenalan. Apalagi disaat Herman melihat gadis itu tersipu kala mata mereka saling bertemu.
Pipinya yang merah jambu membuai angan-angan Herman ingin mencumbu nya. Dan bibirnya yang senantiasa mengulum basah menggetarkan jantung Herman.
Setiap mata mereka saling bertemu, senyuman malu gadis itu menghias di wajahnya.
Mata Herman memandang betis gadis itu yang ditumbuhi bulu-bulu meremang nan halus.
Sepatu hitam berhak tinggi sungguh serasi dengan potongan tubuhnya yang indah.
Maka yang bisa diperbuat oleh Herman tak lain duduk termangu dalam angan-angan kosong. Dan dia menghendaki oplet itu biar agak lama masuk ke terminal, supaya dia terus bisa memandang kecantikan gadis itu.
Dia berharap oplet itu akan mogok dan tidak ada oplet-oplet lainnya, sehingga dia dapat bersama dengan gadis, itu sampai malam. Lantas bisa saling berbincang-bincang.
Ah! Alangkah menyenangkan sekali bila hal itu bisa, terjadi. Detik itu Herman tidak lagi merasakan teriknya sinar matahari yang
menyengat oleh karena setiap kali matanya bertemu dengan mata gadis itu suasana perasaannya jadi berubah sejuk.
Herman ingin duduk di sebelah gadis itu
namun perasaan malu membuai hatinya. Pemuda itu mulai resah tanpa penyebab yang menentu.
Apalagi disaat oplet berhenti dan mengangkut penumpang seorang lelaki berkumis. Hati Herman seakan-akan ditindih batu yang beratnya puluhan kilo.
Bagaimana tidak, lelaki yang duduk di sebelah gadis itu mulai mencari perhatian dengan gadis yang duduk di sebelahnya.
Padahal gadis itu sedang diinginkan oleh Herman. Maka Herman mulai nampak gelisah. Mulai nampak resah.
Dan gadis itu sempat bertatap dengan Herman lagi. Agaknya itu sedikit tersipu malu. Herman menelan ludahnya yang mendadak dirasa manis. Dia heran padahal tidak makan kembang gula.
Tapi mendadak kemanisan itu berubah
menjadi kesulitan untuk melepaskan uneg-unegnya, tatkala melihat tangan lelaki yang duduk di sebelah gadis melingkar di belakang pundaknya.
Herman mendongkol atas sikap lelaki yang duduk di sebelah gadis itu. Tapi Herman tidak kuasa berbuat apa-apa. Dia tak punya hak untuk melarang lelaki itu tidak berlaku demikian.
Hanya Herman memberanikan diri menatap mata gadis itu. Atas sorotan mata Herman yang menusuk kalbu, gadis itu tak kuasa untuk bertatap lebih lama.
Dia merasakan ada sesuatu yang tidak diinginkan dari sorot mata Herman. Mata pemuda itu setengah cemburu.
Oh!... gadis itu lantas berpura-pura tak nyaman oleh tangan lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Maaf..." Kata gadis itu sambil menutup jendela.
Lelaki itu hanya tersenyum ramah namun ada sedikit rasa kecewa.
Gadis itu selesai menutup jendela, melempar pandang ke mata Herman yang sejak tadi mengawasi hampir tanpa berkedip.
Bibir gadis itu mengambang senyuman yang aduhay. Herman membalas dengan penuh arti.
Lelaki yang duduk di sebelah gadis itu turun jauh dari Glodok.
Meski demikian Herman masih merasa malu untuk memberanikan diri duduk di sebelah gadis itu.
Lelaki apakah aku ini?... Bukankah dia telah memberikan kesempatan dan harapan buatku untuk mendekatinya? Kenapa aku takut?.
Herman ingin bangkit dan berpindah tempat duduknya di sebelah gadis itu, namun pantatnya tidak mau jua untuk beranjak.
Dia bagai terpaku. Hanya sorot matanya yang penuh bara pesona menghiasi makna tatapan Herman.
Gadis itu kembali tersipu sambil mengulum senyum.
Mata Herman yang nakal sempat singgah pada tonjolan benda lunak yang membusung tertutup kaos hijau berlengan pendek. Alangkah menantangnya.
Dan rok bawahan yang panjangnya di bawah lutut berwarna hitam, masih sempat memperlihatkan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang meremang. Membuat d**a Herman bergetar beberapa saat.
Sebelum oplet mendekati rambu lalu lintas jalan Kunir, gadis itu menyuruh sopir oplet itu menghentikan mobilnya.
Setelah membayar ongkosnya gadis itu sempat melempar senyum manis kepada Herman dan berlalu.
Herman seperti merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga
dalam hidupnya. Sebab dia merasa pertemuan itu
hanya sekali dan sulit untuk bisa terulang lagi.
Bukankah di Jakarta ini banyak manusia dengan
segala macam kesibukannya. Sulit baginya untuk
mengulangi kenyataan itu kembali.
Cuma yang
masih dia ingat profil gadis itu sedikit lonjong
dengan rambut yang di kuncir, sederhana sekali.
Pakaian yang dikenakan kaos hijau dan rok
bawahan berwarna hitam, bersepatu hitam pula.
Tubuhnya ramping dengan betis indah menyimpan
banyak kenikmatan di dalamnya.
Dan Herman akan
selalu mengingat bahwa hari Kamis tanggal 4
Februari dia berjumpa dengan seorang gadis yang
sulit untuk dilupakan dalam ingatannya.
Ketika oplet telah memasuki terminal kota.
Herman turun dari oplet dengan bermalas-
malasan. Rasa terik sinar matahari kembali dia
rasakan setelah gadis itu hilang dari pandangannya.
Tapi kali ini Herman tidak mau membuang waktu
lagi, bergegas dia naik ke dalam bis kota jurusan Grogol.
Sepanjang perjalanan menuju ke terminal
Grogol, Herman selalu melamunkan wajah gadis itu.
Kapankah lagi perjumpaan itu bisa terjadi?,
demikian harap Herman dalam kebimbangan.
Karena gadis itu telah merobek-robek hati dan
perasaannya.