Jatuh Hati

953 Words
Herman menulis di buku harian mengenai perjumpaannya dengan seorang gadis yang telah meninggalkan kesan manis, walau ujud kesan ituhanya dari sekilas berpandangan dan saling tersenyum. Bagi Herman kesan manis itu telah terukir di kalbunya tanpa mau perduli. Sehingga membuat pemuda ini jadi seorang lelaki yang suka melamun dan duduk menyendiri. Beberapa rekannya satu fakultas merasa heran melihat sikap Herman di belakangnya ini jauh berubah dengan hari-hari kemarin. Didik mencoba untuk mendekati Herman dan menegurnya. "He!...ngapain melamun terus Man? Apa semalam celana kolornu disambar maling?" Gurau Didik. Herman tersentak dan menoleh ke arah Didik yang tersenyum mengejek. "s****n," Gerutu Herman setengah mendongkol. "Lalu apa yang kau lamunkan?" "Kemarin aku berjumpa dengan seorang gadis yang cantiknya selangit." Didik meledak tawanya. "Di Jakarta ini banyak gadis-gadis cantik yang sering bikin kepala pusing, Man. Kalau setiap kau berjumpa dengan gadis cantik lalu jatuh cinta, bisa-bisa jadi gila!" Sambil berkata Didik tertawa terpingkal-pingkal. "Tapi yang kujumpai kemarin sangat luar biasa Dik." Tukas Herman. "Sekarang kau bilang luar biasa, nanti ketemu yang lebih cantik berubah lagi. Lalu apa? Super? Kau lelaki tempe Herman." "Diam!" Bentak Herman keki. "Hidup di Jakarta jangan mudah jatuh cinta, Herman. Aku kasih saran kepadamu. Cinta di sini mahal harganya." Didik berkata seraya meninggalkan Herman yang masih termangu di tempat duduknya. Dia amat mendongkol ditertawakan Didik. Dia sangat mendongkol dikatakan Didik sebagai lelaki tempe. Untung saja tidak dikatakan lelaki kampungan, jadi rasa mendongkolnya tidak terlalu sakit. Ah!, persetan dengan Didik. Pokoknya aku telah berkata dengan jujur, bahwa gadis yang ku jumpai di oplet itu benar-benar istimewa. Aku telah jatuh hati padanya. Selesai mengikuti kuliah, Herman menunggu oplet jurusan kota. Kalau dahulu Herman paling senang naik bis kota, sekarang dia beralih senang naik oplet. Tak lain dia berharap dapat berjumpa lagi dengan gadis pujaannya itu. Tapi apa yang mau dikata, pertemuan yang diharapkan justru sulit dialami untuk hari ini, dan untuk pertemuan yang berikutnya sulit dipastikan. Hari-hari yang dilalui Herman jadi berubah kelabu tanpa semangat untuk menghiasi dengan bunga-bunga harapan. Setiap pulang dari kuliah pemuda itu tidak pernah berjumpa lagi dengan gadis itu. Herman jadi putus asa untuk selalu mengharap bisa bertemu dengan gadis yang selalu diimpi- impikannya itu. Sekarang Herman beranggapan pertemuannya dengan gadis itu bagai ibarat impian yang indah dalam tidurnya. Bagaimana mungkin dia dapat berjumpa dengan gadis itu kembali jika tak tahu tempat tinggalnya. Tak tahu di mana dia bekerja. Dan tak tahu pula namanya. Herman jadi menepuk jidatnya. Kenapa aku ketika itu tidak berani bertanya di mana alamatnya, dan siapa namanya? Betapa tololnya aku!. Demikian keluh Herman yang disertai dengan penyesalan. Namun meski demikian Herman tidak pernah lepas untuk melalui dan menunggu di tempat halte bis itu. Kali ini kenyataan itu bukan lagi sekedar angan- angan belaka. Saat Herman menyetop oplet jurusan kota, di dalam oplet itu nampak seorang gadis yang selama ini meresahkan hatinya. Bergegas dia naik dengan jantung yang berdetak kencang. Herman memberanikan diri untuk menatap gadis yang duduk di depannya. Hatinya sedikit kecewa, kenapa tempat duduk yang kosong tadi bukan di sebelah gadis itu? Kenapa yang musti kosong di depannya? Aaaah! Keluh Herman dengan perasaan bimbang yang berada di antara keberanian. Gadis yang duduk di depan Herman hanya tertunduk malu. Namun bibirnya mengulum senyum yang penuh arti. Mata mereka saling bentrok untuk beberapa detik dan hati Herman benar-benar bahagia. Gadis itu sempat tersenyum pada Herman, aduhaaii... senyumnya yang sedikit tersipu itu sangat mempesona. Giginya yang berjejer rapi, putih, gigi pepsodent1. Bibirnya yang merah merekah ibarat kelopak bunga mawar yang masih segar. Herman membalas senyuman itu dengan arti ingin bersahabat, ingin dia segera memulai mengajak bicara gadis itu, namun dirasa suasananya tidak menguntungkan. Dengan menahan gejolak perasaan yang tak sabar, Herman menunggu sampai gadis itu turun di persimpangan jalan Kunir. Ternyata apa yang diharapkan oleh Herman meleset. Gadis itu masih tetap duduk sampai oplet memasuki terminal. Padahal Herman sudah bersiap-siap bila saja gadis itu turun dan mengikutinya. Dengan gesit Herman membayar ongkosnya, sebelum gadis itu mendahului. "Sudah kubayar." Demikian kata Herman sambil tersenyum ramah. Gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Dengan canggung dia memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet. "Terimakasih." Sahutnya datar. Setelah gadis itu turun dari oplet, Herman mengikutinya dari belakang Langkah Herman semakin dipercepat guna menyamai langkah gadis itu. Ketika langkah mereka sudah bersisian, Herman memberanikan diri untuk menegurnya. "Dari pulang kerja zus?" Tegur Herman sedikit canggung. Gadis itu menoleh sekilas, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum. Rambutnya yang hitam legam terurai ditiup angin semilir siang itu. Betapa anggunnya penampilannya. Langkah- langkahnya yang demikian lunak dan semampai membuat keinginan Herman semakin menggebu-gebu untuk selalu jalan di sisi gadis itu. Siang itu dia memakai kaos kuning dengan celana jenis yang sedikit ketat membalut tubuhnya. Alangkah indahnya bentuk tubuh gadis itu. Pinggangnya begitu ramping, pinggul meliuk bagaikan gitar spanyol dengan bentuk paha ramping yang amat serasi. "Apa aku boleh tahu namamu?" tanya Herman lunak. Gadis itu tidak langsung menjawab melainkan berjalan dengan tertunduk. Dia memandangi ujung sepatunya yang berwarna hitam berhak tinggi meruncing. Sepatu yang kemarin dipakai gadis itu, mengingatkan pertama kali Herman berjumpa dengan gadis itu. Yah dia masih hafal betul dengan hari dan tanggal perjumpaan di hari kemarin. Dan dadanya yang gemuruh akan gejolak perasaan tak menentu, kini dirasa semakin bergelora. "Namaku Herman. Dan bolehkah aku tahu namamu"?" Desak Herman penuh harap. Gadis itu menoleh lagi sekilas. Dan jantung Herman berdetak keras. Mata gadis itu alangkah indahnya. Senyum gadis itu alangkah manisnya. Semua yang terdapat pada dirinya banyak menimbulkan daya tarik bagi setiap lelaki. Tetapi kenapa dia agaknya terlalu berat untuk memberi tahu namanya. Adakah sesuatu yang disembunyikan di balik kenyataan yang mempesona itu? Ataukah dia sombong? Ah! kurasa tidak. Dia nampak wajar-wajar saja. Demikian dalam hati Herman yang gelisah. Meski demikian Herman masih saja mengikuti langkah gadis itu sampai di jembatan. "Apakah namamu terlalu mahal untuk kuketahui zus?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD