Gadis itu tersenyum dikulum mendengar
pertanyaan Herman.
"Tidak." Jawab gadis itu datar
"Lantas kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Herman berdecap resah. Gadis itu meliriknya
sepintas. Lalu mereka berdiri bersisian di
persimpangan jalan Kopi sambil menunggu colt
jurusan Grogol. Herman berdiri tercenung sambil
memegangi dagunya. Terik sinar mata hari yang
menimpa ubun-ubunnya tak dirasakan lagi. Yang
dirasa baginya tak lain hati bimbang dalam
pengharapan.
"Kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu hingga
menyentakkan Herman dari lamunannya.
"Nggg... ke Grogol." Jawab Herman tergagap.
Gadis itu berdehem pelan.
"Kenapa"?"
"Kita satu tujuan" Sahut gadis itu tanpa
menoleh Herman.
"Apa ruginya sih memberi tahu namamu?
Bukan kali aku telah memberi tahu namaku tanpa
merasa dirugikan?" Celetuk Herman.
"Siapa yang menyuruh kamu memberi tahu
namamu?" ketus gadis itu.
Herman tak dapat menyahut. Matik, dia
merasa terpojok. Sungguh tak disangka bila gadis
itu pintar ngomong. Maka Herman bisa garuk-garuk
kepala yang sebetulnya tidak dirasa gatal. Itu hanya
sekedar improvisasinya belaka.
Mata gadis itu memandang Herman dengan
makna, setengah menyelidik. Yang kemudian dia
merasa bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini
kelihatan polos dan jujur. Lantas gadis itu
memandang Herman dengan seulas senyum yang
seramah ibunya. Herman merasa sedikit terhibur
dengan senyum gadis itu. Yang dirasa detik berlalu
penuh kebimbangan berubah seketika dengan
keramahan.
"Apakah benar yang dikatakan temanku,
untuk berkenalan dengan gadis di Jakarta ini harus
mempunyai modal." Gumam Herman setengah
menyindir gadis itu.
"Modal apa?"
"Paling rendah mempunyai motor dan paling
tinggi memiliki mobil, baru dapat berkenalan gadis
Jakarta dengan mudah sekali."
"Itu tidak benar." Ketus gadis itu.
"Sudah terbukti kau tidak mau menyebutkan
namamu. Kalau saja aku mempunyai mobil kau
pasti tidak sesulit ini untuk menyebutkan namamu.
Ya kan?"
Gadis itu melengos.
"Sudah terbukti kan" Desak Herman.
"Aku bukan gadis semacam itu."
"Kalau kau merasa bukan gadis semacam itu,
sebutkanlah namamu. Aku baru merasa yakin
dengan apa yang kau ucapkan." Tandas Herman.
Gadis itu lantas mengeluh. Dari mulutnya terkuat
sebutan sebuah nama yang dirasa indah bagi
pendengaran Herman.
"Namaku Anita."
"Sungguh indah namamu. Coba ulangi sekali
lagi, aku merasa senang mendengarnya." Gurau
Herman sambil memasang telinganya.
"Barangkali kamu ini orang senewen ya?"
Celetuk Anita keki.
Herman tertawa berderai, sedangkan wajah
Anita merah merona. Dia merasa dipermainkan
oleh Herman. Tapi di. juga merasa senang dengan
sikap Herman yang senang bergurau.
"Kalau aku senewen dari sejak pertama aku
berjumpa denganmu sudah kupeluk habis-habisan.
Sebabnya aku merasa amat tersiksa kala melihat
mu. Matamu, hidungmu dan bibirmu terlalu ber-
mahnit2."
"Eeee, sudah berani kurang ajar ya? Belum
pernah ditempeleng orang?" Sergah Anita marah.
"Duh... galaknya. Begitu saja marah nih?,"
rujuk Herman.
Anita tanpa menghiraukan Herman lagi
melangkah pergi. Buru-buru Herman mengejarnya.
Tapi s**l, gadis itu telah naik ke dalam taxi dan
2 Magnet
berlalu tanpa meninggalkan kesan lagi. Apa yang
bisa diperbuat Herman tak lain hanya garuk-garuk
kepala. Dia menyesal berlaku demikian terhadap
seorang gadis yang baru saja dikenalnya.
Maksudnya ingin bergurau, tetapi Anita
menganggap dirinya telah melampaui batas. Sambil
menghela nafas berat lelaki itu menyetop bis kota
jurusan Grogol yang kebetulan lewat di depannya.
Bergegas Herman naik dan berlalu dari tempat itu.
Di dalam perjalanan menuju ke tempat kostnya,
lelaki itu menggerutu tanpa ada henti-hentinya.
Kenapa sampai bisa begini? Itu saja yang senantiasa
bercokol di benaknya.
Sesampainya di kamar kost, Hermin
melemparkan map lusuh di atas meja dengan
perasaan kesal. Lantas dibantingnya tubuh lunglai
itu ke pembaringan. Dengan nafasnya masih
memburu seperti sehabis berlari jauh. Bayangan
wajah Anita masih belum mau lenyap di pelupuk
matanya. Niatnya masih tetap membara untuk bisa
mendapatkan gadis itu. Hanya kapan perjumpaan
itu akan terjadi lagi?. Segalanya itu belum dapat
menjadi kepastian, sebab kehadiran Anita masih
merupakan bayangan suram.
Hari minggu merupakan hari relax bagi semua
karyawan dan pelajar. Dalam hari libur begini,
Herman selalu menghabiskan di tempat yang ramai.
Dia paling senang duduk pada sebuah bangku kecil
di terminal Banteng. Di sisi kiri dan kanannya
berderet pula orang-orang yang duduk berteduh
untuk menghindarkan sengatan sinar matahari.
Tapi di belahan langit sebelah barat mendung
berarak menuju ke timur. Tak lama lagi hujan akan
turun dari langit. Kalau saja angin masih sering
bertiup, ada kemungkinan hujan bakal urung jatuh
membasahi bumi.
Tapi angin tidak bertiup, sehingga
suasananya nampak begitu lenggang. Semua orang
yang ada di terminal Banteng bagai dikejar-kejar
hantu. Di sana-sini ketakutan bila mendung yang
berarak di langit akan meluruhkan titik-titik air ke
bumi. Layaknya dunia ini sudah mendekati sekarat.
Lain yang dilakukan Herman, dia masih tetap
duduk dengan tenang sambil menikmati kesibukan
orang yang berlalu-lalang. Baginya itu merupakan
tontonan yang mengasyikkan. Dari kesibukan itulah
Herman bisa menciptakan sebuah cerita yang
nyata. Kehidupan anak manusia yang penuh liku-
liku dan berdasarkan logika yang matang. Herman
seorang penulis muda yang telah berhasil
menciptakan sebuah karangan tentang "Kehidupan
Kota Jakarta" yang unik dengan segala penstiwa
kehidupan di dalamnya. Buku novel itu telah
berhasil dicetak ulang ketiganya berdasarkan
permintaan penggemarnya. Tapi baginya nama
yang menjulang tinggi, belum tentu setaraf dengan
apa yang dialami sekarang. Boleh orang lain
membanggakan namanya, memuja namanya, tapi
apalah artinya jika hidupnya masih tetap
kekurangan.
Dia baru dapat merasakan, bahwa kehadiran
Anita menuntut banyak segi keberhasilannya dalam
menunjang kehidupan. Kini Herman melalui hari-
harinya dengan kemurungan, bukan kemurungan
seperti anak-anak muda yang sulit mencari
pekerjaan. Melainkan kemurungan yang berasal
dari ingin memiliki gadis itu. Bayangan wajah gadis
itu dirasa tak mau lepas dari pelupuk matanya.
Inikah yang dinamakan senandung rindu menikam
kalbu? Yah... perumpamaan itu sangatlah tepat Dia
merindukan saat berjumpa kembali dengan gadis
idamannya itu.