Nama Sang Pujaan

893 Words
Gadis itu tersenyum dikulum mendengar pertanyaan Herman. "Tidak." Jawab gadis itu datar "Lantas kenapa?" "Tidak apa-apa." Herman berdecap resah. Gadis itu meliriknya sepintas. Lalu mereka berdiri bersisian di persimpangan jalan Kopi sambil menunggu colt jurusan Grogol. Herman berdiri tercenung sambil memegangi dagunya. Terik sinar mata hari yang menimpa ubun-ubunnya tak dirasakan lagi. Yang dirasa baginya tak lain hati bimbang dalam pengharapan. "Kamu mau ke mana?" Tanya gadis itu hingga menyentakkan Herman dari lamunannya. "Nggg... ke Grogol." Jawab Herman tergagap. Gadis itu berdehem pelan. "Kenapa"?" "Kita satu tujuan" Sahut gadis itu tanpa menoleh Herman. "Apa ruginya sih memberi tahu namamu? Bukan kali aku telah memberi tahu namaku tanpa merasa dirugikan?" Celetuk Herman. "Siapa yang menyuruh kamu memberi tahu namamu?" ketus gadis itu. Herman tak dapat menyahut. Matik, dia merasa terpojok. Sungguh tak disangka bila gadis itu pintar ngomong. Maka Herman bisa garuk-garuk kepala yang sebetulnya tidak dirasa gatal. Itu hanya sekedar improvisasinya belaka. Mata gadis itu memandang Herman dengan makna, setengah menyelidik. Yang kemudian dia merasa bahwa lelaki yang ada di sampingnya ini kelihatan polos dan jujur. Lantas gadis itu memandang Herman dengan seulas senyum yang seramah ibunya. Herman merasa sedikit terhibur dengan senyum gadis itu. Yang dirasa detik berlalu penuh kebimbangan berubah seketika dengan keramahan. "Apakah benar yang dikatakan temanku, untuk berkenalan dengan gadis di Jakarta ini harus mempunyai modal." Gumam Herman setengah menyindir gadis itu. "Modal apa?" "Paling rendah mempunyai motor dan paling tinggi memiliki mobil, baru dapat berkenalan gadis Jakarta dengan mudah sekali." "Itu tidak benar." Ketus gadis itu. "Sudah terbukti kau tidak mau menyebutkan namamu. Kalau saja aku mempunyai mobil kau pasti tidak sesulit ini untuk menyebutkan namamu. Ya kan?" Gadis itu melengos. "Sudah terbukti kan" Desak Herman. "Aku bukan gadis semacam itu." "Kalau kau merasa bukan gadis semacam itu, sebutkanlah namamu. Aku baru merasa yakin dengan apa yang kau ucapkan." Tandas Herman. Gadis itu lantas mengeluh. Dari mulutnya terkuat sebutan sebuah nama yang dirasa indah bagi pendengaran Herman. "Namaku Anita." "Sungguh indah namamu. Coba ulangi sekali lagi, aku merasa senang mendengarnya." Gurau Herman sambil memasang telinganya. "Barangkali kamu ini orang senewen ya?" Celetuk Anita keki. Herman tertawa berderai, sedangkan wajah Anita merah merona. Dia merasa dipermainkan oleh Herman. Tapi di. juga merasa senang dengan sikap Herman yang senang bergurau. "Kalau aku senewen dari sejak pertama aku berjumpa denganmu sudah kupeluk habis-habisan. Sebabnya aku merasa amat tersiksa kala melihat mu. Matamu, hidungmu dan bibirmu terlalu ber- mahnit2." "Eeee, sudah berani kurang ajar ya? Belum pernah ditempeleng orang?" Sergah Anita marah. "Duh... galaknya. Begitu saja marah nih?," rujuk Herman. Anita tanpa menghiraukan Herman lagi melangkah pergi. Buru-buru Herman mengejarnya. Tapi s**l, gadis itu telah naik ke dalam taxi dan 2 Magnet berlalu tanpa meninggalkan kesan lagi. Apa yang bisa diperbuat Herman tak lain hanya garuk-garuk kepala. Dia menyesal berlaku demikian terhadap seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Maksudnya ingin bergurau, tetapi Anita menganggap dirinya telah melampaui batas. Sambil menghela nafas berat lelaki itu menyetop bis kota jurusan Grogol yang kebetulan lewat di depannya. Bergegas Herman naik dan berlalu dari tempat itu. Di dalam perjalanan menuju ke tempat kostnya, lelaki itu menggerutu tanpa ada henti-hentinya. Kenapa sampai bisa begini? Itu saja yang senantiasa bercokol di benaknya. Sesampainya di kamar kost, Hermin melemparkan map lusuh di atas meja dengan perasaan kesal. Lantas dibantingnya tubuh lunglai itu ke pembaringan. Dengan nafasnya masih memburu seperti sehabis berlari jauh. Bayangan wajah Anita masih belum mau lenyap di pelupuk matanya. Niatnya masih tetap membara untuk bisa mendapatkan gadis itu. Hanya kapan perjumpaan itu akan terjadi lagi?. Segalanya itu belum dapat menjadi kepastian, sebab kehadiran Anita masih merupakan bayangan suram. Hari minggu merupakan hari relax bagi semua karyawan dan pelajar. Dalam hari libur begini, Herman selalu menghabiskan di tempat yang ramai. Dia paling senang duduk pada sebuah bangku kecil di terminal Banteng. Di sisi kiri dan kanannya berderet pula orang-orang yang duduk berteduh untuk menghindarkan sengatan sinar matahari. Tapi di belahan langit sebelah barat mendung berarak menuju ke timur. Tak lama lagi hujan akan turun dari langit. Kalau saja angin masih sering bertiup, ada kemungkinan hujan bakal urung jatuh membasahi bumi. Tapi angin tidak bertiup, sehingga suasananya nampak begitu lenggang. Semua orang yang ada di terminal Banteng bagai dikejar-kejar hantu. Di sana-sini ketakutan bila mendung yang berarak di langit akan meluruhkan titik-titik air ke bumi. Layaknya dunia ini sudah mendekati sekarat. Lain yang dilakukan Herman, dia masih tetap duduk dengan tenang sambil menikmati kesibukan orang yang berlalu-lalang. Baginya itu merupakan tontonan yang mengasyikkan. Dari kesibukan itulah Herman bisa menciptakan sebuah cerita yang nyata. Kehidupan anak manusia yang penuh liku- liku dan berdasarkan logika yang matang. Herman seorang penulis muda yang telah berhasil menciptakan sebuah karangan tentang "Kehidupan Kota Jakarta" yang unik dengan segala penstiwa kehidupan di dalamnya. Buku novel itu telah berhasil dicetak ulang ketiganya berdasarkan permintaan penggemarnya. Tapi baginya nama yang menjulang tinggi, belum tentu setaraf dengan apa yang dialami sekarang. Boleh orang lain membanggakan namanya, memuja namanya, tapi apalah artinya jika hidupnya masih tetap kekurangan. Dia baru dapat merasakan, bahwa kehadiran Anita menuntut banyak segi keberhasilannya dalam menunjang kehidupan. Kini Herman melalui hari- harinya dengan kemurungan, bukan kemurungan seperti anak-anak muda yang sulit mencari pekerjaan. Melainkan kemurungan yang berasal dari ingin memiliki gadis itu. Bayangan wajah gadis itu dirasa tak mau lepas dari pelupuk matanya. Inikah yang dinamakan senandung rindu menikam kalbu? Yah... perumpamaan itu sangatlah tepat Dia merindukan saat berjumpa kembali dengan gadis idamannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD