Kecuali ada sesuatu yang masih tersimpan di suatu tempat, bukan di memori deklaratif (memori yang bisa diceritakan), tapi di memori implisit (memori melalui respon tubuh). Di amygdala. Di tubuhnya sendiri
Rasa gelisah serta penasaran membuatnya tak bisa bersabar lagi, Faten menaruh cangkirnya, mengambil ponselnya, dan berjalan pelan ke balkon belakang, menutup pintu kaca dengan lembut. Dia perlu berbicara dengan seseorang yang pikirannya setajam skalpelnya (pisau bedah kecil yang sangat tajam) dalam hal ini.
Dr. Adrian adalah seorang psikiater sekaligus spesialis trauma dan gangguan stres terbaik yang Faten kenal
Terdengar suara sambung ponsel beberapa kali
Faten “Faten. Maaf ganggu di luar jam.”
Dr. Adrian suara tenang serta ramah “Faten. Tidak apa-apa. Ada perkembangan dengan Taran?”
Faten menghela nafas, mencoba tetap tenang
“Ada. Dan itu membuat saya… bingung. Secara tentang psikologis klinis istriku.”
Dr. Adrian “Ceritakan. Apakah ada gejala baru?”
Faten “Bukan gejala baru. Pola respons yang tidak konsisten dengan presentasi amnesianya. Dia mengalami sinkop vasovagal jelas siang tadi,”
Dr. Adrian “Pemicunya apa?”
Faten “Interaksi sosial. Bertemu dengan seseorang dari masa lalu yang seharusnya tidak dia ingat. Guru SMP kelas 3-nya.”
Dr. Adrian “Seharusnya tidak diingat? Menurut memori terbukanya, memori dia ada di mana?”
Faten “Dia stuck di memori kelas 1 SMP. Guru kelas 3 ini seharusnya figur yang sama sekali asing. Tidak ada data di ‘memori’ yang sedang aktif di otaknya.”
Dr. Adrian menghela nafas lalu terdiam sejenak beberapa saat “Lalu bagaimana respon istrimu?”
Faten sedikit gusar menjelaskan “Respons yang masif, Andrian. Diawali dengan kecemasan subjektif yang dia ungkapkan sebagai ‘kebingungan’, lalu diikuti tremor di tangan, takikardi, hiperventilasi, dan akhirnya kehilangan kesadaran singkat. Saya tangani di tempat, tidak ada tanda lain”
Dr. Adrian diam sejenak terdengar suara beberapa berkas di ujung telpon
“Respon fight-or-flight klasik (mekanisme bertahan hidup). Tapi kamu bilang dia tidak mengenali orang itu secara kognitif?”
Faten ragu sejenak mencoba tenang
“Tidak sama sekali. Tatapannya kosong. Tidak ada spark of recognition. Tapi tubuhnya… tubuhnya mengenali sesuatu. Dan mengenalinya sebagai ancaman, atau setidaknya, stimulus yang negatif.”
Dr. Adrian diam sejenak
“Ehmm…Itu sangat signifikan, Faten. Mengindikasikan kemungkinan bahwa amnesianya yang tampak global dan terdiferensiasi berdasarkan waktu mungkin tidak sepenuhnya menghapus jejak memori emosional atau somatic memory terkait periode waktu setelah titik terjebaknya,”
Faten suaranya sedikit sumbang
“Itu yang saya takuti. Bahwa ini bukan amnesia ‘bersih’ akibat trauma fisik pada satu area. Ini lebih kompleks. Mungkin ada komponen psikogenik? Dissociative amnesia?”
Dr. Adrian terdengar sedikit rilex di ujung telpon
“Sangat mungkin. Amnesia disosiatif seringkali selektif dan bertujuan melindungi ego dari memori yang terlalu menyakitkan. Tapi tubuh dan sistem limbik seringkali ‘tahu’ apa yang tidak diketahui oleh kesadaran. Apa yang kamu deskripsikan tremor tanpa sadar, sinkop itu seperti body memory yang meledak keluar. Sebuah reaksi somatik terhadap pemicu yang tidak dikenali oleh korteks prefrontal,”
Faten kembali masuk ke rumah dengan sambungan yang masih berlangsung memandang istrinya yang masih bermain ponsel
“Jadi, meskipun dia berpikir dan bertingkah seperti anak kelas 1 SMP, di suatu tempat dalam dirinya, ada seorang wanita yang memiliki memori traumatis terkait masa SMP-nya, mungkin khususnya di sekitar kelas 3? Dan guru itu adalah pemicunya?”
Dr. Adrian “ Mungkin, sebaiknya kamu cek kehidupan Taran ketika kelas 3 SMP,”
Faten menatap wajah berseri ekspresi kekanak-kanakan yang polos, ia menghela nafas seperti ada rasa sesak menimpa dadaanya
“Aku merasa seperti menjaga bomm waktu, Andrian. Dan aku tidak tahu kabel mana yang akan memicunya,”
Setelah panggilan selesai, Faten menurunkan ponselnya kemudian menggenggam erat. Dengan membawa laptop Faten duduk di belakang istrinya dengan 1 tangan menyentuh pinggang kemudian satu tangan menggeser kursor di laptop, membuka email kemarin tentang list teman-teman istrinya. Meski harus membayar 5 juta untuk info ini tapi bagi Faten ini sepadan
Sebuah file berisi daftar nama-nama teman sekelas Taran dari hasil email halaman f*******: dengan privasi yang cukup terbuka.
Matanya, yang sudah perih karena terlalu lama menatap layar, dengan teliti memindai setiap unggahan dari dua nama yang muncul berulang-ulang di daftar "sahabat dekat" dan sering disebut dalam kolom komentar Taran di foto-foto lama Rina Marlina dan Sari Dewi
Mereka adalah sahabat karib Taran sejak kelas 1 SMP, Rina Marlina anak perempuan dengan senyum lebar dan berani, selalu duduk sebelah Taran di foto-foto awal.
Sari Dewi lebih pendiam, tapi selalu ada di sisi Taran, sering terlihat memegangi bahunya
Faten membuka album foto Rina. Ada banyak foto masa kecil. Dia menemukannya sebuah foto kelompok di kelas, semuanya masih terlihat kekanak-kanakan. Di seragam Taran, terlihat jelas emblem bordir kecil di sakunya "Kelas 1-A". Senyum Taran di foto itu lepas, polos, sama seperti senyum "sekarang" yang dia tunjukkan
Setelah sekumpulan foto di akhir kelas 1, langsung muncul foto-foto mereka di acara reuni SMA, atau foto individu Rina di bangku kuliah. Tidak ada satupun foto Rina Marlina yang mengunggah gambar Taran saat mereka di kelas 2 atau 3 SMP. Rentang waktu itu seperti dihapus dari peta pertemanan mereka
Dadaa Faten mulai sesak. Dia beralih ke profil Sari Dewi
Pola yang sama terulang. Album "SMP" Sari penuh dengan foto-foto di kelas 1. Bahkan ada foto Taran, Rina, dan Sari memakai baju renang di kolam desa, tertawa ceria. Tanggal unggahannya hanya berselang beberapa hari dari foto-foto terakhir di kelas 1
Tidak ada foto bersama Taran di usia yang seharusnya lebih matang, di kelas 2 atau 3. Sari seolah-olah berhenti memotret Taran, atau berhenti mengunggah foto bersamanya, selama dua tahun
"Ini tidak masuk akal," gumam Faten, suaranya parau. "Masa-masa ABG, sahabat dekat... pasti ada ratusan foto jeprat-jepret. Apalagi mereka bertiga sudah kompak dari awal."
Kecurigaannya, yang sebelumnya berupa perasaan tidak enak, kini mengkristal menjadi keyakinan yang dingin dan menakutkan. Ada sesuatu yang terjadi pada Taran di antara kelas 1 dan kelas 2 SMP. Sesuatu yang membuat kedua sahabat dekatnya ini, secara mencolok, tidak memiliki atau tidak mempublikasikan kenangan visual bersamanya selama dua tahun itu
Faten tidak bisa menunggu. Dia perlu bertemu mereka
Dengan fokus yang membara, meski mata perihnya sudah berair, Faten mulai meretas jejak digital Rina dan Sari. Untungnya, keduanya cukup aktif dan terbuka. Rina Marlina kerap mengunggah foto dirinya dengan seragam karyawan sebuah apotek "Sehat Sentosa" di kota kabupaten. Bahkan ada postingan yang menyebutkan "Shift pagi dimulai jam 8, jangan telat!"
Sari Dewi lebih sederhana. Dia bekerja sebagai kasir di minimarket "Lancar Jaya" di pinggir jalan raya desa sebelah. Beberapa foto swa-foto dengan latar belakang rak minuman dan kasir memastikan lokasinya
Dia menyimpan alamat dan jam kerja mereka di ponselnya. Tangannya mengepal. Ada potongan puzzle yang bisa memberikan petunjuk mengerikan tentang apa yang terjadi pada istrinya