“Sayang,” mencoba membuat suaranya terdengar ringan. “Aku mau ke pusat kota sebentar. Beli beberapa keperluan. Mau ikut? Sambil jalan-jalan?”
Dari sofa, Taran menggelengkan kepala perlahan. Dia terlihat lesu. “Enggak ah,
Om. Gue ngantuk banget,” jawabnya, sambil menyelipkan tangannya di bawah bantal. Ekspresinya mirip anak kucing yang malas bergerak sepulang bermain
“Yakin? Aku beliin coklat. Atau kue yang kamu suka,” bujuk Faten
“Beneran nggak, deh. Om. Gue… gue tidur dulu ya,” ucap Taran sambil memejamkan mata, sudah berbalik membelakangi Faten
Ada keinginan kuat di dadaa Faten untuk memaksa, untuk membawa serta Taran kemanapun dia pergi. Tapi wajah lelah Taran meluluhkan niat itu. Dia butuh istirahat. Dan mungkin… aku akan pulang secepatnya dari kota
“Oke. Aku cepet pulang nanti. Panggilan cepat ada di no 1. Telepon aku kalau ada apa-apa,” Faten dengan lembut menyentuh rambut istrinya
“Mmm,” sahut Taran, sudah separuh tertidur
Mobil melaju menuju pusat kota. Dia masuk ke toko elektronik besar, matanya melihat sembari memilih panci listrik dan wajan listrik
“Agar istriku tidak perlu repot masak pakai kompor gas jika ingin memasak sendiri,”
Berbagai makanan kemasan, bubur instan, mie, s**u kotak. “Untuk stok darurat kalau aku tidak ada.” bahkan untuk urusan perut istrinya, dia tidak bisa mempercayai ingatan Taran yang bisa saja lupa cara memasak
Coklat batangan berbagai merk, wafer, biskuit. Itu adalah pemicu memori. Mana yang akan dia suka? Apa seleranya masih seperti anak SMP?
Kue bolu dalam kemasan plastik. Ingatannya melayang pada Taran yang dulu sangat suka kue bolu toko di dekat rumah mereka. Apakah dia masih ingat?
Keranjang belanjanya penuh, tapi beban di pikirannya tidak berkurang sedikitpun
Saat mengantri di kasir, pikirannya malah melayang ke Rina Marlina dan Sari Dewi. Ke apotek dan minimarket yang akan didatangi esok hari. Apakah mereka akan bicara? Atau mereka juga akan menutupi sesuatu
Dia membayangkan Taran tidur sendirian di rumah. Apakah aman? Apa dia akan terbangun dan bingung?
Faten menyelesaikan pembayaran dengan cepat, melemparkan semua belanjaan di bagasi mobil, dan melaju pulang lebih kencang dari seharusnya
~~~
Faten memarkir mobilnya di depan rumah, jantungnya berdetak kencang melihat kerumunan warga. Suara jeritan histeris menyayat udara dari suara Taran. Dia melompat keluar, meninggalkan pintu mobil terbuka dan belanjaan berantakan di jok belakang
Di teras, pemandangan yang menyayat hati menyambutnya. Taran terpelanting di lantai, dikelilingi oleh tiga orang warga yang mencoba menahannya. Rambutnya acak-acakan, mata terbuka lebar air liur meleleh dari sudut mulutnya yang terus-menerus mengeluarkan teriakan yang tak jelas "Jangan! Jangan dekat! Pergi! Setan! Lu semua setan! Aaaaaa..!”
Bu Mira berteriak histeris ke arah yang lain
"Itu lho, dari tadi! Tiba-tiba teriak sendiri di kamarnya! Kayak lihat hantu!”
Mas Heru mencoba memegang lengan Taran yang mencakar-cakar "Aduh, ini susah amat ditahan! Tenang, Mbak! Tenang!”
Pak Surya berdiri di pinggir, wajah pucat dan tangan gemetar memegangi dadaa "Mba... ini kenapa…”
Saat Faten mendekat, para warga agak lega. "Suaminya datang!"
Tapi saat Faten berlutut dan mencoba menyentuh Taran, malah menjadi lebih buruk. Taran seperti melihat ancaman baru. Dia mengerahkan seluruh tenaga, menendang Faten hingga hampir jatuh, lalu ketika Faten bertahan dan mencoba memeluknya, kuku-kuku Taran mencakar lengan Faten, meninggalkan goresan merah
"Taran, sayang, ini aku. Faten!"
Taran menggigit. Gigitan itu kuat dan putus asa, tepat di pergelangan tangan Faten. Rasa sakit yang tajam menembus, tapi Faten tidak menarik tangannya. Darah mulai merembes keluar. Warga sekitar panik
Bu Mira "Astaghfirullah! Gigit sampai berdarah! Ini bukan sakit biasa, Pak Surya! Ini kena gangguan!”
Seorang bapak dari belakang berkata
"Iya, kayak orang kesurupan!”
Pak Surya dengan putus asa, mendekati Faten
"Faten, Nak... mungkin kita coba bawa ke Kang Rukyat di kampung sebelah. Dia pinter mengusir jin yang ikut..”
Faten memotong dengan suara sangat jelas dan tegas, meski wajahnya menahan kesakitan karena gigitan
"Tidak, Pak. Terima kasih, tapi tidak perlu rukiyah." Dia menoleh ke kerumunan. "Terima kasih atas bantuannya semua. Saya bisa tangani sendiri sekarang. Mohon diberi saya dan istri ruang,”
Suasana menjadi canggung
Mas Heru "Tapi, Mas…”
Faten masih dengan nada sedikit melembut "Saya serius. Terima kasih Mas atas bantuanya. Saya mohon,"
Para warga saling pandang, akhirnya mengangguk dan mulai bubar dengan ragu-ragu. Bu Mira masih menggumam sambil melengos, "Kasihan sih, tapi kalau suaminya mau tanggung sendiri, ya sudah..." Bisik-bisik mulai bertebaran di antara mereka yang terdengar jelas di telinga Faten
"Gila kayaknya..."
"Dari tadi ngomong nggak karuan, lihat kosong gitu..."
"Katanya hilang ingatan, tapi kok kayak orang gila?"
"Mending dibawa ke dukun aja…”
Pak Surya masih ragu berjalan menyentuh pundak Faten "Mas Faten, saya mau…”
Faten memandang Pak Surya
"Pak, tolong. Percayakan pada saya. Saya dokter. Saya tahu ini bukan kesurupan,”
Dengan hati berat, Pak Surya pun mengangguk dan ikut meninggalkan teras, menutup pintu pagar depan
Kini, hanya tersisa mereka berdua di teras yang berantakan. Taran masih menggeram, gigitannya masih melekat di pergelangan tangan Faten yang berdarah, sorot mata Taran seperti ingin membunuh Faten
Dan Faten, dengan luka yang perih, tidak melawan. Dia justru menarik Taran lebih dekat ke pelukannya, meski tubuh Taran menggeliat sambil menendang ke segala arah
Faten suaranya tiba-tiba berubah, menjadi sangat lembut
"Kamu mau marah, marah aja, gapapa. Kamu sedih, nangis aja. Mau pukul juga, pukul aku aja. Nanti kalau sudah nggak marah, sudah nggak sedih, sudah nggak mau pukul... kamu atur napas, yah, sayang,”
Dia mengulanginya. Lalu mengulang lagi. Suaranya monoton, tenang, tidak terpengaruh oleh cakaran, gigitan, atau gerakan menolak Taran
Tangannya yang tidak terluka dengan lembut menepuk-nepuk punggung Taran
"Kamu sedih, nangis aja... Mau pukul juga, pukul aku aja sayang…its ok,”
Perlahan-lahan, sangat perlahan, tubuh kaku Taran mulai gemetar kelelahan gerakan mencakarnya melemah. Tekanan gigitannya di pergelangan tangan Faten mulai mengendur
“Sudah udah nggak mau pukul lagi.. sayang atur napas, yah, sayang…”
Taran menarik nafas meski terdengar seperti udara yang ia hirup bahkan membuatnya tersedak, terdengar isakan kecil kemudian berubah menjadi tangisan keras. Tubuhnya mulai lemas tertelungkup dalam pelukan Faten
Faten tetap memeluknya, darah dari pergelangan tangannya m*****i baju dan ia tak peduli dengan lembut terus mengelus punggung istrinya. Sampai tangisan Taran berubah menjadi desahan nafas yang mulai tenang kemudian menjadi kelelahan
Proses itu memakan waktu hampir tiga puluh lima menit. Di pelukan Faten, tubuhnya yang tadi kaku dan penuh kekuatan liar kini terasa lemas tak berdaya
Faten dengan hati-hati menarik diri sedikit untuk melihat wajah istrinya. Matanya bengkak dan merah
“Sayang…sudah baikan?” Faten bersuara pelan
Taran hanya berkedip. Pandangannya tak bisa fokus, lalu perlahan-lahan mulai fokus. Pertama, pada wajah Faten. Lalu, beralih, jatuh pada tangannya sendiri. Di antara kuku-kuku jarinya, ada bercak merah kecoklatan yang sudah mengering. Ada sedikit serpihan kulit halus di bawah kukunya yang pendek
Alisnya berkerut kebingungan kemudian matanya beralih ke lengan Faten. Ke pergelangan tangan di dekatnya. Ke luka gigitan terlihat dalam, berwarna merah tua dan ungu, masih mengeluarkan sedikit darah
goresan-goresan merah panjang yang memenuhi lengan bawah Faten
“Ini…?” suaranya parau, serak karena habis menangis gemetar ingin menyentuh lengan Faten
“Om… luka…?”
“Ini bukan apa-apa,” bisik Faten, tetap tenang. “Sedikit lecet.”
Taran menggeleng-geleng, air mata baru mulai menggenang di matanya yang sudah bengkak rasa bersalah
“Gue… gue yang gigit? Yang… cakar Om?”
“Sayang,” Faten memanggil namanya dengan lembut, “Kamu tadi ketakutan. Kamu tidak sadar,”
Taran merintih “Gue minta maaf, Om. Gue… gue nggak tau kenapa. Gue nggak ngerti,”
Di tengah upayanya menenangkan Taran, sebuah detail penting luput dari perhatian Faten yang biasanya sangat waspada. Di antara kerumunan warga yang sudah bubar tadi, di balik sebatang pohon pisang di ujung jalan, ada seorang pria berdiri