18

1082 Words
Meskipun mendapat tatapan tajam dari Faten tapi sosok pria misterius itu berjalan mendekat Pak Dion berjalan mendekat dengan wajahnya berseri mengenali, “Taran? Taran, bukan? Wah, lama sekali!” Pak Dion mendekat dengan senyum lebar. Taran langsung menciut, ia mundur beberapa langkah bersembunyi di belakang Faten. Dia memandang Pak Dion dengan tatapan bingung dan sedikit takut Taran Berbisik lembut sedikit gemetar “Om... siapa dia?” Faten melangkah setapak dengan bahu tegap, “Anda siapa Pak?” Pak Dion berhenti lalu sedikit tersenyum memandang Taran kemudian beralih melihat Faten “Oh, maaf. Saya Dion. Dulu wali kelasnya Taran saat naik ke kelas 3 SMP di sini. Wah, Taran... dulu murid yang sangat cerdas dan aktif. Senang bertemu lagi,” Dia mencoba menatap Taran di balik bahu Faten. Taran hanya menggeleng pelan, menggenggam lengan baju Faten lebih kencang Feten Menghela nafas, sikapnya sedikit melunak “Maaf, Pak Dion. Saya suami Taran istri saya... dia sedang tidak dalam kondisi baik. Dia mengalami amnesia karena trauma,” Faten Memandang Taran, lalu Pak Dion, suaranya lirih “Jadi ingatannya hanya sampai kelas 1 SMP,” Pak Dion Wajahnya berubah drastis. Senyumnya lenyap, diganti terkejut dan keprihatinan yang mendalam “Apa? Amnesia? Hanya ingat kelas 1 SMP? Astaga... Taran…” Suara lebih lembut “Itu... sangat berat. Tapi, tahu tidak, kebetulan saya masih menyimpan beberapa foto dokumentasi kelas dulu. Ada foto-foto kegiatan, upacara... termasuk foto Taran dan teman-teman sekelas. Mungkin... bisa membantu mengingat sesuatu?” Sebelum Faten atau Taran menjawab, tangan Taran yang selama ini memegang Faten mulai bergetar. Getarannya halus dimulai dari ujung jari dan merambat ke seluruh tangannya. Taran menatap tangannya sendiri dengan ekspresi bingung dan takut Faten merasakan getaran itu, langsung menoleh dan memegangi tangan Taran “Sayang? Kenapa? Tanganmu dingin dan gemetar.” Taran Suara sedikit bergetar dengan wajah panik “Gue... gue gak tau,Om.tangan... gue bergetar sendiri. Kenapa? Apa yang terjadi? Gue gak nyuruh bergerak. Gue takut,” Dia menatap jemarinya yang gemetar tak terkendali air mata mulai menggenang di matanya, campuran rasa frustasi dan ketakutan. Faten segera merangkulnya, mencoba menenangkan Faten memeluk Taran dengan lembut membelai punggungnya “Tenang, sayang. Tenang. Mungkin hanya lelah. Kita pulang yah,” Faten lalu menoleh ke Pak Dion, yang juga tampak terkejut melihat reaksi Taran Faten dengan suara rendah “Terima kasih atas tawaran fotonya, Pak. Itu... mungkin bisa dicoba. Tapi untuk sekarang, saya harus membawanya pulang dulu. Kondisinya tidak stabil,” Pak Dion mengangguk “Ya, ya tentu. Maafkan saya jika tadi mengejutkan. Silakan, jaga baik-baik Taran. Nanti saya urus fotonya. Semoga... semoga bisa membantu Taran,” Faten mengangguk singkat, lalu memeluk Taran yang masih gemetar dan bingung, membimbingnya perlahan untuk berbalik arah. Pak Dion berdiri di tempat, menyaksikan mereka pergi dengan tatapan mengamati Faten merasakan pernafasan Taran yang tidak stabil, kedua tanganya masih bergetar makin intens “OM…rasanya…berputar, gelap…aku,” Lutut Taran tiba-tiba tertekuk tak lama seluruh tenaganya untuk berdiri menghilang, Taran jatuh lemas ke samping “SAYANG!” teriak Faten Dengan refleks yang cepat dan terlatih, Faten seorang dokter anestesi yang terbiasa menangani perubahan kondisi vital pasien dalam hitungan detik menangkap tubuh Taran tepat sebelum kepalanya membentur tanah Dia menahannya dengan kuat, lalu dengan gerakan lembut, membaringkan Taran dengan Pelan di atas hamparan rumput di tepi jalan setapak. Wajah Faten berubah dari cemas menjadi konsentrasi tinggi, meski jantungnya berdebar kencang untuk orang yang dicintainya Faten berlutut di samping Taran, tanganya sudah menempel pada leher Taran dengan kedua jari, Faten dengan cepat menyandarkan kepala Taran sedikit ke belakang (head tilt-chin lift) Memastikan lidah tidak menghalangi. Dia mendekatkan telinganya ke hidung dan mulut Taran “Nafas sayang,” gumam Faten Dari sana terlihat dadaa istrinya naik turun dengan perlahan serta teratur, Faten dapat merasakan hembusan hangat di pipinya Jari telunjuk dan jari tengahnya segera menemukan arteri karotis di leher Taran, Faten menekannya dengan lembut Matanya fokus pada jam tanganya menghitung selama 10 detik “Nadi cepat, tapi teraba kuat,” Karena Taran bernapas dan memiliki nadi, Faten tidak melakukan CPR, dia memposisikan Taran dalam recovery position (posisi pemulihan) menyamping kiri (posisi lateral). Ini untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka jika muntah, dan posisi ini optimal untuk sirkulasi. Tangannya menopang kepala Taran dengan lembut Faten dengan lembut stimulus fisik "Taran. Sayang. Dengarkan suaraku,” menggosok sternum (tulang dadaa) Taran dengan buku jarinya dengan tekanan cukup (stimulus nyeri sentral) Matanya terus memantau d**a Taran yang naik turun dan warna kulitnya tidak kebiruan. Dia merasakan nadi Taran lagi, memantau kecepatannya Beberapa detik kemudian, kelopak mata Taran berkedut “Om, gelap…gue,” Faten bernafas lega "Aku di sini. Jangan buru-buru bangun. Tarik napas dalam. Pelan-pelan." Dia terus memantau, memastikan Taran benar-benar sadar Setelah beberapa menit Taran sudah bisa fokus dan mencoba untuk duduk “Gue udah bisa,Om. Cuma pusing dikit. Gue bisa jalan,” Faten tidak akan mengambil risiko satu milimeter pun, ia menggeleng "Tidak. Kamu tidak bisa,” Faten membungkuk, menyiapkan posisi kokoh. Tangan kanannya meraih punggung Taran, tangan kirinya menyentuh di bawah lututnya Taran menolak "Aduh,Om, gak usah lah. Tadi cuma lemes aja. Bikin malu aja lo bawa-bawa gue gini.” Faten menatap dengan tajam di sertai sedikit emosi "Aku tidak akan mengambil resiko. Dan kamu tidak akan berjalan,” Tanpa menunggu protes lebih lanjut, Faten menggunakan kekuatannya dengan lembut dengan satu gerakan dia mengangkat istrinya di punggung Taran Terkejut, terpaksa melingkarkan tangannya di bahu Faten untuk keseimbangan "Hoi! Gue bilang!” Faten memotong, sambil mulai berjalan suaranya getar, campuran antara kekhawatiran, kelelahan, dan cinta yang terlalu besar "Diam. Aku yang bawa sayang pulang. Titik.” Dia mendekap Taran lebih erat, tatapannya lurus ke depan, menghindari tatapan malu atau bingung Taran. Di pelukannya, tubuh Taran terasa ringan Taran akhirnya menyerah kepalanya menempel di pundak Faten. Suaranya lirih "Gue... aneh ya... tadi gue lihat segalanya gelap...Om... panik yah?” Faten berjalan agak pelan "Aku bukan panik. Aku takut kamu kenapa-napa,” Taran terdiam perjalanan pulang mereka diwarnai oleh keheningan, hanya diisi oleh langkah kaki Faten yang mantap dan desahan angin di antara dedaunan ~~~ Taran sudah sampai di rumah kemudian Faten dengan lembut meletakkannya di atas sofa, Faten masuk kamar untuk mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh istrinya, jemari Taran memainkan ponsel untuk membaca manhwa online Faten berdiri di ambang dapur tanganya gemetar ketika menyiapkan secangkir teh hangat, pikirannya tak bisa lepas dari Taran. Istrinya menjadi tremor, takikardi (detak jantung cepat), hiperventilasi, kemudian pingsan (sinkop), pemicunya sangat terlihat jelas yaitu interaksi dengan Pak Dion Dengan kondisi istrinya yang amnesia dan hanya ingat saat kelas 1 SMP orang baru yang ditemui seharusnya netral, tidak memiliki kenangan emosional Kecuali…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD