Saat romansa mulai terjalin serta suhu hangat Taran sampai di titik, Faten mulai turun mencium leher istrinya
“Pak Faten!” Suara Pak Surya cukup keras terdengar dari arah pintu, “Astaga,” Faten mendengus sembari membuang nafas dengan kesal
“Iya Pak Surya, sebentar,” ia Berjalan ke depan rumah lalu terlihatlah Pak Surya datang dengan rantang makanan bersama seorang gadis, “Pak Faten kenalkan ini putri saya,” Pak Surya menyenggol lengan putrinya
Meski terlihat canggung gadis itu mengulurkan tangan berniat menjabat tangan Faten, “Nama saya Murni Mas,” gadis desa itu menunduk malu-malu. Faten meski bingung tapi berusaha ramah dengan membalas jabatan tangan Mba Murni
“Saya Faten mba,” sejenak Faten melihat Pak Surya “Ada apa yah Pak?” Ini pandanganya fokus ke arah Pak Surya
“Oh ini, saya bawa ini buat Nak Faten karena semalam saya lupa kasih tau kalau kompor gas di dalam gak ada,” Pak Surya menyerahkan 1 rantang diiringi senyum sumringah
“Ohhh…terima kasih pak,”
Sesaat suasana jadi agak canggung karena Pak Surya tidak pergi atau mengatakan apapun, belum lagi tatapan nya terasa aneh
“Kalo gitu saya permisi dulu Pak,” Faten sedikit menundukan kepala berniat masuk ke rumah, Tapi Pak Surya dengan sedikit cubitan kecil ke lengan Murni lalu mendorongnya maju
“Ah, anu Mas kalo mau jalan-jalan keliling desa bisa saya temani,” Mba Murni memelintir rok serta bola mata yang tidak bisa fokus menatap lawan bicara
Sepertinya Faten bisa mengerti sedikit maksud Pak Surya “Iya Mbak, nanti saya cari kalo butuh bantuan Mbak,” Faten berjalan menuju rumah. Cukup baginya memikirkan kesehatan dan masa depan rumah tangganya tak sempat memikirkan penderitaan perempuan lain
“Sayang,” Faten celingukan mencari Taran, saat tak mendapati di dapur dan kamar ia panik dengan buru-buru berlari ke kamar lain hingga memasuki kamar mandi
“AAhhkk, DASAR KURANGG AJARR!” Sebuah gayung berisi air melayang ke wajah Faten, tak lama pasta gigi, botol shampo lalu terakhir celana dalam melayang lalu mendarat tepat di wajah Faten
“M…maaf sayang aku,” menutup pintu kemudian menempelkan pipinya memastikan suaranya didengar Taran
“PERGI DASARR OM-OM MESUMM,GENITT,NAKALL,” Bentakan Taran membuat Faten terdiam, dengan gusar Faten menunggu di ranjang sesudah ia menyiapkan ganti baju istrinya
Saat keluar kamar mandi Taran hanya terlilit handuk di iringi tatapan sinis melihat suaminya “APA!” Nada tinggi sambil terus berjalan ke arah lemari
“Maaf sayang, aku salah,” ia mendekat sembari menyalakan hair dryer perlahan membantu mengeringkan rambut istrinya
“Ehm, tapi janji gak boleh masuk-masuk sembarangan. Oh tadi siapa yang datang?” Taran menatap tubuh suaminya dari cermin besar tepat di hadapannya
“Wah, rejeki nomplok gue dapat Om-Om speak gini,” gumamnya
“Tadi Pak Surya nganter makanan, sayang laper? Mau makan dulu aja,” ia masih fokus melihat tengkuk serta lekuk bahu, ia meraba sedikit “Sialann, aku benar-benar bisa gilaa,” mencoba berpikir jernih mengatur nafas mencoba berpikir positif setiap melihat istrinya
“Anggap saja sedang memegang anak domba,” ketika telapak tangan nya meraba bagian yang sama kedua kali, Lalu ia terhenti ketika matanya tak sengaja melihat belahan dadaa istrinya “Dia terlihat seperti domba panggang, astaga aku ingin sekali menikmatinya,” meski otaknya sudah banyak rencana 18+ tapi kondisi Taran tak memungkinkan
“Astaga, tuhanku cobaan apa ini, kenapa justru otakku tidak bermoral ketika melihat istriku,” Faten terdiam dalam lamunan nya membuat Taran tersadar jika Faten tersenyum dan menatap ke satu arah
“Udah Om,” Taran segera berganti baju di depan Faten
Saat itu Faten mencoba berpikir positif membayangkan istrinya adalah patung tapi patung apa yang seindah ini, coba berganti memikirkan jika Taran adalah ayam ketika melihat pahaa, justru Faten ingin merabanya. Astaga berfikir sepositif apapun hasilnya selalu pornoo jika itu menyangkut istrinya
“Om gue makan dulu yah,”
Taran segara membuka rantang makanan lalu terlihat jika makanan ini seperti khusu di buatkan 1 porsi, Faten sedikit curiga entah kenapa aura positif tentang Pak Surya tak seperti awal mereka bertemu
Setelah sarapan Faten dan Taran berjalan-jalan di sekitar desa, aromanya benar-benar khas pedesaan masih segar dan sejuk seperti udara pegunungan yang masih bersih
“Om tau gak dulu di sini pernah banjir taii sapi,” Taran menggandeng lengan Faten kemudian menunjuk ke arah selokan besar
“Ehm, terus kamu gimana kena banjirnya?” Faten dengan lembut menyentuh tangan mungil istrinya
“Kena sepatu waktu pulang sekolah, kalau hujan pasti taii sapi ikut hanyut,” Ia melanjutkan cerita kemudian tertawa “Om sayang gue gak?” Wajah yang menggemaskan itu membuat Faten harus benar-benar menahan diri, “Sayang banget, kamu minta apapun akan aku kasih, walaupun gak bisa sekarang pasti aku usahakan buat kamu,” langkah Faten terhenti
“Kamu mau apa sayang?” Tatapnya melembut kedua tangan hangatnya menyentuh kedua pipi Taran. Taran sedikit ragu terlihat bibirnya sedikit bergetar serta mata mencoba menghindari Faten
“Sayang mau apa? Apapun pasti aku usahakan,” nada Faten lebih lembut lagi perlahan ibu jarinya menyapu pipi istrinya
“Om jenguk Ibu yah,” Kedua tangan Taran menyentuh punggung tangan Faten, saat itu Faten diam lalu merangkul istrinya untuk terus berjalan-jalan menyusuri kampung
“Om, katanya sayang dan lakuin apapun yang gue minta,” Taran merajuk dengan manja, “Om beneran gak mau dengerin?” Ia terhenti kemudian melepas lengan Faten sembari bermuka masam membuang muka ke arah lain
“Sayang, aku gak bisa ninggalin kamu disisi lain aku gak bisa ajak kamu ke rumah Ibu,” Faten melembut kembali memberi pengertian, “Aku menjauhkan kamu dan Ibu agar tidak saling menyakiti, nanti aku cari pembantu buat jaga kamu kalo. Aku harus pergi jenguk ibu,” Faten memeluk istrinya rasa hangat kembali ia rasakan
“Gue takut Om jadi anak durhaka,” Taran membalas pelukan Faten tangan merasakan punggung bidang Faten, “Yang harus berbakti ke Ibu itu aku, kamu cukup jadi istriku saja gak perlu jadi menantu sempurna,” timpal Faten sambil mengelus lembut kepala Taran
Sesaat Faten merasakan ada yang mengawasi mereka dari jauh, dengan posisi berpelukan Faten melihat sekeliling tepi jalan yang terlihat beberapa rumput tinggi serta pohon mangga lalu kelapa, “Siapa dia?” Gumam Faten melihat sosok pria berperut buncit memakai kaus putih dan sarung usang
Faten bisa merasakan tatapan nya tak biasa, tentu saja Faten membalas tatapan itu dengan tajam
Jika berani menyentuh Taran, lebih baik aku habisi di sini
“Hah, Om ngomong apa?” Taran mencoba melepas pelukanku tapi ditahan Faten, “Peluk sebentar lagi,sayangku,” kedua tangan Faten mendekap istrinya seperti bentuk perlindungan penuh dan tatapannya semakin menyipit ke sosok Pria Paruh Baya misterius itu