6

1439 Words
Pagi Pagi itu, Faten terbangun oleh suara teriakan keras dari arah dapur. “AAAAAAH LEPASKAN! LEPASKAAAAN!” Faten tersentak bangun, masih separuh mengantuk, namun tubuhnya langsung bereaksi. Ia berlari keluar kamar, hampir tersandung karpet, napasnya ngos-ngosan. Begitu memasuki dapur, ia berhenti mendadak. Ia menghela napas panjang melihat pemandangan di depannya. Taran duduk menindih tubuh Rina, adik perempuan Faten. Satu tangannya mencengkeram rambut Rina dengan kuat. Wajah Taran tegang, matanya membara seolah sedang diserang. Sementara itu, Bu Siti berusaha menarik bahu Taran dari belakang. Mukanya panik. “Faten! Cepat! Istrimu ini... aduh, dia ngamuk!” “Kak! Tolong, Kak!” Rina meringis. Kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Taran. “Dia gila! Nggak terima dinasehatin! Mau mukul Ibu!” Faten menutup mata sebentar, menstabilkan napasnya. Dengan langkah perlahan, Faten mendekat dan menatap Taran. Suaranya lembut. “Sayang... kenapa? Ada apa? Aku di sini.” Taran tersentak. Jemarinya masih mencengkeram rambut Rina. Napasnya cepat seperti orang yang sedang dikejar sesuatu dalam pikirannya. Namun sebelum Taran sempat menjawab, Rina memotong dengan suara tinggi. “Kak! Dia kemarin udah gila! Sekarang paginya nambah parah! Ibu cuma nasehatin biar—” “Rina.” Nada Faten berubah dingin. “Aku nanya ke Taran. Kamu diam dulu.” Rina langsung terhenti. Bu Siti terpaku. Jarang sekali Faten berbicara setegas itu. Faten perlahan menyentuh pergelangan tangan Taran. Gerakannya lembut. “Sayang... lepaskan dulu, ya?” bisiknya. “Nggak ada yang mau sakitin kamu di sini. Ada aku.” Taran menggeleng pelan. Bibirnya bergetar. Suaranya parau dan penuh ketakutan. “Mereka... mereka... jangan biarin mereka sentuh gue...” Ucapan itu menusuk dadaa Faten, melihat bagaimana istrinya begitu takut pada ibu dan adiknya. “Tidak ada yang akan sentuh kamu,” ujar Faten pelan. Ia mendekat hingga napasnya dapat dirasakan Taran. “Lepaskan Rina... terus peluk aku. Oke?” Taran menatap Faten seperti anak yang terpojok. Perlahan... sangat perlahan... genggamannya melonggar. Rina segera menarik diri sambil meraba rambutnya dan mengumpat pelan. “Dasar wanita gila!” Bu Siti menahan napas lega. Begitu tangan Taran benar-benar terlepas, Faten menggeser tubuhnya dan merangkul istrinya. Taran langsung memeluk balik, menggigit bibir, wajahnya menekan ke dadaa Faten seperti mencari perlindungan. “S...sakit... jangan biarin mereka sentuh gue lagi...” Faten mengusap belakang kepala Taran. “Hm... sudah. Kamu aman. Ada aku.” Di belakang mereka, Rina masih memegang rambutnya sambil meringis. “Kak... astaga, itu orang beneran mau mukul Ibu tadi...” Faten menoleh. Tatapannya dingin dan tajam. “Rina. Diam. Nanti kita bicara.” Rina terkejut. Ia belum pernah melihat Faten setegas itu. Faten kembali berbicara. “Ibu... Rina... untuk sementara, pulang dulu, ya. Jangan ke rumah dulu sampai aku bilang aman.” Rina membelalak. “Apa?! Kakak serius? Gara-gara dia, kita malah disuruh pergi? Kak! Dia itu mau nguasai Kakak! Mau mutus hubungan keluarga!” “Rina...” suara Faten meninggi. “Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Taran lagi trauma. Kalian harus pulang dulu.” “Tapi, Kak !” “Rina... tolong.” Nada itu tak bisa dibantah. Namun Rina merasa itu tidak adil. Wajahnya merah, bibirnya gemetar. “Apa Kakak nggak lihat? Dia tadi nyerang aku, mau mukul Ibu! Kak, sadar! Dia itu bahaya! Kakak nanti—” Tiba-tiba tubuh Taran kaku. Kedua tangannya menutup telinganya sangat kuat. Matanya membesar ketakutan. “A...ah... jangan... jangan teriak... jangan...” Napasnya terputus-putus, pendek, cepat, seperti seseorang yang sedang tenggelam. Dadaa Taran naik-turun tidak teratur. “Tar... Taran?” Faten langsung meraih wajah istrinya. Napas Taran makin kacau hingga terdengar seperti hfff... hfff... hfff. Faten panik. “Taran! Sayang, lihat aku. Sayang!” Taran tidak bisa fokus dan tubuhnya mulai gemetaran. “KA-KA-KAK!! TUH LIHAT!! DIA GILA!!” “Rina, diam!” Faten membentak keras. Suara itu menghentikan Rina seketika. Faten memfokuskan diri. Ia menempatkan kedua tangannya di pipi Taran dan mulai membantu mengatur pernapasan. “Taran... dengar aku. Tarik napas... pelan... ikut Faten, ya.” Faten menarik napas panjang dan perlahan. “Pelan... Tar. Bukan cepat. Lihat dadaa Faten... ikuti.” Taran mencoba mengikuti, meski napasnya masih belum stabil. Kemudian Faten mengambil tangan Taran dan menempelkannya ke dadaa Faten. “Nih... rasakan. Ikuti ritme napasku.” Faten bernapas lambat dan dalam, memberi tubuh Taran isyarat untuk menyeragamkan. Langkah terakhir, grounding. Faten mengusap kedua lengan Taran dari bahu ke siku. “Sayang... ini aku. Ini rumah kita. Nggak ada yang mau nyakitin kamu. Nggak ada suara keras lagi.” Ia berbisik lembut. “Dengerin suara aku aja... suara aku aman.” Perlahan, napas Taran mulai stabil, meski masih belum pulih sepenuhnya. Ia bersandar ke dadaa Faten, tubuhnya lemas. Ketika Taran mulai tenang, Faten menoleh ke keluarganya. “Rina... Ibu... pulang. Sekarang.” Rina menggigit bibir, suaranya pecah. “Kak... Kakak beneran milih dia... daripada keluarga Kakak sendiri?” Faten tidak menjawab dengan marah. Ia melihat istrinya yang masih terisak. Kemudian ia berkata pelan. “Aku hanya memprioritaskan prioritasku.” Bu Siti menahan lengan Rina. “Sudah, Rin... kita pulang dulu. Ini bukan saatnya.” Rina menatap Faten dengan mata berkaca-kaca, masih tidak terima. “Tapi Kak—” Faten menggeleng, lembut namun tegas. “Nanti aku jelasin. Sekarang, pulang dulu.” Dengan berat hati dan wajah marah, Rina pun pergi. Bu Siti menyusul, menatap Faten sebentar dengan kekhawatiran seorang ibu. Ketika pintu depan akhirnya menutup... Hanya ada keheningan. Dan Taran, yang menangis pelan di pelukan Faten. Faten mengecup pelipis istrinya. “Ssst... sudah. Kamu aman. Aku nggak akan biarin siapa pun teriak lagi.” Taran hanya bisa menahan isak dan meremas baju suaminya. Setelah rumah kembali tenang dan keluarga Faten pergi, ia membawa Taran ke kamar. Ia menyelimuti istrinya, lalu duduk di sisi ranjang sambil mengelus kepala Taran pelan. Taran sudah jauh lebih tenang sekarang. Matanya masih merah karena menangis, tapi ekspresinya lembut... dan sedikit bingung. Tiba-tiba, Taran menarik lengan baju Faten pelan-pelan. “Faten.” “Hm?” Faten menunduk, lembut. Taran menatapnya dengan wajah polos. “Boleh gue tanya sesuatu?” “Tanya apa, sayang.” Taran memiringkan kepala, alisnya berkerut. “Artinya apa... itu... ‘Siang tampak jinak, malam mengisap darah’...?” Faten langsung membeku. Otaknya memutar ulang frasa itu. Ia tahu persis maksudnya. Bahkan tahu siapa yang mengatakannya. “Ehh... itu gue dengar dari Ibu tadi,” lanjut Taran bingung. “Katanya itu... pepatah? Atau ngomongin hewan?” Faten mengerjapkan mata. Dalam hati, ia menjerit. *Astagaaaa... Ibu...* Ia menarik napas panjang. “Ehem... jadi kamu pengen tahu artinya?” “Ya. Soalnya semua orang ketawa, tapi gue nggak ngerti. Apa itu semacam... makhluk nokturnal?” Faten mengusap tengkuk, pura-pura berpikir keras. “Taran... aku jujur aja, ya...” Ia menunduk, memasang ekspresi sangat serius. “Aku... juga nggak tau.” Taran mengerutkan kening. “Benarkah? Bukannya dokter pinter, ya?” “Taran...” suara Faten rendah dan lembut. “Aku tahu kamu sering merasa aku pintar. Tapi percaya deh...” Ia menghela napas kecil dan tersenyum tipis. “Kalau aku sepintar itu, hal pertama yang ingin aku sembuhkan... adalah kamu.” Taran menatapnya, bingung tapi tersentuh. “Maksud lo...?” “Aku terbatas, Tar.” Faten menggeleng pelan, suaranya nyaris serak. “Dan sepertinya Tuhan lagi nguji aku... lewat batasku. Lewat kamu.” Ia mengangkat jemari, menyentuh pipi Taran. Jantung Taran berdegup seperti genderang perang. Taran bergumam pelan. “Ya ampun... ini pertama kalinya gue diperlakuin kayak gini. Kok... serem.” Pipinya memerah cepat. Ia menoleh menjauh, namun sebelum sempat menghindar, Faten menopang pipinya, memaksa matanya kembali menatap. “Taran. Lihat aku,” bisiknya. Taran menahan napas. Dalam hitungan detik, Faten menunduk pelan... dan bibirnya menyentuh bibir Taran. Ciuman lembut dan hangat membuat dunia Taran berhenti. Taran membeku seperti patung. Bahkan tidak berani berkedip. Faten menjauh perlahan. Ia menempelkan dahi pada dahi Taran. “Bernapaslah, istriku,” bisiknya. “Kamu bisa pingsan kalau menahan napas terlalu lama.” Napas Faten hangat dan beraroma mint. Taran menatap bulu mata lentik dan bibir lembut suaminya untuk pertama kalinya. Lalu baru ia sadar—ia memang belum bernapas. Ia terisak pelan, mengambil napas dengan cepat. Wajahnya memerah sampai telinga. “GUE... GUE—” Karena saking malunya, ia menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Faten tersenyum kecil. “Taran... kenapa sembunyi?” Dari bawah selimut muncul suara teredam, tinggi dan panik. “LO... LO... OM-OM c***l!” Faten terpaku. “Apa?” “LO UDAH TUA NGGAK BOLEH CIUM ANAK KELAS 1 SMP! KELUAR! CEPAT KELUAR!” Suara Taran makin kacau. Ia meraih bantal, guling, bahkan kotak tisu, lalu melemparkannya ke arah suaminya sambil mendorongnya menjauh. “Keluar! Gue nggak siap mental!” Pintu kamar tertutup keras. Faten berdiri di luar kamar, menutup wajah dengan tangan. “Ya Tuhan... istriku pikir aku om-om cabul...” Namun bibirnya tersenyum kecil. ​
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD