5

1912 Words
Lorong kantor Satpol PP sore itu terasa lebih tenang setelah badai drama berlalu. Udara masih mengandung sisa aroma gorengan yang sempat berhamburan tadi. Faten berjalan pelan keluar ruangan, wajahnya masih sedikit memerah karena malu. Di sampingnya, Pak Edi petugas Satpol PP bertubuh tambun dengan senyum kebapakan menepuk-nepuk bahu sang dokter. “Faten, Faten…” katanya sambil menghela napas panjang, separuh kasihan, “Jujur aja, tadi saya pikir beneran kamu penjual organ. Tapi ternyata… salah paham.” Faten hanya bisa tersenyum getir. “Iya, Pak.” melihat ke belakang mencari sosok Taran. Pak Edi tertawa pelan, lalu merangkul bahu Faten. “Nak, saya kasih tau ya… laki-laki itu nggak cuma harus sabar, tapi juga kuat.” Ia menekankan kata terakhir dengan nada menekan. “Kuat pikiran, kuat iman… dan kalau bisa, kuat yang lain juga.” melihat celana Faten. Faten melirik bingung. “Yang lain, Pak?” mengikuti arah pandangan Pak Edi yang mengarah ke celananya. "Hah maksud Bapak?," Dengan gaya rahasia besar dunia lelaki, Pak Edi merogoh saku celananya, mengambil secarik kertas kecil lusuh, lalu menuliskan sesuatu dengan bolpoin murahan. Setelah selesai, ia melipatnya rapi dan menyelipkannya ke saku dadaa kaus Faten. “Nih… alamat toko obat langganan saya. Ramuan herbal, halal, aman, bikin perkasa tanpa drama.” Ia berbisik, menepuk saku Faten dua kali. “Bilang aja, ‘rekomendasi Pak Edi’.” Faten tertegun. Bibirnya berkedut dipaksa tersenyum. “Terima kasih, Pak Edi… tapi saya...” “Sstt… nggak usah jelasin,” potong Pak Edi sambil tersenyum lebar. “Saya ngerti, Nak. Kadang lelaki sejati nggak perlu membuktikan dengan kata-kata. Tapi… dengan .” tiba-tiba Pak Edi mengangkat alis beberapa kali seperti memberi kode morse. Di belakang mereka, Dr. Rina, Siska, dan Bayu saling pandang menahan tawa. Siska bahkan memonyongkan mulut dengan mata terpejam menahan diri agar tak tertawa, bahunya berguncang. Bayu berusaha keras menahan ekspresi serius hidungnya kembang kempis sambil melotot ke arah Dr. Rina. “Herbal, katanya!” bisik Siska sambil memukul lengan Rina pelan. Rina menunduk, berusaha tenang, tapi matanya berair karena menahan tawa. “Kasihan Faten, dikira kurang kuat!” menghirup napas panjang sambil menggeleng pelan. Sementara itu, dari dalam ruangan, Taran muncul dengan langkah santai. Di tangannya, dua gorengan masih hangat. “Faten!”serunya ceria, “Gue dapet bonus dua bakwan dari dalem! Katanya biar kita nggak ribut lagi.” senyum tanpa dosa yang membuat Faten juga ikut tersenyum. Semua langsung membeku. menatap Taran lekat-lekat. Pak Edi tersenyum bangga, mengira pasangan itu sudah akur. “Nah, tuh kan!” katanya sambil menepuk bahu Faten lagi. “Cinta sejati itu dimulai dari gorengan, bukan dari tuduhan jual organ.” tersenyum pada Taran. Taran menggigit bakwannya sambil menatap Faten polos. “Eh, iya Pak, ngomong-ngomong, tadi Pak Edi bisikin apa sih? Kok lo senyum-senyum gitu?” mengunyah gorengan dan menyodorkan satu pada Faten. Faten memalingkan wajah, cepat-cepat merogoh saku bajunya dan menyembunyikan kertas kecil itu. “Ah… cuma alamat toko obat…” gumamnya dengan tatapan sinis ke Taran. Siska langsung menunduk, berpura-pura batuk. “Ehem!” Rina dan Bayu hampir tersedak tawa. Taran mengernyit polos. “Oh, toko obat ya? Beli vitamin? Buat stamina ?” Faten menghela napas, menatap langit sore dengan pandangan lelah tapi pasrah. “Iya, Tar. Stamina …” Sementara Pak Edi menatap mereka berdua dengan senyum bangga dan menepuk-nepuk perutnya puas. “Begitu dong,Faten. Jaga kesehatan, jaga istri, dan jangan lupa… kalau kurang kuat, ingat aja ‘resep Pak Edi’!” Siska, Rina, dan Bayu akhirnya tak tahan lagi. Mereka meledak tertawa bersamaan, sampai gorengan di tangan Taran hampir jatuh ke tanah. ``` Mobil Grab melaju pelan di antara lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Sore berganti senja, langit berwarna oranye pudar, dan kota tampak sibuk seperti biasa. Di kursi belakang, Faten duduk bersandar lelah. Di pangkuannya, Taran tertidur pulas, kepala terletak nyaman di pahanya. Rina, Siska, dan Bayu duduk di kursi depan dan tengah. Mereka berusaha keras menahan tawa sejak meninggalkan kantor Satpol PP. Beberapa kali bahu mereka bergetar, dan sesekali terdengar suara “ehem” palsu untuk menutupi cekikikan kecil. Rina berbisik ke Siska, “Kalau aku jadi Faten, udah kupindahin ke RS jiwa tadi.” Siska menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa sampai air mata keluar. Bayu ikut menimpali lirih, “Tapi serius, ekspresi Faten waktu dikasih alamat toko obat itu priceless banget.” Rina langsung menyikutnya pelan. “Ssst! Ntar kedengeran.” Tangan Faten perlahan mengelus rambut Taran. Helaian rambut lembut itu jatuh menyusupi jari-jarinya, dan untuk sesaat, dunia di sekitarnya terasa hening. Ia menatap wajah Taran lekat-lekat, perempuan yang fisiknya Taran, tapi dengan jiwa yang berbeda. Faten memijat pelipisnya perlahan, matanya berat oleh kelelahan. “Kenapa rasanya Taran ini bukan cuma lupa, tapi juga... ,” gumamnya pelan. Taran mengigau pelan dalam tidurnya, menggenggam ujung jas Faten. “Jangan jual ginjal gue, ya...” kepalanya bergeser sedikit. Rina spontan menutup mulut menahan tawa, Siska menatap ke luar jendela sambil menepuk-nepuk paha, berusaha mati-matian menahan diri agar tidak meledak lagi. Bayu, dengan suara tertahan, bergumam, “Astaga, masih kepikiran ginjal.” Faten hanya menghela napas. Ia menyelipkan jari di antara rambut Taran dan mengusap lembut dahinya. “Tenang, Sayang. Aku nggak akan jual ginjalmu,” bisiknya pelan. Faten menatap keluar jendela, matanya sayu. Di hatinya, tumbuh rasa khawatir yang tak bisa dijelaskan. Ada sesuatu yang belum ia pahami tentang luka di dalam diri Taran, tentang trauma yang mungkin jauh lebih besar dan dalam, ia tak pernah tau itu. ``` Malam sudah turun sepenuhnya ketika mobil Grab berhenti di depan rumah sakit. Lampu-lampu putih di koridor utama memantulkan cahaya ke tubuh Faten yang tampak letih, tapi masih berusaha tersenyum. “Rin, Sis, Bay, makasih ya udah bantu hari ini,” katanya pelan sambil menatap ketiga rekannya yang masih di dekat pintu masuk. Rina menepuk bahunya lembut.“Udah, Fat. Pulang dulu, istirahatin diri lo sama Taran.” Siska menambahkan dengan nada hangat, “Dan jangan lupa… simpen baik-baik tuh kertas dari Pak Edi, siapa tahu berguna.” Bayu nyengir, “Kalau butuh backup buat ngurus Taran, tinggal panggil, ya. Tapi jangan ngajak jambak-jambakan lagi.” Faten cuma tersenyum kecil, wajahnya lelah tapi bersyukur. “Iya, makasih, kalian.” Setelah mereka berpamitan, Faten membuka pintu mobil dengan hati-hati, lalu menyelipkan tangannya ke bawah tubuh Taran yang masih tertidur pulas. Perlahan, ia menggendong istrinya keluar. Tubuh Taran terasa sangat ringan, terlalu ringan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Faten benar-benar merasakan jarak yang ia buat selama ini. Dulu, Taran selalu memakai hoodie besar, kaus longgar, atau daster lusuh di rumah. Ia selalu tertawa kalau Faten menggoda, “Kenapa sih pakai baju kebesaran terus?” dan Taran hanya menjawab santai, “Biar nyaman.” Tapi malam ini,dalam pelukannya, Faten baru sadar mungkin bukan sekadar “nyaman.” Saat mobil melaju kembali, Faten menatap pergelangan tangan Taran yang terkulai di pangkuannya. Kulitnya pucat, tipis. Urat-urat biru halus tampak jelas di bawah cahaya kabin. "Astaga… begitu kurus. Sejak kapan Taran sekurus ini? Sejauh apa jarak yang sudah terbentang di antara kami selama ini?," Lima tahun pernikahan tapi mengapa seolah baru sekarang ia benar-benar melihat istrinya. Dadanya terasa ngilu. Tangannya bergetar saat membetulkan posisi kepala Taran yang bersandar di jok. Faten menunduk, napasnya bergetar. “Taran…maaf,” gumamnya . “Kalau aku terlalu sibuk… kalau aku nggak sempat memberikan perhatian lebih.” jemari Faten gemetar. Ia mengusapnya lembut. Air mata menetes perlahan. “Aku takut kehilangan kamu lagi, Tar… aku takut banget…” bahunya bergetar kecil. Tangis itu bukan letupan emosi biasa, tapi kelelahan seorang suami yang baru menyadari betapa besar cintanya, dan betapa sedikit waktu yang ia habiskan bersama Taran. Dengan suara parau, ia berbisik, “Aku janji, Tar… kali ini aku nggak akan diam aja. Aku bakal temuin lagi kamu yang dulu." Rumah itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan hembusan lembut kipas angin di kamar. Faten dengan hati-hati membaringkan Taran di ranjang mereka. Ia menarik selimut, menutupi tubuh Taran hingga dadaa, lalu duduk di tepi ranjang. Cahaya lampu kamar yang redup menyoroti matanya yang lelah. Setelah beberapa saat terdiam, Faten mengambil ponselnya dan men-scroll daftar kontak, jarinya berhenti pada satu nama: Dr. Adrian Prakoso. Adrian teman seangkatannya di fakultas kedokteran dulu, kini bekerja sebagai psikiater di rumah sakit besar Jakarta. Faten menarik napas panjang, lalu menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara berat tapi hangat menjawab. “Faten?Wah, udah lama banget! Gila, jam segini masih melek aja?” Faten tersenyum tipis. “Iya, maaf ganggu, Yan. Aku cuma… butuh ngobrol sebentar.” “Wah, nada lo serius banget. Ada pasien kritis?” “Bukan pasien, Yan…” Faten berhenti sejenak, menatap Taran yang tertidur. “Ini soal istriku.” Suara Adrian terdengar berubah lembut. “Oke, aku dengerin. Ada apa?” Faten mencoba menata pikirannya. “Taran istriku mengalami amnesia. Tapi bukan cuma lupa, Yan… dia kayak orang lain. Polanya berubah, sifatnya berubah. Kadang ngomong hal-hal yang nggak nyambung. Ingatannya cuma sampai saat dia SMP," “Hm…” Adrian terdiam sejenak di seberang sana, terdengar seperti sedang berpikir. “Lo pernah denger istilah dissociative amnesia atau trauma-induced memory suppression, Fat?” “Sedikit,” jawab Faten pelan. “Tapi aku nggak pernah lihat sendiri kasus sejelas ini.” Adrian menjelaskan dengan nada tenang, profesional. “Kalau otak manusia merasa sesuatu terlalu menyakitkan untuk diingat, dia bisa ‘mematikan’ sebagian memori itu sendiri. Bukan karena luka fisik di otak, tapi karena luka emosional. Mekanisme pertahanan diri ekstrem. Otak memilih lupa, demi bertahan.” Faten menunduk, jemarinya menggenggam selimut Taran erat-erat. “Jadi… Taran sengaja ‘menghapus’ sebagian ingatannya sendiri?” “Secara sadar, enggak. Tapi bawah sadarnya bisa. Itu cara tubuh melindungi diri dari sesuatu yang terlalu menyakitkan. Biasanya… trauma berat. Kehilangan, k*******n, atau rasa bersalah yang parah.” Ruangan tiba-tiba terasa sesak. Faten memejamkan mata, suara Adrian seolah semakin jauh. “Yan…kalau gitu, apa dia bisa pulih?” “Hm…” Adrian menarik napas panjang dari seberang telepon. “Bisa. Tapi prosesnya pelan, dan harus hati-hati. Kalau trauma aslinya belum selesai, memaksanya ingat malah bisa bikin dia hancur lagi.” Faten terdiam. Matanya menatap wajah Taran yang diterpa cahaya lampu. “Berarti aku harus nunggu dia siap,ya?” “Iya,” jawab Adrian lembut. “Jangan paksa, jangan terlalu sering mengoreksi ucapannya. Biarkan dia merasa aman dulu. Otak nggak akan membuka pintu yang pernah menimbulkan rasa sakit, kecuali yakin tempat itu sudah nggak berbahaya.” Faten tersenyum getir. “Jadi tugas aku sekarang bikin dia ngerasa aman.” “Bener banget,” sahut Adrian. “Dan Fat… lo juga harus jaga diri. Trauma kayak gitu bisa menular secara emosional. Jangan sampe kamu ikut tenggelam.” “Ya, aku ngerti…” Faten mengusap wajahnya pelan. “Makasih, Yan. Serius, kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah nyerah.” “Ah, jangan begitu. Lo dokter juga, Fat. Lo tau gimana kerasnya hidup, tapi lo juga tau gimana caranya nyembuhin orang. Kadang, yang lo butuhin cuma sabar dan pelukan.” Faten tertawa kecil . “Pelukan ya? Mungkin itu resep yang belum pernah aku kasih ke pasien.” “Coba kasih sekarang,” jawab Adrian ringan. “Siapa tahu, kali ini penyembuhannya bukan di obat… tapi di hati.” suara diiringi candaan ringan. Telepon berakhir dengan keheningan hangat. Faten meletakkan ponsel di meja, lalu menatap istrinya sekali lagi. Ia membungkuk perlahan, menyentuh pipi Taran dengan jemari gemetar, dan berbisik lembut, “Kalau kamu memang sedang melindungi dirimu, Tar… aku janji bakal jagain sisanya. Sampai kamu siap ingat lagi.” sebuah kecupan hangat di kening Taran, Faten berharap istrinya mimpi indah malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD