Melted

1096 Words
"Enak aja,!" sahut wanita itu pura-pura tidak terima. "Udah ah. Jangan marah-marah terus, Bu. Cepet tua nanti!" Layvi membuat Yesha kesal. Yesha semakin melotot bisa-bisanya dirinya dicap tua oleh lelaki yang baru ia kenal. Spontan tangannya memukul d**a Layvi. "Sembarangan, lagi saya tuh belum tua. Umur saya ajah masih 26 tahun," balasnya tidak terima. "Haha. Yah tapi kalau marah-marah terus yang ada cepet tua, Bu!" "Jangan panggil saya Ibu!" Tekan wanita itu. Entah kenapa ia merasa terganggu dengan panggilan yang ke luar dari mulut Layvi. Padahal di kantor pun Yesha terbiasa disapa Ibu. Lelaki itu semakin menatap Yesha yang kesal dengan wajah tanpa dosanya, dan itu membuat jantung Yesha bergejolak ingin lari dari tempatnya. "Ibu mau es krim gak?!" "Haah. Apa es krim?" tanya Yesha ragu,, Bahkan, kapan terakhir ia makan es krim pun Yesha tidak ingat. "Hm." Layvi berdehem seraya mengangguk "Kenapa es krim?" Yesha jadi penasaran. Ia sampai mendekatkan wajahnya ke depan Layvi. Ia ingin mendengar dengan seksama alasan lelaki itu. "Soalnya adik saya, Emma kalau lagi ngambek, terus dikasih es krim bakalan happy lagi." Cerita Layvi. Yesha hanya menyinggulkan senyum miring. Matanya menatap tampilan Layvi kini. Lelaki tinggi tegap yang pastinya sudah beberapa kali menjalin kisah cinta. Bahkan mungkin ia master-nya. Dilihat bagaimana tampan wajah yang ia punya. Tapi sayang pemikiran lelaki itu sangat diluar ekspetasi. "Adik kamu umurnya berapa tahun?!" tanya Yesha berniat mengejek. "6 tahun." Jujur Layvi "Hei. Saya bilang saya ini 26 tahun. dua-puluh enam." Yesha sedikit menekan perkataan terakhirnya. "Masa saya disamain sama anak ingusan umur 6 tahun!" Tambahnya tidak terima sambil menautkan kedua tangannya di d**a. "Terus kenapa? Bukannya semua wanita sama. Mereka semua sangat ingin dicintai dan dihargai sebagai diri mereka seutuhnya." Pandangan Layvi berubah menjadi lebih lembut seakan tengah menghayalkan wanita pujaan hatinya. Yesha tertegun, ia merasa perasaannya tiba-tiba hambar, baru tadi ia merasa ada sebuah "ke-klik-an" antara ia dan Layvi. Tapi sesaat saja angannya harus dihempaskan jauh. "Beruntungnya wanita yang kamu cintai" gumamnya tanpa sadar. "Apa, Bu?!" Sekarang Layvi yang mendekat ke arah Yesha. Membuat mereka hampir tanpa jarak, dan refleks Yesha sedikit memundurkan wajahnya. "Saya bilang saya mau es krimnya!" Putusnya cepat, gak mungkin,'kan dirinya bilang, tubuhnya bergetar karena sedekat ini dengan Layvi. Sambil menunggu Layvi beli es krim, Yesha memutuskan ke luar dari mobil. Menikmati semilir angin karena kebetulan mereka berhenti di dekat taman. Layvi datang dengan kantung plastik yang berisi es krim yang sangat banyak. "Kamu mau makan ini semua?!" tanya Yesha curiga. "Enggak. Tapi karena saya gak tahu Ibu suka rasa apa jadi saya beli semua," jawab Layvi yang lagi-lagi terdengar begitu sederhana tapi mampu membuat Yesha tersenyum malu. Yesha berpaling wajah. Demi menghindari tatapan Layvi yang sudah merasuki relung hatinya. Ia duduk di bangku taman yang memang tersedia di sana. Mulai membuka es krimnya dan menjilati dengan perasaan begitu ringan dan bahagia. Yesha masih tidak mengerti. Kenapa hatinya begitu merasakan kedamaian padahal sesaat tadi ia tengah diselimuti amarah, dan biasanya amarahnya tak akan mudah untuk surut. "Kamu tahu kapan terakhir aku makan es krim?" tanya Yesha tiba-tiba ke Layvi yang sudah duduk di sebelahnya. "Gak tahu." Lelaki itu menjawab cepat seraya mengangkat bahunya "Tebak dulu kek, jangan nyerah gitu aja!" "Haha. Soalnya itu bukan sesuatu yang harus aku pikirkan serius." Jawabnya semakin membuat Yesha kesal. "Terakhir kali aku makan es krim sama ayahku, sebelum ibu dan ayahku bercerai." Jujur Yesha. Ada kesedihan saat ia mengatakannya. Yesha kecil memang sangat menghindari es krim karena itu akan mengingatkan dirinya dengan ayahnya yang pergi setelah berpisah dengan ibunya. Layvi menatap Yesha yang kini tertunduk lesu. "Itu lebih baik, kalau aku malah gak ada kenangan sama sekali sama ayahku." Yesha jadi mendongak heran. "Ayahku memiliki dua istri, dan ibuku istri pertamanya. Katanya mereka menikah karena dijodohkan dan ibuku membuka hatinya untuk menerima istri kedua ayah. Ayah menikah lagi saat usiaku 4 tahun, beliau lebih memilih tinggal dengan istri keduanya dan sekarang aku tinggal dengan ketiga adik tiriku." Cerita Layvi tanpa beban, mungkin ia sudah begitu sering dipaksa ikhlas dengan keadaan sehingga sekarang ia terbiasa dengan hal itu. Ada rasa kagum yang datang begitu saja menggelayuti perasaan Yesha. Ia tahu hal itu pasti sangat berat diterima oleh semua orang, tapi Layvi bahkan mau tinggal bersama dengan sodara tirinya. Ia tersenyum jika saja posisinya Layvi ditempati dirinya, mungkin Yesha akan merasa marah luar biasa, kadang seperti itulah kehidupan. Setiap manusia mendapatkan cobaannya masing-masing, yang membedakan hanya reaksi dalam menerima ujian hidup. "Kamu tahu. Aku belajar banyak darimu, padahal kita baru ketemu hehee." Puji Yesha tulus. "Ibu belajar apa dari saya?" Seingat Layvi, hidupnya sama sekali tidak menarik. “Belajar bahwa terkadang kita harus menyikapi suatu hal dengan lapang d**a," sahut Yesha bijak. Layvi tersenyum mendengar penuturan Yesha. "Aku hanya belajar untuk menganggap semuanya mudah. Bukannya aku tidak memiliki perasaan marah atau kecewa. Tapi ibuku bilang hidup itu dinamis, kesedihan yang datang di subuh hari belum tentu masih meninggalkan perih saat sore hari, begitu pun gelak tawa yang singgah di siang hari belum tentu membekas sampai malam tiba. Sebab kehidupan itu penuh tanda tanya," jawab Layvi bijak "Ibumu pasti wanita yang kuat. Ia sampai ikhlas berbagi suaminya, padahal kalau aku ada diposisi ibumu. Mungkin aku akan membakar suami dan istri keduanya," sahut Yesha berapi-api. Layvi justru tertawa dengan sikap wanita itu, bahkan tanpa sadar tangannya mengacak rambut Yesha. Gerakan refleksnya mendatangkan semberaut warna merah muda di pipi Yesha. "Ehh. Maaf Bu, gak sengaja ibu marah,ya." Tangan Layvi berusaha mengembalikan tatatan rambut Yesha sentuhannya yang di rambut gadis itu begitu lembut. Sedang Yesha merasa debaran di jantungnya sudah sampai batas. Bahkan tatapan matanya tak ingin lepas dari wajah lelaki di depannya. "Ibu gak jadi marah,'kan sama pak Barry?" Sesaat ucapan Layvi kembali menarik Yesha untuk sadar dari lamunannya. "Gak. Aaya tetep bakal bikin perhitungan sama cowok b******k itu," ucap Yesha yang sudah berdiri, tapi tangannya ditahan oleh tangan Layvi. "Jangan Bu. Buat apa? toh, saya sudah gak apa-apakan," balasnya seraya tersenyum tulus. "Tapi kamu jadi kehilangan pekerjaanmu. " Yesha kembali terduduk. Menatap Layvi yang kini tertunduk. "Aku bisa cari kerjaan lagi kok. Makasih,ya kamu udah mengkhawatirkan aku." Tulusnya menatap Yesha. Hhaah apa-apaan ini baru sekitar setengah jam bersama lelaki itu, tapi sikapnya sudah mampu membuat seorang Yesha si ratu es mencair berkali-kali. Dan perkataan terakhirnya seakan menyadarkan Yesha jika sejak tadi ia mengkhawatirkan nasib lelaki itu. Ini bukan seperti dirinya yang biasa. Yesha yang biasa, bahkan tak ingin dan tak akan peduli dengan siapa pun. Karena baginya kehidupan yang ia jalani sudah sangat menyita waktunya sehingga membuat ia sangat menderita. Tanpa Yesha tahu bahwa masih ada orang lain yang kehidupannya juga sulit hanya saja mereka tak pandai mengeluh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD