Drama pagi
"Sialan! Punya mata gak, sih?!" Seorang gadis muda berambut hitam sepunggung tanpa poni itu membentak keras sembari memukul meja makan, membuat piring-piring serta beberapa gelas di atasnya ikut bergetar.
"Punya lah, emang lo gak lihat?!" balas seorang laki-laki yang wajahnya sedikit mirip dengan gadis itu.
"Turunin, gak! Itu punya gue!"
"Ogah banget! Lagian ini gak ada nama pemiliknya. Jadi lo gak usah ngaku-ngaku!"
Gadis tersebut kembali menggebrak meja dengan napas yang naik turun. Matanya yang bulat menyalang penuh kemarahan.
"Udah-udah! Kalian ini hobinya kok ribuuut terus! Ada apa lagi?" celatuk Sonya, perempuan paruh baya yang menyembul dari bilik kamar. Ia momosisikan diri untuk duduk di antara kedua anaknya yang tengah berseteru.
"Tuh! Monyet jelek! Dia makan lagi tempe buatanku, Ma! Gak bilang permisi dulu langsung comot seenaknya!" cerocos sang anak perempuan yang terlihat sangat emosi.
"Astaga, Lisa! Cuma karena tempe aja diributin?" Sonya melotot. Tangannya mengelus dadanya untuk memberikan kesabaran.
"CUMA TEMPE?! Ma, Lisa udah mati-matian buat goreng itu tempe! Dan Mama cuma bilang cuma TEMPE?!" protes anak gadisnya semakin menggebu.
"Lebay! Goreng ginian aja bilangnya mati-matian! Emang lo mau lahiran?"
Sepasang mata Lisa langsung melotot tajam menghunus laki-laki di seberang mejanya.
"Lebay lo kata?! Lo gak akan tahu seberapa perihnya cipratan minyak yang loncat ke kulit gue!"
"Bodo amat. Gak peduli!" jawab lawan bicaranya dengan sangat datar tapi penuh penekanan. Lantas mengigit tempe di tangannya yang membuat kepala Lisa semakin memanas.
Rahang Lisa seketika mengeras. Gigi-gigi gerahamnya saling bergesekan. Sebelah tangannya terangkat, dan siap untuk melayangkan sendok besi yang ia genggam.
"Stoooppp--"
Pletak
Sepasang mata bulat Lisa melebar sempurna. Bibirnya yang tipis menganga lebar. Lisa bahkan tidak berkedip dalam bebebrapa saat. Napasnya tertahan. Jantungnya berdetak kencang. Sungguh sial, sendok yang ia tujukan mengenai kepala lawan, justru jatuh tepat pada pelipis mamanya. Mampus! Dengan cepat, Lisa menutup mulutnya menggukan kedua tangannya laki-laki di seberang sana melemparnya dengan sisa potongan tempe.
"Lisaaaaa??!!!" teriak Sonya dengan nada ekstra tinggi.
Sontak, Lisa memejamkan kedua matanya sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat. Begitupun dengan laki-laki di seberang Lisa melakukan hal yang sama.
"Mama itu heran dengan kelakuan kalian berdua! Setiap hari ribuuutt terus! Kalian ini saudaraan! Adek kakak! Kok malah enggak ada rukun-rukunnya!" omel Sonya pada kedua anaknya itu.Telinganya selalu kepanasan mendengar keributan kedua anaknya yang semakin menjadi-jadi setiap harinya.
"Kamu, Rezha! Sebagai kakak harusnya melindungi Lisa!" tutur Sonya sembari menatap tajam anak pertamanya.
"Tuh denger--" sahut Lisa dengan cepat. Namun kata-katanya terpotong saat Sonya mengalihkan pembicaraan dengan menatap tajam ke arah dirinya.
"Dan kamu, Lisa! Sebagai adik juga harus menghormati kakaknya! Kalian itu manusia! Bukan kucing sama tikus!" sambung Sonya dengan napas yang naik turun tidak beraturan.
"Gue kucing, dia tikusnya!" jawab Lisa sinis sembari melirik tajam kakaknya.
"Lo, mah, cocoknya Dugong!" jawab Rezha tak kalah tajam.
"Lo--" Lisa menggeram kesal dengan kedua mata yang kian melotot.
"Stopppp! Mama belom selesai ngomong sudah ribut lagi? Pusing kepala Mama!" keluh Sonya sembari memijat ujung pelipisnya yang berdenyut.
"Kalau pusing minum obat, Ma," sahut Lisa secara datar.
"Jawab aja terus, jawab!" bentak Sonya yang mulai frustrasi.
Lisa memajukan bibirnya beberapa senti. Kini anak itu memilih untuk mengunyah sisa tempe gorengnya yang terakhir dengan wajah masam.
"Pokoknya, Mama mau, mulai besok dan seterusnya kalian gak boleh ribut-ribut lagi! Paham!" Kata Sonya penuh penekanan. Bola matanya menatap nyalang Lisa dan Rezha yang justru terlihat ogah-ogahan.
"Tuh dengerin!" kata Lisa sinis sembari melirik Kakaknya.
"Lo juga!" sahut Rezha tak kalah sinis.
"Lo!"
"Lo--!"
"Astaga! Belum lima menit Mama diam, udah pada ribut lagi?!" Sonya mlemaskan kedua bahunya. Memutus perdebatan itu. Sepasang matanya mulai memanas. Wanita itu menyandarkan tubuhnya dengan kasar. Mulutnya berkali-kali menghela napas yang terdengar berat. "Kalian ini sebenarnya anak siapa, sih?!" tanya Sonya dengan suara lesu.
"ANAK MAMA LAH!!!" jawab kedua anaknya berteriak serempak. Mereka kompak menajamkan matanya dan melotot.
Sonya memijit pelipisnya yang kian terasa pening. Keributan kecil seperti ini tidak hanya sekali dua kali. melainkan setiap menit di sepanjang hari! Dan sungguh, melihat kelakuan dua anaknya yang selalu berselisih tenggang membuat darahnya terus mendidih bak gunung merapi yang tengah bererupsi.
"Udahlah, gak mood makan!" Lisa menyilangkan sendok dan garpu di atas piring yang hanya ternodai bekas minyak gorengan tempe, lantas berdiri dari duduknya.
"Rezha juga gak nafsu makan."
"Dih, dasar suka ngikut!"
"Siapa juga yang mau ngikutin lo!"
"Monyet!"
"Dugong!"
"Lisaaa! Rezhaaaa!!!"
Sebelum Sonya memberi ceramah yang panjangnya sampai langit ke tujuh, Lisa dan Rezha langsung berlarian ke kamar mereka masing-masing. Meninggalkan Sonya yang terdiam nanar memandangi nasibnya.
“Ngidam apa saya dulu, Tuhan, hingga punya anak yang cantik dan tampannyaa persis orang korea, tapi kelakuannya kayak anak cacingan!”