BAB 01

902 Words
Pagi yang indah di kota Surabaya, meskipun harus melihat kemacetan yang sudah terbilang biasa di kota Surabaya. Anindiya, dengan semangat 45 pergi bekerja menuju Weding Orgenizer ternama di kota Surabaya. Meskipun ia bekerja sebagai makeup artist, Anindiya jarang sekali memoles wajahnya sendiri dengan keahlian yang ia miliki. Ia lebih suka tampil apa adanya tanpa polesan tebal di wajah cantiknya. Derrrt...derrrt...derrrt... Anindiya mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam saku celananya. Saat melihat siapa yang menelphonenya pagi-pagi, Anindiya tersenyum sambil mengangkat panggilannya. “Assalamualaikum, nek,” ucap Anindiya dengan sopan. “Waalaikumsalam. Sudah mau berangkat?” tanya nenek Hamida pada Anindiya. “Sudah, nek. Ini Anin sedang dijalan mau ketempat kerja Anin,” ucap Anindiya. “Sampai kapan kamu tidak bisa berdamai dengan masa lalumu, Nin. Nenek sudah tua. Nenek ingin menikmati masa tua nenek. Nenek tidak bisa terus-terusan memegang perusahaan ayahmu,” ucap nenek Hamida dengan lembut. Anindiya yang mendengar perkataan sang nenek Cuma bisa menghela nafas kasar. Sejenak Anindiya memikirkan perkataan sang nenek tentang perusahan peninggalan sang ayah yang mau tidak mau harus segera ia ambil alih dari tangan sang nenek. Melihat sang nenek semakin tua untuk mengemban tugas berat menghendel perusahaan. “Nantilah, nek. Anin akan memikirkan lagi perkataan nenek masalah perusahaan. Untuk saat ini, Anindiya masih ingin menjalani kehidupan Anindiya seperti ini dulu,” ucap Anindiya. “Jangan terlalu lama memikirkannya. Nenek tidak ingin menunggu lama keputusanmu. Kamu sudah dewasa, Nin. Kamu pasti tahu yang terbaik untuk kehidupanmu dan masa depanmu,” ucap nenek Hamida dengan penuh penekanan pada Anindiya. “Iya, nek. Sudah dulu. Anin sudah telat ke tempat kerja Anin,” ucap Anindiya. “Hati-hati dijalan. Sempatkan untuk pulang kerumah. Nenek sangat merindukanmu,” ucap nenek Hamida mengingatkan Anindiya. “Nanti kalau libur, nek. Anin pasti pulang ke rumah. Nenek jaga diri baik-baik. Obatnya jangan sampai lupa di minum,” ucap Anindiya. “Assalamualaikum, nek.” “Waalaikumsalam,” panggilan pun berakhir. Anindiya melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat kerjanya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Anindiya memutuskan untuk keluar dari rumah. ia lebih memilih untuk kos. Anindiya menikmati kehidupannya saat ini. Bisa mandiri dengan caranya sendiri. Sampai-sampai ia dulu kuliah dengan biayanya sendiri. Tanpa meminta uang pada sang nenek. ***** “Sampai kapan, Nin. Kamu tidak bisa berdamai dengan masa lalumu. Nenek sudah menjelaskan padamu. Kalau kamu sudah salah paham selama ini pada ayahmu. Ayahmu sangat mencintai mamamu. Tapi mamamu dengan tega menghianati ayahmu karena pria yang baru ia kenal. Cuma karena kurangnya waktu untuk bersama mamamu, ayahmu sering kali disalahkan oleh mamamu. Nenek berharap, semoga ada orang yang bisa memberitahumu tentang kebenaran ini, Nin. Supaya kamu tidak salah paham lagi dengan ayahmu,” batin nenek Hamida. Memikirkan Anindiya, sering kali membuat nenek Hamida jatuh sakit. Terlebih lagi Anindiya tidak mau menempati rumah peninggalan ayahnya. Anindiya lebih memilih meninggalkan rumah dan tinggal di kos-kosan. Hidup dengan caranya sendiri tanpa meminta uang sepeserpun untuk memenuhi kebutuhannya selama ini. Anindiya yang manis, semenjak meninggalnya kedua orang tuanya, ia berubah menjadi sosok gadis yang mandiri dan sulit untuk tersentuh oleh siapapun. Sampai-sampai nama belakang keluarganya tidak ia pakai. Ia lebih memilih menjadi gadis biasa tanpa ada orang yang mengenalinya sebagai pewaris tunggal Aditama. **** “Nin, kita dapat tugas dari mbak Retno untuk merias di event Surabaya carnival. Karena mereka menyewa jasa WO kita dalam acaranya,” ucap Stevani pada Anindiya yang masih membereskan meja kerjanya. “Jam berapa acaranya, Van?” tanya Anindiya pada Stevani. “Satu jam lagi kita akan berangkat menuju lokasi. Persiapkan saja semuanya terlebih dahulu. Supaya nanti saat berangkat kita gak harus pusing-pusing mikirin alat makeup yang ketinggalan,” ucap Stevani. “Siap! Tidak akan terulang lagi kejadian bulan lalu. Hehehe...,” ucap Anindiya sambil tertawa. Stevani cuma geleng-geleng kepala dengan kelakuan temannya yang satu ini. Wajah boleh cantik. Otak pun juga encer. Tapi kalau masalah ceroboh, perlu diwaspadai. “Nin, akhir pekan kamu ada acara gak?” tanya Stevani pada Anindiya. “Emang mau ada acara apa, Van?” tanya Anindiya. “Mau hangout saja sama temen-temen. Mbak Retno juga rencananya mau traktir kita-kita makan,” tutur Stevani. “Lihat nanti, Van. Karena aku ada janji dengan nenekku. Tahu sendiri kalau nenekku sedang marah, bisa-bisa aku tidak boleh lagi bekerja di sini,” ucap Anindiya. Stevani menganggukkan kepala saat mendengar alasan Anindiya. Ia juga tahu sendiri kalau nenek Anindiya sedang marah. Karena pernah datang nenek Anindiya kesini sambil marah-marah. Karena Anindiya lupa dengan janjinya untuk pulang kerumah. “Kayak kurang lengkap formasi tanpa kamu, Nin,” ucap Stevani. “Jangan lebay,” ucap Anindiya asal. Stevani yang mendengarnya tidak bisa menahan tawanya. “Aku lagi galau, Nin,” ucap Stevani dengan lirih. “Kenapa lagi dengan Sammy? Apa dia selingkuh lagi?” tanya Anindiya. Anindiya sudah hafal dengan curhatan teman kerjanya yang satu ini. Sering kali Anindiya ikut kesal dengan jalan pikir temannya yang satu ini. Sudah tahu di selingkuhin malah gak mau mutusin. Cuma karena masih cinta. Alasan yang tidak masuk akal kata Anindiya. “Iya, Nin. Sammy selingkuh lagi. Parahnya lagi, ia selingkuh dengan sepupuku sendiri. Seperti tidak ada perempuan lain. Sampai-sampai harus selingkuh dengan sepupuku,” geram Stevani saat cerita kepada Anindiya. “Terus sekarang maumu apa?” tanya Anindiya. “Entahlah, Nin. Aku juga bingung,” ucap Stevani, “Kalau saran aku, Van. Lebih baik putusin saja si Sammy. Masih banyak laki-laki di luaran sana yang baik dan setia. Tidak seperti Sammy yang tukang selingkuh. Jangan sampai karena seorang laki-laki, kamu sama sepupumu hubungannya jadi kurang baik,” ucap Anindiya. “Iya juga, Nin. Aku sempat memikirkannya juga,” ucap Stevani. “Semua keputusan ada di kamu. Tinggal kamunya seperti apa mensikapinya.” Anindiya menepuk pundak Stevani dan berjalan pergi meninggalkan Stevani dengan pikiran-pikirannya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD