Tidak lama aku tiba di butik yang disebutkan tante Renata. Aku bertemu Rei di pintu masuk.
'What? Apa ini? Bahkan dia sudah kesini tapi tidak mengabariku? Apa rencana mereka? Apa Rei sekongkol dengan lampir tua itu? Tapi, apa Rei setega itu padaku? Bukankah dia sangat mencintaiku? Atau dia hanya pura-pura?' batinku.
Sungguh banyak pertanyaan yang berkecamuk di otakku. Yah mungkin otakku sudah sedikit bergeser dari tempatnya semenjak aku bertemu lampir tua itu. Atau mungkin aku sekarang sudah menjadi sedeng atau gesrek. Ini semua gara-gara lampir tua itu.
"Sayang, kamu baru sampai?" Rei membuyarkan pikiran kotorku.
"Eh iya. Kamu juga disini? Aku pikir kamu lagi di langit ke tujuh" kataku pelan.
"Kau bilang apa?" tanya Rei
"Ah tidak, maksud aku kau juga disini? Bukannya kau sedang bekerja? Kenapa tiba-tiba ada disini?"
"Loh, kan kita yang mau menikah. Aku juga ikut fitting baju dong. Emang kamu bisa fitting baju aku? Ya kalo bisa, aku bisa balik ke kantor lagi"
"Dasar tidak peka, tidak tau kesalahannya dimana. Masa aku harus bilang ini mata ini hidung" gerutuku kesal
"Kau bilang apa? Aku mendengarnya. Aku tidak peka gimana maksudmu yank?" protes Rei.
"Kenapa? Lagian kamu kesini fitting baju. Kenapa gak kabari aku. Gak jemput aku. Aku kan lagi hamil. Kamu gak ada perhatiannya."
"Loh sayang, aku tadi di hubungi mama. Katanya sekarang fitting baju. Tadinya aku mau nelfon kamu biar aku jemput. Tapi kata mama kamu udah otw kesini di jemput sama supirnya mama. Makanya aku langsung kesini" jelasnya. Belum sempat aku menjawab
"Kalian berdua ngapain disini? Dari tadi kami nungguin di dalam. Memangnya kami ini asisten kalian. Malah ngobrol disini, ayo cepat masuk. Kamu juga Dia, lamanya minta ampun. Kamu dandan berapa lama sih, centil kamu harus dandan-dandan dulu. Tapi wajarlah, kamu kan murahan harus dandan terus biar bisa deketin orang kaya seperti anak saya" itu tante Renata.
'Dasar lampir tua. Rasanya ingin ku sobek mulutnya. Katanya aku udah di jemput sama supirnya. Supir angkot iya. Aku aja kesini naik angkot. Berarti mobil pribadinya angkot. Dasar lampir, sengaja membuatku lama dan kepanasan supaya bisa memakiku. Dan kata MURAHAN itu disebutkan lagi untukku. Tapi aku harus sabar. Sabar Dia, ingat kau akan menikah, jangan sampai wajahmu keriput karna si lampir tua ini. Tunggu saja pembalasanku lampir' bantinku.
"Itu tante, tadi ang..." belum selesai aku bicara,
"Udah ayo cepat masuk, gak usah banyak alasan kamu. Sudah baik saya mau ngatur semuanya dan menunggu kalian" sela tante Renata. Kukepalkan tanganku. Rasanya aku ingin meninju asal suara itu.
Kami masuk dan mencoba baju pengantin kami. Dan what? Apa ini? Menurutku ini sangat jelek. Apa yang di rencanakan lampir ini sebenarnya.
Rei sangat tampan memakai stelan jas nya. Tapi tidak denganku.
"Tante, apa tidak ada baju lain?" protesku
"Heh, w************n. Syukur kamu dikasih baju seperti itu. Dasar tidak tau terimakasih. Bagaimana? Pas kan? Itu ukuran Rosa, karena postur tubuh kalian sama. Jangan protes dan jangan membantah. Atau saya akan batalkan semuanya." jelas tante Renata. Sudah pasti aku tidak terima. Tapi Rei memintaku untuk bersabar, yang penting kami menikah dulu. Baiklah, aku mengangguk mengiyakan. Meski rasanya ingin ku beri timex ke lampir tua ini.
'Baiklah baiklah lampir tua, kali ini kamu menang. Belum saatnya aku membalasmu. Oh Tuhan, belum juga jadi menantu, dosaku sudah terlalu banyak. Sebelumnya ampuni ku Tuhan, tapi ku tak tahan melihat tingkah lampir tua ini. Maksudku calon mertuaku lebih tepatnya. Ampuni aku juga karena telah mengganti namanya. Tapi itu memang cocok untuknya." bantinku sambil mengucapkan doa permohonanku yang mungkin tidak akan di kabulkan oleh Tuhan.
"Oke! Semua sudah selesai. Bersikap baiklah perempuan murahan. Selagi aku masih baik" tante Renata menatapku sinis.
"Yasudah, ayo kita pulang. Rei, kamu antarkan perempuan murahan ini pulang. Mama tidak mau pulang bersama dia" lanjutnya menatap Rei
'Lampir tua, bisakah aku mencekikmu? Rasanya ingin kucekik dan kukeluarkan lidah yang bercoletah itu' batinku. Yah aku hanya bisa membatin.
"Iya mah. Yauda mama sama Rosa hati-hati ya". Lalu mertuaku pergi meninggalkan kami. aku melongo mendengar jawaban Rei. Hanya itu saja? Ini calon suamiku apa jelmaan sih?
Rei mengantarku pulang. Di perjalanan aku hanya diam. Memikirkan ucapak mertuaku yg tak di gubris Rei.
"Kamu kenapa sih sayang, kok diam aja?"
"Kamu tau gak tadi mama kamu manggil aku apa. MURAHAN." Aku menekankan kata murahan itu. "Tapi kamu tidak protes atau apa. Apa di mata kamu aku juga murahan? Dengar ya Rei, aku begini karna kamu. Tapi sedikitpun kamu gak mau belain aku di depan mama kamu" kuseka air mataku yang mulai mengalir. Yah, sekarang aku lebih ceplas ceplos kalau bicara.
"Sayang, bukan begitu. Kamu tau kan mama gimana. Kalau aku lawan, sama aja ngajak perang. Mending di diemin aja. Kamu harus ngerti dong sayang"
"Oh aku harus ngerti, tapi kamu gak ngerti gimana aku yang selalu di pojokin sama mama kamu. Yang selalu dikatain murahan. Kamu pikir gak sakit?" aku mulai naik darah.
"Sabar ya sayang, yang penting kita nikah dulu. Lagian juga gak baik melawan orangtua. Biar bagaimanapun itu mama aku. Maafin mama aku ya sayang"
"Terserah" jawabku kesal.
Aku memalingkan wajahku. Rasanya lelaki yang akan jadi suamiku ini juga ingin kutinju. Bagaimana bisa dia begitu santai calon istrinya di katain oleh mamanya. Dasar anak mama.
Tak lama kemudia kami tiba di kontrakanku. Aku langsung turun dari mobil. Kubanting pintu mobilnya sekuat mungkin. Aku tak perduli. Rei memanggilku
"Sayang, aku langsung berangkat ya, kerjaan masih banyak di kantor" aku tidak menghiraukannya.
Persetan dengan apa yang dia katakan. Kubuka pintu kontrakanku. Kubanting pintu sekuat mungkin. Kudengar suara mobil Rei yang semakin menjauh. Aku berlari ke kamar dan mulailah dramaku. Aku terisak menangisi nasibku. Rasanya aku terlalu bodoh untuk berniat baik membantunya. Karena kelelahan menangis akupun tertidur pulas.
Tak terasa hari-hari berlalu. Hari ini adalah hari pernikahanku. Aku telah selesai di sulap menjadi putri cantik. Yah aku sangant cantik. Bukan puji diri, tapi memang aku sangat cantik, hehee. Tapi kecantikanku berkurang setelah aku mengenakan gaun pengantinku. Karena memang itu sangat jelek. Rasanya aku tak ingin memakainya. Tapi apa boleh buat, harus kujalani. Tiba-tiba Rei menghampiriku. Suamiku, dia sangat tampan. Aku semakin terpesona
"Sayang, kamu sangat cantik" bisiknya. Aku tidak terlalu bahagia karena gaunku ini. Aku hanya tersenyum paksa.
"Sudah waktunya, ayo keluar. Ngapain lama-lama disini. Cepat keluar, semua sudah menunggu" itu mertuaku dengan nada mengaturnya.
'Lampirrr lampirrr' batinku. Kamipun mengikutinya, dan apa yang terjadi? pernikahanku sangat sederhana.
'Ada apa ini? Segitu pelitnyakah lampir ini? Bukankah ini kami yang biayai? Oh oh oh, jadi ini rencananya, dasar lampir' aku mengupat.
Ijab kabul selesai. Aku dan Rei resmi menjadi suami istri. Aku sangat bahagia, tak terasa air mataku mengalir. Tapi tunggu, ada yang mengganggu kebahagiaanku
"Lihat gaunnya, jelek sekali yaa"
"iya ya, padahalkan suaminya menager di perusahaan besar. Tidak mungkin tidak punya uang"
"Mungkin dia gadis kampung, seleranya pasti rendahan"
Hatiku teriris mendengar cemoohan orang-orang itu. Kulihat ibuku yang mendengarnya menyeka air mata. Hatiku semakin hancur. Kupeluk ibuku seerat mungkin, sungguh sakit apa yang kutimpakan pada ibuku. Aku hanya bisa menangis untuk saat ini.
"Sabar ya nak, anak ibu kuat" ibuku menepuk pundakku.
"Ka, harus kuat ya. Itukan yang selalu kakak ajarkan. Kami disini selalu ada untukmu" itu adikku tersayang. Kupeluk adikku erat.
Semua tamu mulai menikmati hidangan yang begitu sederhana. Aku memilih duduk di tempatku. Aku tak mau jika nanti bertemu lampir itu, sudah pasti akan mengajakku duel. Lebih baik aku cari aman dulu, setidaknya sampai keluargaku pulang. Aku gak mau membuat mereka kepikiran. Teman-temanku datang menghampiri.
"Diaku sayang, oh kamu cantiknyaa, selamat ya cinta, tapi kamu sedikit norak dengan gaunmu ini, setauku seleramu tidak seperti ini" kata sarah jujur.
"Iya, dan pernikahanmu ini, sangat sederhana. Tak cocok untuk seorang manager di perusahaan besar" timpal Asih.
"Diam kalian, atau kujarum mulut kalian. Apa kalian menghinaku? Ini semua rencana lampir tua dan rubah licik itu" aku mengarahkan pandanganku ke mertua dan adik iparku. Yah, lampir itu sudah sah jadi merruaku.
"Wah, sungguh malang nasibmu. Tapi benarkan kataku, dia pasti akan ngajak perang. Tenang saja Dia sayang, kami akan menemanimu perang melawan mertuamu itu, menemanimu tempur dengan Rei di ranjangpun boleh" ceplos Asih yang langsung mendapatkan toyoran dari Wulan. Dia hanya bisa mengaduh setelah Wulan melototinya. "Aku bercanda. Tapi tunggu, tadi kau bilang apa? Lampir tua dan rubah licik? Ternyata kau lebih parah dariku. Kau langsung memberi mereka nama, dan itu memang cocok untuk mereka" lanjut Asih.
Aku hanya tersenyum mendengar Asih, yah setidaknya mereka bisa menghiburku.
Acarapun selesai, semua tamu undangan dan teman-temanku telah pulang. Orangtuaku pamit pulang.
"Kami pulang dulu ya nak, kamu baik-baik disini. Jangan pernah melawan sama mertuamu. Mereka adalah ibu dan ayahmu disini" pesan ibu. Aku mengangguk.
"Ibu, kenapa tidak bermalam disini saja, sudah malam bu. Pulangnya besok pagi saja"
Eh, biarkan saja mereka pulang. Lagian kamar disini tidak cukup. Emangnya kamu mau suruh tidur di kamar pembantu? Tapi cocok sih, itupun kalau si mbok mau tidur sama mereka" protes mertuaku. Orangtuaku terkejut mendengarnya. Ibu dang ayakku menatapku.
'Dasar lampir, urusanmu denganku. Jangan bawa-bawa orang tuaku lampir tua bangka." batinku.
"Ah, mama mertuaku hanya bercanda, iya kan sayang?" Tanyaku pada Rei. Tak mungkin aku bertanya pada lampir itu, bisa-bisa akan terjadi perang di rumah ini.
"Iya bu, jangan diambil hati ya bu. Mamaku memang begitu". Ibu menatapku intens, sepertinya ibu bisa merasakan apa yang kurasakan. Aku hanya menunduk. Ibu memegak pundakku seraya ingin mengatakan sesuatu.
"Yasudah, kami berangkat dulu ya, nanti ketinggalan bus" sela ayahku.
'Ayah yang pengertian' batinku.
Aku mencium punggung tangan orangtuaku dan memeluk mereka. Rei pun melakukan hal yang sama. Air mataku terjatuh melihat mobil yang mengantarkan orangtuaku ke terminal semakin menjauh. Rasanya ingin ikut mengantar mereka ke terminal. Tapi ayah melarangku karena sedang hamil. Aku harus menjaga kandunganku karena seharian sudah lelah. Aku menaiki anak tangga menuju kamarku dan suamiku. Kulirik lamir tua dan rubah licik itu sedang menatapku tajam. Kubalas tatapan mereka tidak kalah tajamnya. Kubanting pintu kamar sekuat mungkin. Aku tidak perduli dengan mereka.