Wanita dengan umur tak muda lagi itu meletakkan sendok plastik selesai memakan setengah dari bubur langanan suaminya, bibirnya tersenyum tipis.
***
Deru suara Montor Honda CB-100, berhenti tepat di depan rumah bernuansa putih, Yuda muda, turun memarkirkan si kuda besi dalam teras rumah, selesai Merapi kan diri, ia melesat ke rumah sang gebetan mumpung tidak ada jadwal kuliah, salam sapa hangat ia ucapkan menyapa kedua orang tua si perempuan, tak lama menunggu Yuda berpamitan membawa pergi Andini, gadis cantik dengan baju terusan merah.
" Mau kemana mas?" Tanya perempuan itu memecah keheningan di atas kendaraan Milik Yuda, sesekali melirik dari kaca spion pria sedang jatuh cinta itu tersenyum tipis, " gak tahu, And" sontak kemudian Yuda mengaduh kesakitan pinggangnya mendapat cubitan gratis.
" Kemana aja mau kan," lanjutnya tak mau memulai perdebatan.
" Hemm" satu kata beribu makna, kata 'hemm' itu makanannya yang bagaimana? 'iya', 'terserah' atau 'ogah'. Sama sekali tak jauh beda dengan kata 'terserah'
Tak ambil pusing Yuda memacu kendaraan ke tempat bang Toha, jam segini semoga masih mangkal, masa bodo kalau kelas Yuda tak semahal cowok yang selalu mengajak Andini kencan, toh kalau dia jodoh dari gadis tengah di bonceng nya, juga tak akan kemana. Optimis Yuda.
" Ini dimana, Yud?"
" Sudah ngikut aja, Abang nya itu sohib ku kok" Andini hanya diam sembari mengekor pria di depannya, sembari mendudukkan b****g ke salah satu kursi di sana, kepala nya menoleh ke-sana kemari mengindikasi tempat mereka sekarang.
" Mumpung sepi nih, aku pesankan dulu ya, minum nya apa?"
" Es jeruk aja satu"
" Iyalah satu kalo banyak bisa di buat mandi" candanya mendapat tampang datar dari wanita itu, tidak lucu.
Beberapa waktu kemudian Yuda kembali dengan nampan berisikan dua bubur ayam dengan dua es jeruk pesanan mereka
" Ini buat putri jurusan bahasa" meletakan semangkuk bubur ke meja sembari bergaya ala butter ternama, gelak tawa anak tunggal itu terdengar merdu akibat kebanyolan Yuda.
" Ngomong-ngomong kenapa kamu yang nganter bukan abangnya, terus tadi kamu yang bikin sendiri, kerja sampingan mu ya" tanya panjang lebar wanita itu, " Abang nya lagi repot tuh bungkus buat pelanggan lainnya, toh. Cuman kita yang makan di sini, aku juga kenal sama Abang Toha langanan ku di sini" Andini mengangguk mengerti.
Sederhana, kata yang tepat untuk pemuda di depannya, berbeda dengan para anak-anak dari fakultas lain yang mengejarnya datang dengan mobil baru gaya anak metropolitan, Yuda datang mampir ke rumah dengan sekedar Sapan sopan tanpa arogansi, sungguh hal baru.
Kalau pria lain, mereka pasti mengajak kencan atau keluar ke tempat mewah, makanan sederhana pinggir jalan ini terasa sangat enak, padahal awalnya ia pesimis dengan rasa bubur yang itu-itu saja, hambar.
" Giman, And? Enak ngak?" Tanya Yuda di sela makannya, terlihat itu suapan terakhir miliki pemuda mania, sudah kosong melompong mangkok milik nya.
" Eumh, ini bubur pertama yang aku makan dan gak hambar" jujurnya terlihat ia sudah menghabiskan lebih dari setengah isi nya.
"Sukur deh, aku pesimis kalau kamu suka sama tempat bergaya Eropa ala film pretty woman" apaan sih, Andini anak sukarela muntah jika ia bisa.
" Emangnya aku Julia Roberts, aku hanya Andini, gak lebih. Sekedar gadis biasa anak ibu, ayah ku dan mahasiswi universitas Indonesia" ujar nya terdengar puitis serta klise, tapi itu mengukuhkan kan bahwa dia hanya wanita biasa dan sederhana.
Hari itu mereka habiskan berbincang bincang setelah pergi dari tempat bang Toha, mereka menghabiskan waktu untuk mengelilingi ibu kota Jakarta. Dari obrolan aneh bahkan hal berbobot seperti sains menjadi topic obrolan yang tak henti, menyenangkan.
***
Wanita paruh baya itu tersenyum menghabiskan bubur nya Hinga tandas, Tiffanny memandang ibunya, terlihat jelas kini ibunya tengah bernostalgia tentang masa kasmaran nya dulu, yang ia tahu ibu dan ayahnya sering mengunjungi tempat dagang pak Toha, bahkan pria kini berkumis itu sudah seperti saudara mereka, saling berkabar dan mengunjungi jika satu lainnya terkena musibah.
.
Hari sudah mulai terik, Tiffanny sudah bersiap dengan barang keperluan di tentengannya, berpapasan dengan sang ibu tercinta ia sempatkan untuk berpamitan pergi ke latian Dojo, seperti biasanya dia datang paling awal Hinga terlihat kosong hanya di isi para pelatih separing. Tubuh jenjang gadis itu terlihat luwes saat pemanasan, suara pukulan samsak juga terasa kerasnya.
" Hi, Girl" sapa Jhon, pria kelahiran Canada dan kini menetap di Jaksel menyapa teman bertanding nya yang tengah fokus.
" Oh, hi. John, apa kabar" balasnya, Tiffanny menghampiri pria tinggi itu sembari tersenyum ramah.
" Lama tak jumpa, padahal baru tiga hari kita tak bertemu"
" Apa itu style mengoda para pria Toronto" godanya
" Hey, aku tak mengoda. Hanya sekedar kangen dengan teman berkelahi ku saja"
" Kau tau, pria seperti mu di sebut apa di sini"
" Memang nya apa?" Tanya nya polos.
" p****************g"sontak Jhon memegang batang hidung Bangir nya, hidung ku normal, batinnya menelisik permukaan kulit.
" Itu istilah Jhon, untuk orang pembual"lanjutnya sambil tertawa nyaring menjauh dari Jhon, " awas kau fann, aku pria ber-menner baik" elak nya tak terima.
" Mau bertarung, sekarang?" Tangan wanita itu sudah di balut dengan sarung tinju
Ia melempar sarung tinju lainnya kepada Jhon, bersukur reflek pria putih itu bagus hingga dapat menangkap dengan mudah secara mendadak.
Suara pukulan tak dapat terhindar, satu sama lainnya menyerang secara konstan, pelindung kepala serta body protector telah mereka gunakan untuk meminimalisir pukulan di terima.
.
Keduanya tumbang, terlentang di lantai bermatras hitam, peluh membanjiri tubuh mereka
" Sudah mau mati belum" intrupsi seseorang, Efendi, pelatih gempal itu mendekati dua manusia tengah geloleran, Jhon sudah tak punya tenaga sekedar membalas begitu juga Tiffanny, perkelahian seru mereka hanya berkutat menyerang dan bertahan tak ada yang benar-benar kalah hanya tumbang kelelahan.
" Jangan tidur kalau kau tak mau bangun menjadi patung" ingat Efendy, kelelahan sehabis menguras stamina memang menggiurkan jika di buat tidur tapi berimbas sakit di mana-mana.
" Pak, tak berniat memberi kami air ion" tawar Jhon dengan mata tertutup.
" Enak saja, kalian yang menguras tenaga, aku yang keluar uang" tolaknya sambil terkekeh, Jhon mendengus kesal walaupun ia punya uang untuk membeli produk minuman untuk satu ruangan penuh, dirinya harus hemat.
" Pelit sekali kau pelatih" Tiffanny mendudukkan tubuhnya dari acara rebahan, stamina miliknya sudah mulai terkumpul, "Jhon, lapar tidak? Keluar yuk, aku traktir" sontak pria berbadan besar bangkit dari lantai, mengangguk bersemangat.
" Loh, saya ngak di ajak" protes pria tua itu.
" Kan yang capek saya Sama Jhon, bukan pelatih" John mengekor di belakang juga mengiyakan menyetujui perkataan gadis petarung itu.
Kaos hitam basah tadi sudah berganti dengan yang baru begitu juga Jhon, mereka menunggu pesanan mereka di kursi milik McDonald, Jhon serta Tiffanny berbincang bincang seru, dari hal ringan Hinga keluarga, " Gimana, kabar keluarga mu Jhon? Pasti kangen ya udah lama merantau ke Indonesia"
Pria berdarah Canada-inggris itu hanya terdiam, matanya mengawang pikirannya berkecamuk di tempat lain, bagaimana keadaan keluarga ataupun mantan istri, "entah lah" sembari mengangkat kedua bahu "jujur aku kangen pulang ke kampung halaman, tapi aku lebih memilih di sini untuk sementara waktu"
" Kau tak kangen dengan Janson?" John menatap wajah gadis itu, kalau orang lain bertanya mungkin akan di jawab sini oleh pria besar itu, tapi ini Tiffanny teman seperjuangan ketika ia susah senang bahkan ia tau masalah yang Jhon alami.
Belum sempat bersuara perkataan Jhon terpotong oleh pelayan, menyajikan menu pilihan mereka sembari berucap terimakasih meningalkan kedua pengunjung tersebut kembali ke topic mereka yang sempat tertunda.
" It's ridiculous that I don't love my son, kau tahu aku merindukan dia, I wanted to see how big that boy was, my son. Aku bisa gila,"
"Sorry, jhon. I made you remember your past, tapi kenapa kau tak mengunjungi mereka malah menetap di sini sampai sekarang"
"I love my job here, and I have to work for them. Sarah doesn't want to understand that at all, tapi setidaknya sekarang Sarah mengijinkan aku telfon dengan Janson" kesedihan pria kaukasian terlihat berkurang, jarang sekali pria seperti Jhon mencurahkan isi hatinya sebagai teman Tiffanny ikut lega jika pria itu lebih baik dari sebelumnya.
Dua buah burger serta ayam goreng serta dengan minuman, sudah tandas habi. Mereka memutuskan berpisah kembali ke aktivitas masing-masing, Jhon berpamitan pergi mengurus tugasnya sebagai koki di hotel berbintang, nanti malam adalah Shift kerjanya. sedangkan Tiffanny merasa perlu membicarakan banyak hal dengan pak Efendy, ia memutuskan kembali ke tempat Dojo sebelum pria itu benar-benar pergi selesai jadwal mengajar.
.
"Loh balik lagi? Gak langsung pulang aja" heran, mendapati murid kebangsaannya kembali lagi ke tempat Dojo.
" Banyak yang mau saya tanyakan" kedua orang itu duduk di kursi pojok berbagai jenis bincang bincang mereka diskusikan mulai dari Tiffanny berambisi menjadi atlit mewakili Indonesia di Asean games, suara pesan masuk dari ponsel milik Tiffanny menghentikan sejenak percakapan mereka. Dibaca lamat-lamat isi pesan dari si pengirim dengan senyum,
"Siapa Fann?"
" si Jhon, pak"
Jhon.
Fanny, kamu pasti ngak nyangka tadi , aku dapat kabar dari mantan istri ku
Mereka mau mampir ke Indonesia
begitulah isi pesan yang masuk ke dalam ruang chat mereka
.
Jhon pria berbadan atletis tersebut tengah memasuki apertemen miliknya, memberikan sapaan kepada ruangan kosong, berniat istirahat melepaskan penat karena pekerjaan nya menunggu nya beberapa jam dari sekarang.
Tubuh besarnya ia lempar pelan pada empuknya sofa mendongak dengan memejamkan matanya, hampir persekaian detik ia akan tertidur jika sebuah nada dering telepon tak menganggu waktu nya, secepat kilat ia angkat pangilan dari luar negri sana
" (Hai, bagai mana kabar mu?)"
" ( Sarah? Ini kamu, ya aku baik. Bagai mana dengan hari mu ini)" ia memang tak melihat nama si penelpon Hinga cukup kaget Sarah menelpon, di seberang dunia sana masih jam malam, Jhon tahu itu.
"( kau tahu, aku rasa aku sudah keterlaluan pada kalian berdua, Janson merindukan ayah nya, dia menanyakan diri mu terus)"
" (Bagaimana Janson ?") Tanyanya ada jeda sebentar "(dan bagaimana kabar mu di sana?)" Lanjut kalimat nya.
"(Janson tertidur, kau tau kan perbedaan jam di sini dan sana)" Jhon mengulum senyum, mengangguk walaupun Sarah tak tau, "(seperti yang kau tahu, aku baik, kami baik-baik di sini, kau masih dengan pekerjaan mu kan?)"
"( Yah, seperti kau tahu, aku menyukai pekerjaan ku sebagai kepala koki)" ada sedikit cubitan di hati Jhon, ia menyesali tak dapat memiliki keduanya, rakus bukan? Itulah manusia.
"(Maaf aku pernah menyingung mu tentang kecintaan mu, dan aku mau mengabari aku ingin menitipkan Janson pada mu, dia ingin liburan kali ini di habiskan dengan mu)"
Apa?
" (Benarkah? Maksud mu, Janson akan kemari, akan ke Indonesia?)" Terdengar tak percaya namun ia sangat antusias
"(Itu kalau kau punya waktu luang)"
"( Aku akan mengambil cuti, seberapa lama pun, aku akan menghabiskan waktu untuk anak itu)"
Selesai mereka bercakap-cakap telpon dimatikan sepihak setelah Tak ada yang di bahas lagi, Jhon terlihat bahagia anaknya akan berkunjung ke tempat nya, siapa ayah yang tak bahagia anaknya akan berkunjung, segera ia mengirim sebuah pesan untuk sobat nya selama di Indonesia, setidaknya ia adalah orang yang enak di ajak tukar pikiran.
***
Susana latihan cukup riuh, di isi bermacam-macam orang yang tengah berlatih mengasah kemampuan fisik serta skill di arena, termasuk Tiffanny gadis bertubuh semampai kini terlihat tengah menghabiskan waktunya melatih tendangan bawah dan atas, guna melumpuhkan lawan mengincar keseimbangan kaki serta bagian tubuh dari pinggang hingga d**a tempat sasaran di perbolehkan selama pertandingan, Efendy menyipitkan kedua matanya kerutan tuanya ikut terlihat, mengamati pergerakan konstan dari murid didiknya
" Cukup! Istirahat" ingat pelatih
Tiffanny sedikit terengah-engah namun tak lama nafasnya dapat setabil kembali
" Jhon kemana? Kok tumben gak muncul" tanyanya pada pemegang Bendali kejuaraan wanita tersebut.
" Ngak tahu, kecapekan kali Shift malem"
" Tumben aja, anak itu ngak muncul padahal capek malam pun tetap muncul batang hidung nya" memang sudah hampir seminggu terakhir mereka bertemu Jhon tak lagi muncul ke tempat latihan, teman sparring Tiffanny jadi tak ada, digantikan oleh pemula lainnya padahal Jhon adalah yang terlama di sana serta mampu mengimbangi kemampuan peraih juara umum tersebut.
" Apa kabar kalian" sapa Jhon pada para teman-teman lainnya yang berada di sana Mereka pun menyapa balik sosok pria asing yang tak asing bagi mereka di sana, ada beberapa yang merangkul pria berbadan besar itu melepas kangen dengan dirinya, Jhon menghampiri pelatih serta teman perempuan nya dengan sikap masa bodoh nya.
" Siapa itu Jhon?" Pelatih melirik seorang anak lelaki di balik tubuh Jhon, ia terlihat malu-malu.
" It's your son?" Tanyanya kembali, " yes, kenalkan Janson" Jhon berbalik merunduk menyamakan tinggi anak delapan tahun itu, " hello, Im Janson" sapanya sesopan mungkin, bocah itu baru menginjakkan kaki ke Asia tenggara, bocah itu sama sekali buta bahasa.
" Hey janson, do you want to play with me? I can teach you how to kick" ajak Tiffanny, tentu mendapatkan pelototan dari sang pelatih, kira-kira saja kalau mengajak anak kecil bermain, apalagi anak orang asing.
"You're my dad's friend?" Ragu anak itu, melirik ayahnya melihat apakah wanita itu aman dalam artian dia orang baik, Jhon tersenyum pada anak lelakinya
"Yeah, I'm a friend of your dad's. My name is tiffanny" sambil menyodorkan tangannya tentu di balas anak Jhon dengan ramah, "Let's play, I borrow your son first yes jhon"
"Okay, don't break it"
"Dad, I'm not property" protes anak itu lucu, ia tak terima di anggap barang tapi ia tahu ayahnya sedang bercanda, banyak orang-orang tertawa mendengar pembicaraan anak kecil itu tak terima