-----------------
Usia Zidan telah menginjak angka ketiga. Anak itu tumbuh dengan kasih sayang yang berlimpah dari ayahnya, tetapi tidak dengan ibunya. Hanya sesekali ia diperhatikan oleh ibunya. Selebihnya, nothing.
Zidan sebenarnya anak yang cerdas dan cerewet. Namun, akan sedikit pendiam jika berdekatan dengan Kirei--ibunya.
Kecerewetan anak berusia tiga tahun ini mampu membuat Kirei kesal.
Tidak jarang Kirei membentak Zidan dan menyuruh bocah itu diam saat dia sedang berceloteh.
"Diam! Jangan berisik! Kepala Mama pusing tahuuu kalau mendengar kamu seperti itu!" bentak Kirei saat Zidan mulai berceloteh.
Sontak Zidan terdiam dan hanya melihat ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Malang sekali anak itu. Ingin menangis pun ia tak kuasa karena tahu betul jika dirinya menangis, maka ibunya akan menambah air matanya dengan pukulan yang akan mendarat di bagian tubuhnya.
Seperti halnya hari ini. Bocah itu dibentak dan dimarahi habis-habisan karena memecahkan gelas.
Zidan hanya bisa menitikan air mata tanpa bersuara di pojok ruangan.
Dia tak punya tempat berlindung karena ayahnya--Jordan--sedang ada tugas keluar kota.
*********
"Zidan, makan ya? Mama suapin," ucap Kirei sembari membawa semangkuk nasi yang telah dibubuhi kecap.
"Gak mau, Ma. Zidan belum laper," jawab Zidan.
"Gak laper, gak laper ... kamu itu belum makan dari tadi pagi. Kerjaanmu minum susuuu terus. Kamu pikir beli s**u itu pakai daun apa?" gerutu Kirei.
Memang, Zidan termasuk anak yang sulit makan. Hanya saja minum s**u formulanya sangat kuat.
Zidan bisa menghabiskan sepuluh kilo s**u formula dalam satu bulan. Tentu saja hal itu lumayan membebani pengeluaran rumah tangga sedangkan penghasilan Jordan tidak seberapa.
Ya, walaupun Jordan seorang manajer pemasaran di perusahaan eksport rotan, tetapi gajinya tidak terlalu tinggi karena perusahaan ini sempat mengalami pailit dan saat ini sedang mulai bangkit lagi.
Masih beruntung Jordan mendapatkan sebuah mobil dinas untuk keperluan transportasinya.
******
Kirei dan Zidan melangkahkan kaki keluar rumah. Mereka menuju kerumunan tetangga yang sedang menyuapi anaknya di luar.
Maklum, emak-emak akan melakukan apa pun agar anak mereka mau makan, meskipun harus menyuapi di luar rumah.
Pun dengan Kirei. Ia berusaha keras agar anaknya mau makan nasi dengan lauk ayam goreng.
"Eh, Zidan. Makan sama apa, nih?" tanya Dewi--ibu dari Nayla--yang merupakan teman seumuran Zidan.
"Ini sama ayam goreng, Mbak," jawab Kirei sembari memperlihatkan isi mangkuk di tangannya.
"Wah, enak banget tuh, Mbak. Pasti makannya lahap. Ini Nayla dari kemarin susah banget makan. Dipaksa-paksa juga susah," jelas Dewi.
"Boro-boro lahap, Mbak. Yang ada cuma bikin emosi aja. Makanan yang masuk biasanya cuma bubur bayi aja. Tapi, masa iya harus makan bubur bayi terus? Dia juga, kan, harus belajar makan nasi dan lauknya," ucap Kirei panjang lebar.
"Sepertinya anak seusia ini lagi susah-susahnya makan, deh, Mbak," sahut Dewi.
"Gak tahu jugalah, Mbak," jawab Kirei.
"Zidaaan, ini makan dulu!" seru Kirei sembari menyodorkan nasi di tangannya agar dimakan oleh Zidan. Namun, mulut Zidan tertutup rapat. Ia menggelengkan kepala tak mau makan.
"Hey, ayo makan dulu!"
Zidan berlari berputar-putar dengan dikejar oleh Kirei. Zidan benar-benar tak ingin makan. Akan tetapi, Kirei bersikukuh kalau Zidan harus mengisi perut dengan nasi.
Kirei mengejar Zidan dan menarik tangan anak itu. Berusaha menyuapi anak itu. Mulut Zidan tetap tertutup rapat.
"Heh, kamu jangan manja deh! Makan yang bener! Kamu kira kerjaan Mama cuma nyuapin kamu doang apa?" Emosi Kirei mulai meluap.
"Zidan gak mau makan, Ma. Zidan gak laper."
Kirei tambah emosi. Ia geram dan menaburkan nasi di mangkuk ke kepala Zidan.
"Nih, rasakan! Kamu kira Mama gak capek apa ngurusin kamu!?"
Kirei berjalan menuju rumah meninggalkan Zidan yang kepalanya penuh dengan nasi.
Zidan tersadar jika ibunya berjalan menuju rumah meninggalkannya sehingga ia pun sontak berlari mengejar ibunya. Namun, sesampai di depan pintu, Kirei langsung masuk ke rumah dan mengunci pintu tanpa membiarkan Zidan masuk.
Zidan meraung di depan pintu. Menggedor pintu, meminta agar dibukakan pintu dan dibiarkan masuk.
"Mama, buka pintunya, Ma! Mama, ampun, Ma!"
Kirei tak menggubris teriakan Zidan. Dia kesal karena anak itu tak mau makan.
Semua tetangga yang melihat kejadian itu hanya bisa mengelus d**a dengan kekejaman Kirei. Mau menolong pun mereka tak berani.
Sementara itu, Jordan yang baru pulang, menyaksikan kejadian itu tanpa sepengetahuan Kirei.
Jordan turun dari mobil dan langsung berlari kecil menuju Zidan yang tengah menangis sambil menggedor pintu.
Jordan merangkul anaknya. Membersihkan nasi di kepala dan menenangkan Zidan agar berhenti menangis.
"Sayang, cup cup cup ... udah jangan nangis lagi! Ada Papa di sini." Jordan menggendong Zidan dengan penuh kasih sayang.
"Kirei! Buka pintunya!?" teriak Jordan dengan geramnya.
Kirei yang berada di balik pintu terperanjat. Ia tak menyangka jika Jordan telah pulang. Kirei menyangka jika Jordan akan pulang nanti malam, tetapi perkiraannya meleset.
Kirei membuka pintu dengan suasana hati tak keruan. Darahnya berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Ma-mas, kamu udah pulang?" tanya Kirei gugup saat pintu telah terbuka dan mendapati Jordan telah berdiri di ambang pintu dengan menggendong Zidan yang terisak.
Jordan masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan pertanyaan dari Kirei.
Jordan memandikan Zidan dan mendandaninya. Setelah itu, Zidan pun terlelap dininabobokan oleh Jordan di kamar.
*********
"Apa yang kamu lakukan tadi benar-benar sudah keterlaluan!" bentak Jordan pada Kirei saat mereka telah berada di ruang TV.
"Aku keterlaluan apa?" tanya Kirei seolah perlakuannya pada Zidan adalah suatu hal yang wajar.
"Keterlaluan apa katamu? Kamu kejam sama anak kita!" teriak Jordan.
"Kejam apa? Aku hanya kesal saja karena dia tak mau makan," jawab Kirei menjelaskan.
"Tapi bukan gitu caranya!?"
Emosi Kirei mulai memuncak. Kekesalan telah menjalar ke ubun-ubun. Ia kesal pada suaminya, tetapi Zidan-lah yang sering jadi pelampiasannya.
"Terus menurutmu gimana caranya? Kamu aja jarang di rumah. Aku mengurus dia sendirian tanpa bantuan dari siapa pun. Udah jarang di rumah, ngasih uang pas-pasan. Aku juga yang harus mengatur pengeluaran. Sedangkan kamu? Kamu gak tahu apa-apa. Aku yang pusing sendiri!" Kirei meluapkan emosinya yang telah lama terpendam.
Jordan bergeming. Namun, kembali teringat perlakuan Kirei pada Zidan. "Kamu itu ibu kandungnya Zidan, tapi kenapa kamu seperti ibu tiri? Ah, bahkan ibu tiri pun mungkin tak akan sekejam kamu," cibir Jordan.
Kirei terdiam. Ada rasa sesak yang menyeruak dari dalam d**a disebut seperti itu oleh suaminya sendiri.
Kirei menyayangi Zidan. Ia merasa bersalah karena selalu berbuat kasar kepada anaknya itu. Namun, entah mengapa perasaan kesal dan benci itu selalu saja muncul dari dirinya.
Kirei selalu tak bisa mengendalikan emosinya sendiri jika perasaan itu telah datang.
Kirei dan Jordan bersitegang dan bertengkar hebat hari ini.
Tak terasa buliran bening tergelincir dari pelupuk mata Kirei. Ia mengakui jika dirinya terlalu kejam, tetapi tak terima jika disebut kejam.
Entahlah, dia pun tak mengerti. Perasaan aneh itu selalu saja tiba-tiba muncul. Namun, tiba-tiba hilang juga dengan sendirinya.
Jordan pun menyadari jika itu merupakan kesalahannya juga. Ia ikut andil dalam mengubah Kirei menjadi tak stabil seperti ini.
Dalam hati, Jordan berjanji akan mengubah Kirei agar kembali normal seperti dulu. Namun, semua itu harus dimulai dari dirinya sendiri.
Jordan akan memperbaiki diri demi keluarga tercintanya.
Setelah kejadian ini, Jordan sering manasihati Kirei dengan lembut dan penuh kesabaran. Berharap istrinya akan berubah menjadi lebih baik.
Bersambung ....
-------------------------