Pembantaian
Teriakan histeris terdengar di seluruh penjuru ruangan. Tangisan setiap orang yang ada di sana sangat memilukan, darah segar mengalir dari tubuh orang-orang yang terbunuh, bau anyir tercium di setiap sudut ruangan. Komplotan para pembunuh itu telah pergi dengan tawa yang menggelegar, menandakan mereka puas telah membantai keluarga Orlando.
“A-lena, a-pakah k-kamu a-da di s-sini?” Seorang pria paruh baya berjalan tertatih-tatih akibat merasakan nyeri pada kakinya yang tertembak. Perutnya pun sepertinya tertembak, darah segar keluar dari tubuhnya yang terluka. Dia menangis menyaksikan dua anak dan istrinya telah tiada, dengan seluruh pelayan dan penjaga mansion yang kalah akibat tidak adanya persiapan. Keluarga Orlando diserang secara tiba-tiba.
“A-len?” teriaknya lagi setengah tertahan, pernapasannya semakin tercekat. Samar-samar terdengar suara kayu yang jatuh membuat Royland terkejut, dia segera bersembunyi di balik pintu. Dia hanya ingin memastikan bahwa Alena masih hidup, anak ke-2 dari keluarga Orlando yang baru saja pulang dari Canada di siang tadi.
“P-papah!” Suara gadis berusia 20 tahun itu menyapa indra pendengaran Royland. Ternyata masih ada anaknya yang selamat, Royland tersenyum padanya. Alena memeluk Royland yang bersimbah darah, dia juga ingin memeluk ibu, kakak, dan adiknya, tetapi dicekal oleh Royland.
“P-pergilah ke a-arah B-barat, N-nak, s-susuri r-ruang b-bawah t-tanah. T-tinggalkan k-kami di s-sini, k-kamu h-harapan k-keluarga O-orlando y-yang a-akan m-membalas p-perbuatan m-mereka s-semua.” Royland berbicara penuh harap, seraya menahan rasa sakit yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Alena tampak tak bergeming, dia menangis seraya melirik ke arah keluarganya sili berganti. Dia bingung, dia tidak ingin meninggalkan keluarganya demi apa pun itu. Alena ingin pergi bersama mereka, dia menatap sang papah sendu. “T-tapi, P-pah,” ucap Alena ragu.
“Sstt ...” Royland berdesis, lalu mengibaskan tangannya sebagai isyarat menyuruh Alena pergi.
Alena terdiam, dia berperang antara hati dan pikirannya. Dia menimang apa yang dikatakan oleh papahnya ada benarnya juga. Jika Alena ikut mati bersama mereka, para pembunuh itu akan hidup tenang, tidak akan ada yang membalaskan kematian keluarga Orlando.
Bruk! Royland terjatuh memejamkan matanya. Alena menutup mulutnya, kini semua keluarganya telah tak bernyawa di hadapannya. “Maaf, Alena harus pergi meninggalkan kalian,” ucap Alena seraya pergi ke arah Barat dari ruangan tersebut. Alena menuruti perintah Royland, dia buru-buru pergi karena mendengar derap langkah yang kembali mendekat. Alena mempercepat langkahnya ke arah Barat, hingga menemukan sebuah lubang tertutup di pojok taman.
“Apa fungsi lubang itu?” tanya Alena bingung, dia berjongkok untuk menyingkirkan penutup lubang tersebut. Dia melihat ke bawah, ternyata tangga untuk menuju ruang bawah tanah.
“Apa ini yang dikatakan papah?” tanya Alena pada dirinya sendiri seraya mengusap air matanya yang terus saja lolos memperburuk keadaannya.
Alena melirik ke seluruh area taman tersebut, aman terkendali. Tidak ada tanda-tanda manusia yang ada di sana, hanya ada Alena. Dia segera turun ke ruang bawah tanah, melangkahkan kakinya pada tangga tersebut. Tak lupa, Alena juga menutup kembali lubang tersebut. Alena menarik napasnya panjang, beberapa detik kemudian dia berlari ke arah barat seraya terus mengusap air matanya.
“Tunggu pembalasanku, sialan!” Alena berteriak di lorong bawah tanah tersebut. Dia sedikit kesulitan dikarenakan lorong tersebut tidak ada pencahayaan. Alena hanya menggunakan mata telanjangnya, dia terus berlari tanpa henti.
Di kediaman Orlando’s Family para komplotan pembunuh itu kembali masuk ke dalam, bertepatan dengan Alena pergi. Mereka mengecek kembali seluruh mayat yang mereka bantai untuk memastikan bahwa mereka benar-benar sudah tidak bernyawa.
“Pastikan tidak ada yang tersisa satu pun!” perintah pria yang memakai topeng putih pada anak buahnya. Mereka mengangguk, seraya mengecek seluruh mayat yang tergeletak di sana.
Pria berkepala plontos menghampiri tuannya mewakili anak buah yang lain. “Mereka sudah tidak bernyawa, Tuan. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada mereka,” ucapnya.
“Bagus,” jawab pria topeng putih. Hal itu diiringi tawa kepuasan oleh kedua temannya yang ikut andil dalam pembantaian tersebut.
“Aku senang, Royland dan keluarganya telah lenyap. Ha ha ha,” sahut pria topeng hitam, seraya tertawa.
“Bukan hanya keluarga, tapi seluruh penghuni mansion-nya,” sambung pria bertopeng merah. Mereka kembali tertawa bersama.
Setelah berlari sekitar 20 Km dari mansion ke arah barat, kini Alena menemukan akhir dari lorong tersebut. Dia kembali menemukan tangga, dengan segera menaiki anak tangga tersebut satu persatu, Alena dengan sisa tenaganya berusaha menyingkirkan penutup dari lubang keluar lorong bawah tanah itu.
“Hah, berhasil,” ucap Alena. Dia berada di jalanan sepi sekarang, disorot oleh bulan purnama yang menyinari wajahnya. Wajah cantik Alena dipenuhi keringat dan air mata yang membanjirinya. Dia mondar-mandir di sekitaran jalan tersebut, bingung harus melangkah ke arah mana, dia takut ada komplotan pembunuh yang menemukannya.
David duduk di kursi bagian belakang, mobilnya dikemudikan oleh Farez sang asisten. Mereka baru saja selesai mengecek proyek dari luar kota, mereka melintas jalanan sepi di kawasan Oxford bagian selatan. David menengok ke arah samping kiri, menajamkan sorot matanya yang indah, dia melihat seorang gadis tengah mondar-mandir di tepi jalan, tampilannya kusut sekali.
“Berhenti dulu, Rez!” perintah David.
“Kenapa, Dav?” tanya Farez heran. David tak menjawab, dia langsung turun dari mobil menghampiri gadis tersebut.
Tampak gadis itu ketakutan saat David menghampirinya. David tersenyum penuh arti melihat tampilan gadis tersebut. “Jangan mendekat!” teriak gadis itu pada David.
“Hei! Apa yang kamu lakukan di sini tengah malam mondar-mandir di jalanan, hm?” tanya David, pandangannya menelisik dari atas sampai bawah gadis tersebut. “Penampilanmu juga sangat kusut,” lanjut David.
“Kenapa? Kau mau membunuhku, seperti kau meregang nyawa keluargaku? Bunuh saja, bunuh! Percuma Alena lari sejauh ini, kalau sekarang tertangkap juga. Lebih baik Alena mati, hidup pun sudah tidak punya siapa-siapa. Now, I’m alone.”
David tertegun, lalu senyuman khasnya dia tampilkan. “Aku bukan pembunuh seperti yang kau bayangkan, Nona. Aku bukan pembunuh keluargamu, aku hanya orang yang baru saja pulang mengecek proyek dari luar kota.” Jujur David.
“Mau ikut denganku? Jika kau berada di sini, lalu tertangkap oleh mereka akan dipastikan mati konyol. Siapa yang akan membalaskan dendam kematian keluargamu itu?”
Alena tampak diam, dia kembali menimang perkataan yang sulit untuk dicerna. Orang asing di hadapannya benar juga, seperti yang telah dikatakan oleh papahnya bahwa Alena harapan satu-satunya untuk membalaskan dendam pada mereka. Jika Alena mati konyol saat ini, sudah pasti akan membuat mereka tenang sepanjang masa. Namun, Alena bingung. Apakah dia harus ikut dengan orang asing di hadapannya? Jika dilihat dari tampilannya, sepertinya umur dia dan Alena tidak begitu jauh, terpaut jarak sekitar 5 sampai 6 tahun.
“Bagaimana, Nona?” tanya David memastikan.