Alena terbangun dari tidurnya, dia terduduk di ranjang seraya memeluk lututnya. Matanya mengeluarkan cairan bening yang dua hari ini dia tahan, tetapi pertahanannya itu tetap saja runtuh. Bayang-bayang keluarganya yang terbunuh masih menghantui diri Alena. Darah segar yang mengalir pada tubuh keluarganya masih teringat jelas dalam memori Alena, apalagi papahnya yang jatuh meninggal di hadapannya setelah menyuruhnya pergi, Alena sesak mengingat semuanya.
Semua itu sungguh menyakitkan bagi Alena, andai waktu itu dia mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan mereka itu semua tidak akan terjadi. Jika saja waktu itu ayahnya menuruti perkataan Alena untuk menambah pengawalan ketat di rumahnya, mungkin semua itu tidak akan terjadi. Alena benci komplotan para pembunuh itu, mereka menghancurkan kebahagiaannya dalam sekejap mata.
“Harusnya aku pun mati!” teriak Alena seraya menjambak rambutnya.
Dia benar-benar frustasi. Beberapa detik kemudian dia tertawa. “Ha ha ha, jika aku ikut mati siapa yang akan membalas mereka?” tanya Alena pada dirinya sendiri.
Kejiwaannya cukup terganggu untuk sekarang ini, antara mati atau jangan selaluu terlintas dalam benaknya. Ada keinginan untuk mati, ikut bersama keluarganya. Namun, jika dipikir ulang, dia pun tidak ingin pembunuh keluarganya bisa hidup dengan tenang. Dia perlu membalaskan dendam keluarganya.
“Arghhh ... Kenapa harus seperti ini, Tuhan?” Alena berteriak kembali.
Teriakan Alena sangat kencang, David yang baru saja ke luar kamar berniat untuk mengajak Alena joging dikagetkan oleh teriakannya. David segera berlari ke kamar Alena, untung saja pintunya tidak dikunci oleh gadis itu, sehingga memudahkan David untuk masuk. Alena terus meracau tak jelas, tentang dia yang ingin ikut mati, dan dendam yang harus dibalaskan. Tangannya terus menjambak rambut panjangnya hingga kusut berantakan.
David naik ke atas ranjang, mencoba untuk menghentikan Alena. Namun, ternyata gadis itu menendang David dengan tenaga yang cukup kuat, David yang tidak ada persiapan tersungkur ke belakang.
“Baby, tenanglah,” ucap David seraya maju kembali untuk merangkul Alena.
Bukannya tenang, Alena terus mengamuk menatap David murka.
“Kenapa kau tidak membiarkanku mati saja di jalanan itu, hah? Kenapa?” teriak Alena histeris.
“Baby, dengarkan aku!” David sekuat tenaga mencegah Alena, agak sulit memang karena Alena tidak bisa diam, tetapi tenaga David tentunya lebih besar sehingga dia lebih mudah menaklukkan Alena.
David merangkul Alena ke dalam pelukannya, untuk kedua kalinya dia menenangkan Alena dalam keadaan seperti ini. David juga mengetahui jika Alena dua hari kemarin berusaha tampak tegar dan selalu tersenyum menyapa orang-orang untuk menyembunyikan kesedihannya. David tahu Alena rapuh, dia juga tahu bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga yang sangat penting di hidupnya.
“Tenanglah, jangan seperti ini,” ucap David seraya mengelus punggung Alena.
“Alena berusaha untuk menyembunyikan kesedihan, berusaha tegar, tetapi susah, Daddy,” sahut Alena.
Alena mengeluarkan keluhannya pada David, pria itu menatap mata Alena lekat. Dia melihat kesedihan yang mendalam pada gadisnya, David tak bergeming.
“Aku tidak kuat ketika bayang-bayang itu terus menghantui pikiranku. Di mana aku melihat orang tuaku, kakak, adik, seluruh pegawai di rumahku terkapar tak bernyawa, dan hanya aku yang selamat, Daddy.” Alena melanjutkan pembicaraannya.
“Kau tahu, Daddy, aku selalu berpikir lebih baik aku mati ikut bersama mereka. Tetapi aku juga ingat pesan papah, bahwa aku harapan satu-satunya yang akan membalaskan perbuatan mereka. Jika aku ikut mati, mereka akan tenang ....”
David mendengarkan semua yang diucapkan oleh Alena, dia mendekap Alena semakin erat. Sungguh malang nasib Alena, ditinggalkan oleh keluarganya secara bersamaan, menyaksikan keluarganya terbunuh di hadapannya.
“Papahmu benar, Baby. Hal yang perlu kamu lakukan adalah menuruti permintaan terakhirnya. Dengan begitu, kamu akan berguna untuk keluargamu meskipun mereka telah tiada.” David akhirnya berbicara mengutarakan pendapatnya. Hal itu menjadi penenang bagi Alena.
“Kamu ingin keluargamu itu bersedih melihatmu seperti ini? Kamu harus kuat untuk mereka, berjuang hidup untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semuanya. Tenanglah, ada aku yang akan membantumu, Baby,” ucap David.
Alena mendengarkan saran dari David, dia tersenyum tipis. Semua ucapan David memang benar, dia harus hidup untuk bangkit, bukan hidup penuh dengan keluhan tanpa berbuat apa-apa. Jika hidupnya digunakan untuk terus mengeluh tanpa action, sampai kapan pun tidak akan berguna.
“Terima kasih telah menolongku, Daddy,” ucap Alena.
“Meskipun aku sebenarnya terpaksa menerima lamaranmu, tetapi aku akan berusaha memantaskan diri untukmu,” lanjut Alena.
David terkesiap. “Jadi ... kau terpaksa menerima lamaranku?” tanya David, Alena mengangguk.
David hanya bisa menarik napasnya panjang, dia juga tidak bisa menyalahkan Alena dalam hal ini. Memang yang dilakukan David terlalu cepat, pantas saja Alena terpaksa harus menerimanya. David berpikir bahwa Alena pasti menerimanya karena dia adalah orang yang menolongnya di malam itu.
Mungkin bagi Alena, seorang David adalah malaikat.
“Impianku dulu adalah menikah dengan orang yang aku cintai, orang yang telah mengenalku cukup jauh, yang mengenal keluargaku, dan mengenal apa pun tentang aku,” sahut Alena.
“Aku tahu jika aku terlalu terburu-buru. Tetapi percayalah, aku akan membuatmu bisa jatuh cinta padaku. Kita bisa belajar untuk saling mempercayai, dan mengenal satu sama lain lebih jauh,” ucap David membuat Alena mengangguk seraya tersenyum.
“Terima kasih, Daddy!” Alena kembali memeluk David, entah kenapa ada rasa nyaman di hatinya saat bersama David.
Alena menyelusupkan wajahnya pada d**a bidang David, dia menghirup aroma mint yang menyegarkan, aromanya seolah menjadi candu, Alena ingin menghirupnya lagi dan lagi. Dia tidak mau melepaskan pelukannya, baju yang dipakai David basah akibat air matanya yang terus menerus turun.
“Berhentilah menangis!” perintah David seraya mengelus puncak kepala Alena.
“Daddy!” panggil Alena seraya mendongak di tengah-tengah isakannya.
“Kenapa?” tanya David seraya mengangkat sebelah alisnya.
“Aku ingin pergi ke makam!” tegas Alena membuat David seketika memelototkan matanya tajam.
“Jangan dulu, Baby. Di luar sana masih belum aman untukmu,” jawab David dengan raut wajah khawatir.
“Tapi, aku ingin pergi ke makam!” tegas Alena lagi.
David menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Jangan dulu sekarang, ya,” ucapnya lembut.
“Jika suatu saat situasinya sudah aman, apakah Daddy akan mengantarkan aku ke sana untuk menjenguk keluargaku?” tanya Alena.
“Aku ingin pergi ke makam,” lanjut Alena seraya menangis histeris.
David menarik napasnya dalam, dia tidak mau ceroboh. Alena tidak boleh pergi ke tempat itu sampai keadaan aman, meskipun mereka tidak ada yang tahu bahwa keluarga Orlando masih ada yang hidup, tetapi harus tetap berjaga-jaga.
"Jika situasinya sudah aman, aku akan mengantarkanmu ke mana pun itu, Alena."
"Apa kau serius?" tanya Alena.
"Apa tampangku ini seperti pembohong, hm?" David menaikturunkan alisnya, membuat Alena terkekeh.
Alena sudah mulai bisa menetralkan kembali keadaannya, David berhasil membuatnya tenang kembali. Dalam hatinya, Alena selalu berharap bahwa David akan menjadi orang baik yang akan melindungi Alena setiap saat, dan kapan pun itu.
"Apa kau ingin dibuatkan sesuatu?" tanya David.
"Aku mau pergi ke makam," jawab Alena lesu.
"Aku sudah mendengar permintaan itu. Apa kau ingin dibuatkan sesuatu?"
"Aku ingin salad buah, apa boleh?"
"Tentu saja."