1. Misi Penting
Chapter 1
Misi Penting
Di sebuah kondominium di jantung kota New York, Oleg Rumanov baru saja kembali dari pusat kebugaran. Ia meletakkan tasnya yang berisi peralatan olah raganya di atas meja kemudian membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman dingin lalu menikmati isinya.
“Aku akan berangkat ke pusat pangkalan mata-mata malam ini,” kata Igor Rumanov, ayah Oleg Rumanov sambil.
Oleg meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja dan menatap ayahnya yang berusia lima puluh lima tahun. Seorang mantan komandan angkatan darat dari Rusia yang baru saja pensiun tetapi bukannya menikmati masa pensiunnya justru bergabung dengan agen mata-mata dari negaranya, hal ini tidak membuat Oleg heran karena ayahnya sudah mengemukakan keinginannya sejak lama. Bahkan saat ayahnya masih aktif di angkatan militer Rusia.
Ayahnya menerima upah yang sangat tinggi untuk menjalankan misi ini, tetapi Oleg tahu jika upah tinggi bukan satu-satunya sebab ayahnya mengambil misi berbahaya ini. Kecintaan terhadap tanah airnyalah yang menggerakkan hati ayahnya dan Oleg sangat mengapresiasi keberanian ayahnya.
Ayahnya dulu berharap Oleg bergabung dengan militer Rusia seperti ayahnya dan juga kakeknya, tetapi setelah menyelesaikan wajib militer Oleg menempuh jalan lain. Ia memilih menempuh pendidikan hukum, bukan karena tidak memiliki jiwa nasionalisme tetapi karena lebih tertarik dengan tatanan hukum di dalam masyarakat dan bertekad untuk membantu masyarakat menegakkan keadilan dengan caranya.
Berada di barak militer bertahun-tahun dan harus jauh dari keluarga, ia tidak memiliki nyali yang besar seperti ayahnya saat harus menjadi garda terdepan bagi negara saat negara dalam bahaya.
“Kau harus berhati-hati,” kata Oleg mengingatkan ayahnya yang berdiri di depannya sembari memegangi tas punggung.
“Kau juga harus berhati-hati dalam bergaul di sini.”
Saat ini generasi muda tidak begitu peduli dengan konflik politik antar negara, seperti dirinya karena selama bergaul dengan teman-teman di kampusnya faktanya banyak yang menentang peperangan dengan dalih hak asasi manusia. Oleg setuju dengan itu, menurutnya konflik politik antar negara apalagi peperangan hanyalah bentuk dari keegoisan para penguasa negara.
“Aku baik-baik saja.”
“Jika teman-temanmu tahu jika kau putra seorang mata-mata, aku yakin mereka tidak akan menjadi temanmu lagi.”
“Well, kurasa itu tidak akan terungkap kecuali kau melakukan kesalahan dan mengungkap jati diriku.”
Igor mengedikkan bahunya. “Itu tidak akan terjadi.”
“Jadi, apa misimu kali ini?”
“Baru-baru ini pangkalan militer kita menerima informasi kalau Amerika sedang mengembangkan nuklir jenis baru yang lebih canggih dari nuklir buatan negara kita,” kata Igor dengan mimik serius. “Jika benar maka kami harus segera mendapatkan sistem informasi dari mereka dan memberikan datanya pada militer kita agar mereka secepatnya membuat teknologi serupa atau bahkan lebih baik dari mereka.”
Oleg bersedekap mendengarkan penjelasan ayahnya, pria bermata biru muda dan rambut pirang itu mengangguk-angguk pelan.
“Kau ingat ‘kan bagaimana cara menghubungi rekanku di saat genting?” tanya Igor.
Ada banyak hal-hal bersifat rahasia yang diajarkan Igor padanya dan Oleg tidak pernah melupakannya sedikit pun. “Ya, jangan khawatir.”
***
“Bagaimana perjalananmu?” tanya Grayson J. Elingthon seraya merentangkan tangannya kepada Nichole Georgia Elingthon.
Nichole memeluk kakeknya yang memasuki ruangan yang digunakan sebagai ruang keluarga lalu mencium pipi tua pria itu kemudian berkata, “Sejujurnya aku sangat marah padamu.”
Nichole baru mendarat dari penerbangannya menggunakan first class selama delapan jam dua puluh lima menit dari London ke Washington D.C dan langsung menemui kakeknya di gedung putih, alih-alih pulang dulu ke tempat tinggal orang tuanya di New York, ia memilih penerbangan ke Washington karena tidak sabar lagi untuk bertemu dengan kakeknya.
Wanita berusia dua puluh satu tahun itu baru aja menyelasaikan pendidikannya di Cambridge University dan mendapatkan gelar sarjana, ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan untuk merai cita-citanya itu ia harus mengambil pendidikan satu tahun lagi agar mendapatkan gelar master dan Nichole ingin mendapatkan gelar Juris Doctor di Cambridge University lalu melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar Juris Doctor.
Namun, kakek tersayangnya justru mengacaukannya dengan menguluarkan perintah agar ia kembali ke Washington dan melanjutkan studinya di Amerika membuat Nichole sangat kesal. berparas cantik dengan rambut pirang dan mata amber itu menyukai kehidupan di Cambridge, Nichole menyukai kehidupan di Cambridge, bukan hanya karena setiap hari pandangannya disuguhkan dengan keindahan arsitektur kuno yang indah, di sana masyarakatnya sangat ramah, dan tingkat kejahatan sangat sedikit.
Grayson terkekeh seraya menepuk-nepuk punggung Nichole. “Aku mengerti kemarahanmu.”
Nichole menjauhkan dirinya dari pelukan kakeknya dan menatap Grayson dengan kesal. “Kau tidak datang saat aku menerima gelar sarjanaku dan sekarang kau memaksaku kembali ke New York. Dengar, Kek. Aku benar-benar marah padamu.”
“Maafkan aku, aku akan menebusnya kesalahanku, oke?”
Nichole mendengus kesal. “Aku ingin kembali ke Cambridge," katanya sembari menatap Grayson dengan tatapan memohon.
“Kau baru datang dan langsung blak-blakan bicara ingin kembali ke sana, kedengarannya kau tidak merindukan kakekmu ini," kata Grayson sembari keduaalisnya terangkat.
"Tentu saja aku merindukanmu, Kek. Tapi...."
"Tentu saja, kau bisa kembali ke sana," potong Grayson.
“Kau serius?” tanya Nichole dengan mata berbinar-binar.
Grayson mengangguk-angguk sambil menggandeng Nichole dan perlahan melangkah.
“Ada sesuatu yang sangat penting yang harus kita bicarakan malam ini, setelah makan malam,” kata Grayson.
“Kakek, kau tidak perlu berbelit-belit. Kau bisa mengatakan sekarang,” ujar Nichole dan masih memperlihatkan kekesalannya.
Grayson duduk di sofa disusul Nichole yang duduk di sampingnya.
“Aku ingin melepas rindu dengan cucuku yang telah lama tidak kujumpai, kenapa harus terburu-buru?” kata Grayson dengan senyum mengembang di bibirnya dan menatap Nichole dengan penuh kasih sayang.
Grayson memang selalu menatap Nichole dengan lembut dan penuh kasih sayang, bahkan memperlakukan Nichole seperti Nichole adalah gadis kecil tujuh belas tahun yang lalu dan Nichole tidak benar-benar kesal pada Grayson karena ia tahu Grayson sangat menyayanginya sehingga kakeknya itu pastinya bisa dibujuk.
“Well, aku tidak akan bisa mendesakmu,” kata Nichole berpura-pura melunak dan tersenyum manis.
“Aku ingin minum teh ditemani cucuku tersayang, tetapi sepertinya cucuku hanya datang untuk kepentingannya,” kata Grayson menggoda Nichole.
"Aku merindukanmu, Kek. Aku serius, aku datang karena aku merindukanmu."
Grayson terkekeh. "Baiklah, Kakek juga sangat merindukanmu. Aku belum memberikan hadiah kelulusan untukmu, katakan apa yang kau inginkan?"
"Kau akan memberikan apa pun yang kuinginkan?" tanya Nichole yang diangguki Grayson. Nichole berdehem dan memegangi tangan kakeknya. “Kek, kau serius ‘kan dengan ucapanmu tadi?”
“Ucapan? Minum teh? Ya, aku sangat ingin minum teh ditemani dirimu.”
Nichole mendengus kesal. “Kau memperbolehkan aku kembali ke Cambridge.”
“Ya. Aku serius.”
Nichole terbelalak menatap kakeknya. “Kakek, aku menyayangimu!”
“Tapi dengan satu syarat.”
“Katakan!” pinta Nichole dengan sangat bersemangat.
Grayson menyentuh ujung hidung Nichole dengan jari telunjuknya. “Kau akan tahu syaratnya nanti setelah kita makan malam.”
Nichole merengut karena ucapan kakeknya. “Kau tidak akan menyulitkanku, kan?”
Grayson terkekeh. “Mana mungkin aku menyulitkan cucuku tersayang?”
***
Pukul delapan malam setelah makan malam bersama nenek dan kekeknya, Nichole dipanggil ke ruang pribadi kakeknya, ia cukup terkejut karena seorang pria dengan perawakan tinggi besar mengenakan setelan jas lengkap berada di sana. Nichole tidak begitu jelas melihat wajah pria itu karena ia melihat dari belakang, tetapi dari penampilannya itu Nichole menebak pria itu memiliki posisi lumayan penting karena bisa berada di ruang belajar priabdi presiden.
“Duduklah,” kata Grayson kepada Nichole.
Nichole duduk di samping pria asing yang baru pertama kali ia jumpai dan mereka berseberangan dengan Grayson dipisahkan oleh meja kayu yang kokoh.
“Nichole, aku tahu kau pasti akan datang secepatnya untuk mencariku karena kau memiliki tekad yang besar untuk melanjutkan pendidikanmu di Cambridge,” kata Grayson membuka pembicaraannya. “Dan malam ini aku memanggil kalian ke sini untuk sebuah misi,” lanjut Grayson seraya menatap Nichole.
Alis Nichole sontak berkerut mendengar ucapan Grayson. “Misi? Untukku?”
“Kalian berdua,” jawab Grayson dengan tegas, “kau ingin kembali ke Cambridge, bukan?”
"Jadi, kau berencana memanfaatkan tekadku demi kepentinganmu?" tanya Nichole tidak senang sembari melirik pria di sampingnya yang duduk dengan sangat tenang.
Grayson tersenyum mendengar ucapan Nichole yang terdengar pedas itu. "Kedengarannya ini tidak cukup adil bagimu."
"Kau benar, aku itu tidak cukup adil bagiku karena aku tidak ingin menjadi bagian dari politikmu," ucap Nichole terus terang karena ia sama sekali tidak ingin mengikuti jejak kekeknya yang berkecimpung di dunia politik, ia ingin menjadi seorang pengacara seperti ayahnya.
“Baiklah, demi kembali ke Cambridge. Apa pun akan kulakukan,” ujar Nichole tegas dengan ekspresi malas.
“Mulai hari Senin kau akan menjadi mahasiswa di Columbia University,” kata Grayson dan hal itu membuat keadaan menjadi senyap karena Nichole tidak bersuara. Wanita itu hanya bengong menatap kakeknya. “Hanya untuk sementara sampai kau berhasil menyelesaikan misimu, semakin cepat selesai maka semakin cepat pula kau kembali ke Cambridge.”
“Aku tidak mengerti maksudmu,” kata Nichole muram.
“Ada seorang mata-mata dari Rusia masuk ke negara kita dan orang ini sangat berbahaya, dia adalah mantan komandan angkatan darat Rusia yang ahli dalam penyamaran. Keberadaan orang ini tidak diketahui, agen CIA sudah mengerahkan orang-orangnya tetapi belum membuahkan hasil,” ujar Grayson sembari terus menatap Nichole.
“Lalu apa hubungannya dengan kuliahku di Columbia University?” tanya Nichole datar.
“Baru-baru ini agen CIA mendapat laporan kalau putra Igor Rumanov ternyata berada di New York dan kuliah di Columbia University. Tugasmu adalah mendekati putra Igor dan mendapatkan informasi di mana keberadaan pria itu.” Grayson mengalihkan pandangan pada pria di samping Nichole. “Dan, Max... selain bertugas melindungi cucuku, kau juga harus membantunya menyelesaikan misinya.”
“Saya mengerti, Tuan presiden,” kata pria itu dengan tegas.
Bersambung....