bc

Wedding Planner Sang Mantan

book_age16+
4
FOLLOW
1K
READ
HE
second chance
drama
sweet
loser
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Kirana dipaksa putus dari Ardana oleh ibu kekasihnya dengan alasan perbedaan status sosial. Kirana kemudian belajar melupakan Ardana dan bekerja keras mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dalam waktu singkat, ia sukses menjadi perancang pernikahan di sebuah perusahaan event organizer. Suatu hari, ia mendapatkan seorang klien bernama Friska yang terpesona dengan hasil kerjanya. Ketika mengetahui bahwa calon suami kliennya itu adalah Ardana, ia mundur dari tugasnya. Namun, Friska yang tidak tahu masa lalu calon suaminya, memaksanya. Pada Kirana tidak bisa mengelak. Pada saat yang bersamaan, ia juga tidak bisa menghindar kala seorang pria yang menyukainya mencoba mendekatinya. Kirana pun terjebak, antara masa lalu dan masa kini.

chap-preview
Free preview
Perkenalan
“Ma, kenalkan ini … Kirana.” Ardana merangkul bahu Kirana lembut. Kirana tersenyum mengangguk. Setengah membungkuk ia mengulurkan tangan hendak meraih salam jemari Gayatri. Namun, lengan ibunda Ardana itu tidak bergerak menyambut. Sepertinya, ia masih terpana dengan kehadiran seorang gadis muda yang tampak begitu akrab dengan Ardana, di acara wisuda sarjana lelaki itu. Tanggapan dingin tidak membalas tersebut membuat Kirana kikuk. Cepat ia menarik dan menangkupkan telapak tangannya di depan d**a. “Selamat siang, Tante. Saya Kirana. Senang bisa berkenalan.” Gayatri tidak menjawab. Ia malah menoleh pada Ardana. “Siapa, Ar?” “Pacar aku!” Ardana tersenyum lebar. Mata Gayatri kembali beralih pada Kirana. Sorotnya menyiratkan rasa tak percaya. “Sejak kapan kalian pacaran?” “Baru dua bulan,” jawab Ardana. Kirana mengangguk mendukung jawaban Ardana. Sebenarnya keduanya sudah setahun lebih menjalin hubungan. Namun, sesuai kesepakatan melalui telefon semalam, ia harus mengaku bahwa hubungan mereka belum ada seumur jagung kepada Gayatri. Ardana punya alasan tersendiri yang tidak dijelaskan. “Kok, baru sekarang dikenalkan ke Mama?” tanya Gayatri seperti kecewa. “Baru sempat. Kemarin ‘kan aku sibuk nyelesaikan skripsi.” Ardana berkilah. Gayatri terus meneliti sekujur tubuh Kirana, seakan menguliti penampilannya. Kirana yang semula percaya diri dengan gaun brukat baby pink, jadi jengah. Untung saja kemudian terdengar pengumuman agar para wisudawan segera memasuki balairung. Sehingga, Kirana terselamatkan dari suasana yang kikuk. Meski demikian, kecanggungan tetap terasa sepanjang acara. Meski duduk bersebelahan di deretan kursi tamu undangan, Gayatri bersikap seperti belum pernah mengenalnya. Beberapa kali Kirana berupaya mencetuskan percakapan. Namun, balasan wanita yang berpembawaan serupa dengan aristokrat itu, sungguh tidak terduga. “Jangan berisik! Kamu harus tenang di acara seperti ini,” tegur Gayatri. “Maaf,” sesal Kirana sambil menautkan jemarinya erat. Walaupun sudah terbiasa menghadapi beragam sifat manusia kala menekuni pekerjaan paruh waktu di kedai kopi, entah mengapa teguran dan sikap Gayatri sedikit menusuk hatinya. Proses acara wisuda yang berlangsung hampir tiga jam itu, terasa sangat lama bagi Kirana. Saat sesi berfoto di booth studio mini, Gayatri menolak berfoto bertiga. “Berdua Mama saja. Kirana ‘kan belum resmi menjadi keluarga,” tegas Gayatri. Ucapan itu seperti pengingat bagi Kirana untuk tahu diri. Ia pun menggeser kakinya, menjauhi ibu dan putranya tersebut. “Habis ini, aku sudah boleh pulang?” tanya Kirana pada Ardana saat mereka berfoto berdua. “Belum. Habis ini kita makan siang sama Mama,” jawab Ardana. “Tapi, Mama Kakak pasti ingin merayakan wisuda ini berdua aja sama anaknya,” bisik Kirana. “Aku maunya bertiga. Kalau Papaku masih ada, jadi berempat.” Ardana tersenyum menatap kamera. Kirana tak berani mengelak dari keinginan Ardana. Biarpun merasa tak nyaman dengan sikap Gayatri, ia tak berkeinginan merusak hari bahagia lelaki baik hati itu. “Mamaku memang suka kaku begitu sama orang yang baru dikenalnya. Jangan diambil hati. Nanti, kalau sudah kenal lama, kalian pasti akan cocok.” Ardana berkata pelan di telinga Kirana seolah bisa membaca keresahannya. *** Kirana akhirnya menurut saja saat Ardana membawanya dan Gayatri ke sebuat restoran tak jauh dari kampus. Di meja bundar yang sudah dipesan sebelumnya, mereka duduk melingkar bertiga. Ardana memesan banyak makanan. Biarpun lapar, Kirana tak berani makan berlebihan. Ia sadar, sudut mata Gayatri tak lepas mengamati gerak-geriknya. Ia bahkan hampir tak berkata-kata karena takut salah bicara dan menimbulkan kesan yang tidak baik. “Arda … Mama lihat di meja pojok sana ada Om Indra, rekanan perusahaan Papa. Dia baru datang. Kamu harus menyapa dia dulu!” Gayatri menunjuk ke sebuah arah. “Oke!” Ardana yang telah selesai makan, mematuhi titah Gayatri. Tingkat resah di hati Kirana meninggi. Ia takut ditinggal berdua saja. Meski begitu, tak mungkin ia mengikuti Ardana. “Di mana kamu bisa kenal Arda?” Gayatri menangkupkan sendok dan garpunya di atas piring kosong. Akhirnya ia membuka percakapan langsung dengan Kirana. “Di kampus,” jawab Kirana singkat. “Oh ya … kamu kuliah di kampus Arda juga?” Gayatri seolah tak yakin Kirana bisa berkuliah di universitas negeri yang bergengsi. “Iya. Kak Arda kakak tingkat saya. Kami kenal karena Kak Arda pernah jadi asisten dosen di kelas saya.” Kirana menjawab dengan nada santun. “Kamu tinggal di mana?” tanya Gayatri. “Saya kos di dekat kampus.” Kirana meletakkan sendok, dan memutuskan tidak meneruskan menikmati puding lava cokelat kesukaannya. Ia tak mau dianggap tak sopan karena tidak memperhatikan orang tua bicara. “Berapa saudara di keluargamu?” selidik Gayatri. “Sama kayak Kak Arda, saya anak tunggal.” Kirana tersenyum. “Orang tuamu di mana, dan kerja apa?” pertanyaan Gayatri semakin jauh dan dalam. “Ayah dan ibu saya sudah meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Dulu Ayah saya pedagang buah di pasar. Ibu saya penjahit konveksi,” jawab Kirana apa adanya. Air muka Gayatri seketika tampak berubah. Kirana dapat melihat jelas hal itu. “Semester berapa kamu sekarang?” Kening Gayatri sedikit berkerut. “Masuk semester tujuh.” Kirana meneguk air mineral karena tenggorokannya mendadak kering. Percakapan ini seperti sebuah interogasi saja baginya. “Kalau orang tuamu sudah meninggal, siapa yang selama ini menanggung kuliah, kos dan semua kebutuhanmu?” Gayatri ingin tahu. “Saya kerja part time di kedai kopi dekat kampus. Saya juga ngajar les privat untuk anak SD.” Gayatri meletakkkan punggungnya ke sandaran kursi. “Arda ikut membantu membiayai?” Kepala Kirana cepat tergeleng. Ia sadar ke arah mana semua pertanyaan Gayatri. Pasti dikiranya ia sudah memanfaatkan Ardana. “Penghasilan saya cukup untuk semua kebutuhan saya. Saya juga dapat beasiswa untuk biaya kuliah,” jawab Kirana. Bibir Gayatri tersenyum tipis. “Gaun dan tasmu itu, berapa harganya?” “Saya … nggak tahu.” Kirana bingung menjawab. “Kok, nggak tahu? Kamu pinjam atau ada yang kasih?” desak Gayatri. “Kak Arda yang belikan. Saya nggak tahu harganya.” Kirana tersudut. Jantungnya berdebar. Tawa sinis Gayatri berkumandang. Menimbulkan pedih di hati Kirana. “Aku bisa, loh … membedakan baju mahal dan murah. Gaunmu itu kutaksir harganya sepuluh jutaan. Wajar karena bahannya brokat halus, belum lagi payet-payetnya. Tas … empat juta. Selop itu pasti nggak di atas satu jutaan. Aku ragu, apakah gajimu sebulan bisa untuk membeli semuanya?” sarkas Gayatri. “Saya nggak tahu harganya semahal itu,” lirih Kirana. Ia merasa tersudut. Bila saja ia tahu akan begini, sudah pasti akan ditolak paksaan Ardana membelikan pakaian, sepatu dan tas baru khusus untuk acara wisudanya. Padahal, kebaya lama peninggalan almarhum ibunya masih cukup bagus. “Kenapa kamu bisa suka sama Ardana?” Pertanyaan Gayatri berubah arah. “Karena dia baik dan perhatian.” Kirana mencoba tegar mengangkat wajahnya. “Iyalah … kalau nggak baik … nggak mungkin pacarnya sampai dibelikan baju dan tas mahal. Makanya kamu mau jadi pacarnya ‘kan.” Gayatri menyindir keras. Ingin Kirana membantah penilaian itu, tetapi hatinya telanjur retak. Matanya yang panas mencari-cari sosok Ardana. Lelaki itu tampak sedang berbincang serius dengan seorang lelaki paruh baya di sudut lain restoran. “Sejak dulu banyak perempuan yang mendekati Arda hanya karena dia anak tunggal dan pewaris perusahaan properti besar. Mereka cuma ingin uangnya saja. Jadi, aku harus hati-hati sebelum memberikan restu pada pacarnya. Setelah mendengar latar belakang orang tuamu yang hanya penjual buah di pasar … aku nggak yakin niatmu tulus.” Gayatri menggelengkan kepala. “Jujur saja, menurutku … kamu nggak pantas untuk Ardana!” Kirana terhenyak dengan pernyataan wanita di hadapannya. Tubuhnya panas dingin, disusul rasa perih di mata. Pahit rasanya dianggap tidak pantas. Ia hampir saja beranjak pergi, ketika telapak tangan hangat Ardana menyentuh bahunya. “Hei … kalian ngobrolin apa?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
310.7K
bc

Too Late for Regret

read
289.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.0K
bc

The Lost Pack

read
402.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
147.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook