BAB 9

2043 Words
Elka menatap sekelilingnya, ada banyak sekali bingkai foto yang berjejer menghiasi dinding yang bercorak mirip dedaunan kecil warna hijau yang lumayan cerah. Warna dasarnya biru, rasanya memang terlihat asri dan tenang. Padahal penataan ruangannya hanya sederhana, perabotnya juga masih jarang jadi terlihat luas jika dilihat dari luar. Sama halnya dengan Elka yang masih asik menikmati rumah milik Arham dan Fasha itu. Dari awalnya yang tidak diajak oleh Renal, dengan sikap manja dan sedikit rengekan. Akhirnya Elka turut serta juga untuk pergi ke rumah Arham. Katanya sih ingin bertemu dengan Kenan. Padahal dia hanya memastikan jika Renal memang benar-benar tidak punya gandengan di luar sana. Boro-boro gandengan, orang nikah juga karena adanya insiden yang mengharuskan dia menikah. Coba saja kalau tidak? Masih men-jomblo mungkin sampai sekarang. Ganteng saja yang dia tonjolkan, tapi tidak dimanfaatkan. Sama saja bohong! Fasha menaruh dua gelas lemontea di atas meja ruang keluarga. Mereka memang sengaja tidak di ruang tamu karena kesannya lebih formal saja. Mereka kan hanya ingin main-main sambil bicara santai saja karena alasan dari Renal datang karena dirinya memang hanya ingin bermain dengan Kenan. Walau pada akhirnya, nyonya baru harus ikut. Rada tidak seru sih, karena Renal tidak bisa bebas karena sibuk dengan ocehan Elka juga. Arham yang baru saja keluar dari kamarnya langsung duduk di depan Renal dan Elka yang masih kaku saja. Mereka masih terkesan malu-malu kucing dan saling gengsi. Tidak seperti Fasha dulu, jika Arham tidak ada inisiatif maka Fasha yang akan turun tangan. Walau pada akhirnya Arham juga yang kewalahan. "Pada diem aja ni, nggak seru! Ceritain gimana malam pertama dokter Renal sama Mbak Elka? Seru nggak?" Tanya Fasha polos dengan memeluk nampan yang tadi ia pakai untuk membawa gelas berisi lemontea untuk kedua pasangan baru ini. Renal mendengus kesal, apa yang ia pikirkan ternyata benar. Pasti ujung-ujungnya mereka akan bertanya hal semacam ini. Dan Renal benar-benar jengah jika harus membahas masalah seperti ini dimuka umum. Hal seperti ini kan memang tabu dan tidak boleh diumbar. Apalagi bilang kepada kedua manusia di depannya ini. Rasanya hukumnya haram. Fasha dan Arham itu sama saja. Sama-sama ember bocor. Mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. Elka hanya bisa mesam-mesem sok malu-malu. Padahal aslinya malu-maluin walaupun tidak separah Fasha sih. Fasha itu polos dan lebih jelasnya urat malunya sudah putus. Atau mungkin dioperasi Arham kan bisa jadi. "Ih malu-malu gitu, Fasha dulu malah yang cari inisiatif duluan lho Mbak. Laki-laki suka gitu, sok jual mahal. Padahal dalam hati mah, dia mau. Cuma gengsi aja mau bilang. Tapi Mas Arham saja masih mending. Lebih parah dokter Renal kok, Mbak." Ucap Fasha jujur yang sudah jelas sekali jika memang benar adanya. Renal memang lebih parah dari Arham dalam hal kekakuan. Arham sedikit tertawa karena ucapan Fasha. Tuh kan, Renal kembali menjadi korban bully dari dua manusia yang mengaku padanya sebagai sahabat ini. Iya, sahabat! Sahabat yang paling bahagia jika melihat sahabatnya menderita. Sudah tahu Renal itu memang masih malu, kok ya masih saja dibahas. Mungkin Arham dan Fasha sedang mengajarkan kekuatan mental untuk menghadapi hujatan. Fasha dan Arham kan sudah biasa hujat haters tak bertanggung jawab. Tapi bagi Fasha, semakin banyak haters, maka semakin terkenal saja dia. Terkenal menyebalkan dan mungkin Renal juga akan bermetamorfosa menjadi haters juga karena terlalu lama tekanan batin gara-gara selalu dihujat pasutri kurang ajar ini. Renal kesal sih, tapi dia tidak tega jika harus menghujat manusia satu ini. "Ketawa aja terus, Ham. Jangan bikin kesabaranku habis ya. Aku ini orang paling penyabar di sini. Awas aja kalau stok kesabaranku udah habis, kelar hidupmu saat ini juga." Ucap Renal sambil mengambil gelas yang masih dingin kendati es-nya mulai mencair. Tapi lumayan, minum gratis untuk melegakan dahaga. Lalu menghilangkan amarah yang bercokol di d**a. Elka merasa jika Arham dan Fasha memang pasangan yang paling romantis dan ideal. Tidak tahu saja dulu, bagaimana gilanya Fasha setiap mendekati Arham. Sekarang saja dia rada waras semenjak ada Kenan. Malu mungkin jika masih saja suka kekanak-kanakan kendati sudah ada anak ditengah-tengah keduanya. Renal menoleh sejenak pada Elka. Dia tahu apa yang sedang Elka pikirkan tentang Arham dan Fasha. Semua orang juga menginginkan pasangan yang romantis. Tapi sisi romantis orang kan beda-beda. Renal menggenggam telapak tangan Elka pelan. Membiarkan detak jantungnya berpacu pada suasana ramai karena ributnya guyonan Arham-Fasha. Tapi Elka dan Renal punya cara sendiri untuk menyalurkan emosi satu sama lain. Bukan emosi marah-marah lho ya. Tapi emosi yang membakar hati tapi tidak teridentifikasi. Apa sih! Pokoknya itu, sulit diungkapkan dengan kata-kata. Fasha diam sejenak, lalu dia memandang sang suami yang ada di depannya. Memberi kode pada Arham untuk melirik ke arah Elka dan Renal yang hanya bisa saling menggenggam tangan satu sama lain. Memang benar ya, cinta itu tidak perlu dilihat banyak orang. Cukup hati kita yang saling memastikan dan di mana hati bisa berjalan beriringan. Cinta itu bukan datang karena tiba-tiba, tapi karena terbiasa. Terbiasa melihat, terbiasa bersama, atau memang terpaksa terbiasa juga akan membuat jatuh cinta dan simpati itu ada. "Uh, romantis amat sih dokter Renal sama Mbak Elka. Kok sama aku enggak sih," ucap Fasha yang langsung meledek dengan gencar. Rasanya tanpa mengejek hidup Fasha kurang lengkap. Elka hendak menarik telapak tangannya, tapi Renal malah menggenggamnya kuat-kuat. Melarang Elka untuk menjauh darinya. "Emang situ siapa?" Ucap Renal langsung menembus relung hati yang paling dalam. Rasanya tu sakit tapi nggak berdarah. Ya tahu kan rasa sakitnya gimana? Fasha dan Arham mendengus, oke mereka sekarang hanya diam. Diam bukan berarti mereka kalah, tapi mereka hanya memberi kesempatan untuk Renal dan Elka untuk menang. Sebuah ide gila terlintas dalam otak Arham lalu dia mulai tersenyum-senyum senang. "Daripada boring, mending kita lomba aja. Lomba ciuman, kan kamu udah punya pasangan kan Ren." Ucap Arham girang namun Renal sudah mendatarkan wajahnya kesal. "Kenan, Om datanggggg.." ucap Renal yang langsung nyelonong pergi ke arah kamar Kenan yang tak jauh dari tempatnya duduk. Meninggalkan Arham-Fasha dan juga istrinya sendirian. Biarkan saja mereka hanya bengong. Itu hanya taktik Renal untuk cabut dari situasi yang paling tidak mengenakan seperti tadi. Selamat dunia akhirat Ya Rabb. Kalau nggak kabur, bisa-bisa otak Arham bekerja lebih baik lagi. Baik bikin aku cepet mati karena serangan jantung. ---oOo--- Yang awalnya hanya sekedar coba-coba untuk mencari jalan baru, eh malah terjebak di sana. Bukan karena tersesat atau bagaimana, mobil yang awalnya baik-baik saja kok tiba-tiba langsung mogok begitu saja saat mereka melewati jalanan sepi dengan intensitas orang yang lewat hanya sedikit. Suasana seakan juga mendukung untuk segera khilaf. Hujan semakin deras, yang awalnya hanya rintik-rintik berubah menjadi kejam karena semakin menghujam bumi dengan dahsyatnya. "Sial, malah hujan lagi. Kenapa juga ini mobil pakai acara mogok segala. Padahal tadi baik-baik aja," ucap Renal sambil memukul stir mobilnya karena kesal. Bukan karena apa-apa, hanya saja jika mereka terjebak dalam keadaan berdua begini rasanya udara semakin dingin saja. Dan oksigen semakin menipis. Suara petir mulai terdengar, hujan kali ini bukan hujan main-main. Hujan yang memang ada campuran halilintar sebagai penambah kesan mencekam dikala mendung lalu turun air hujan dari langit. Elka menutup telinganya rapat-rapat karena reflek. Wajahnya sedikit takut, sejak tidak ada orang tuanya. Tidak ada orang yang benar-benar bisa melindungi dirinya. Memang benar dia tinggal bersama dengan pamannya, tapi tetap saja rasanya berbeda. Satu kali kilatan lagi, dan Elka memejamkan matanya saat suara guntur semakin membabi buta. Namun, tiba-tiba saja darahnya berdesir karena ada telapak tangan lain yang menutup indra pendengarannya. Dan telapak tangan itu adalah tangan Renal yang memasang wajah datar. "Kita pindah jok belakang aja. Kayanya hujannya bakalan lama dan mungkin kamu sedikit nggak nyaman di depan," ucap Renal yang kini mulai beranjak ke jok belakang karena memang misi mereka adalah untuk menenangkan pikiran lalu menikmati hujan dengan suara gunturnya yang cukup besar. Elka mengikuti Renal untuk ke jok belakang mobil mereka. Tidak ada yang memulai bicara karena masih fokus pada cuaca yang sedang tidak bersahabat. Satu guntur kembali terdengar, membuat Elka spontan langsung memeluk Renal. Menutupi wajah cantiknya dibalik d**a bidang Renal karena takut. Sedangkan Renal hanya mengelus kepala Elka tanpa penolakan atas pelukan yang Elka berikan padanya. "Rasanya masih sama seperti awal kita pelukan ya, Mas. Masih hangat dan menenangkan. Aku pikir badan kamu cuma tipis alias krempeng. Atau orang jawa bilang, lunglit atau balung karo kulit. Eh ternyata," ucap Elka sedikit tersenyum samar tanpa melepas pelukannya pada tubuh Renal yang memang enak untuk dipelukin. Renal melepas pelukannya, lalu menatap Elka lama sekali. Renal memang suka sekali memakai kontak mata untuk sekedar menyampaikan apa yang dia inginkan atau dia kehendaki. Sepintas Elka benar-benar terpesona dengan wajah itu, apalagi saat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Bibir keduanya menyatu dengan rasa hangat yang menjalar dalam diam. Mereka tak banyak bicara, namun ada saatnya mereka saling menyatu. Diam-diam Renal tersenyum disela ciuman itu berlangsung. Tak banyak yang dia mau, hanya saja Elka bukan lagi kebutuhan sekunder, tapi sudah bermetamorfosa menjadi kebutuhan primer. Elka penting, bahkan sangat penting walau Renal tak bicara apa-apa. Untuk beberapa saat, mereka larut dalam candu, tapi setelah itu mereka saling melepas dan tidak lagi saling menatap. Renal malu pada keadaan yang seakan mengharuskannya untuk diam. Padahal ada banyak kata yang ingin dia ucap tapi bibirnya terlanjur kaku. Rasanya tidak ada kata yang pas untuk bicara apapun pada Elka. "Mas pernah duduk di dalam mobil berdua dengan seorang perempuan? Yang jelas sebelum aku," tanya Elka yang membuat Renal menatapnya intens. Apa ini sebuah pertanyaan jebakan atau apa. Bukankah perempuan selalu saja mencari-cari pertanyaan yang sudah tahu itu terkadang akan menyakitinya. Eh, tapi tetap nekad juga untuk bertanya. Ini semacam menggali lubang pemakaman sendiri. Arham pernah memberi petuah padanya soal beberapa pertanyaan perempuan yang merupakan jebakan. Mereka seakan penasaran dengan hal yang sebenarnya tapi takut sakit hati. Lalu dia harus bagaimana? Renal kan masih awam masalah itu. Memang sih dia sering sekali gonta-ganti teman kencan. Tapi tidak berarti, perempuan yang Renal ajak jalan itu selalu bertanya hal yang rasanya tidak penting begitu. Lagipula Renal juga sering sekali pergi tanpa kabar jika dia sudah merasa bosan atau cukup sekedar mengenal saja. Bahkan perempuan yang Renal dekati juga belum tentu naik ke tahap pacaran. Karena tahu sendiri, Renal belum mau berkomitmen. Tapi itu dulu, sekarang saja sudah jelas dia berkomitmen dengan perempuan tapi tarafnya lebih tinggi karena berkomitmen di depan Tuhan. "Kenapa kamu perlu tau? Apa itu cukup menganggu rumah tangga kita? Toh, aku hidup dan bersama kamu juga di masa depan. Bukan hidup di masa lalu," tandas Renal yang memang benar. Laki-laki satu ini memang selalu mengandalkan otaknya ketimbang hatinya. Tapi bukan berarti Renal tidak pernah memakai hati lho ya. Elka mendengus, perasaan Renal itu berkepala batu sekali sih. Dia ini memang suka sekali membuat orang sekitar merasa jengkel walau pada kenyataannya semenyebalkannya Renal tidak separah semenyebalkannya Arham. "Ya, aku kan cuma mau tau aja, Mas. Seberapa sering kamu berdua sama perempuan di dalam mobil." Ucap Elka dengan nada merengek. Hujan yang tadinya bernuansa romantis berubah menjadi rengekan manja Elka dan kebungkaman Renal. Renal melirik Elka sekilas tapi masih dalam posisi diam saja. Dia ini bukan sumber informasi jadi jika bukan hal yang terlalu penting, maka Renal sungkan menjawab. Karena pada dasarnya dia benci dipaksa walau status mereka sudah naik menjadi pasutri es batu. Dan pada akhirnya Elka hanya bisa diam karena terlalu tidak mau peduli pada Renal yang memang kurang ajar. Biarkan saja nanti malam laki-laki itu memeluk guling saja. Biar tahu rasa! "Mas, kirain kamu bakal bujuk aku lho. Kok malah diem aja sih?" Ucap Elka dengan wajah yang menekuk sempurna. Tidak ada dalam kamus Renal yang menyatakan untuk membujuk perempuan ketika marah. Meski itu istrinya sendiri. Membuat kesal saja memang. Untung ganteng! Untung sayang! Renal tertawa sejenak, "pengen banget aku bujukin kamu? Lagian apa pentingnya sih pertanyaan kamu itu, lagian aku bukan laki-laki yang suka terjebak kenangan." Ucap Renal dengan santai. Memang semua itu rasanya tidak terlalu penting untuk hanya sekedar dibahas juga. "Tinggal di jawab aja kok. Apa susahnya sih," ucap Elka dengan wajah kesalnya. Masih saja mereka berputar-putar dalam pertanyaan yang sama. Renal mendengus, "cuma pernah sama Mama dan.. Fasha!" Ucap Renal dengan nada cuek. Kalau dengan Fasha sih tidak hanya satu mobil. Tapi Renal juga yang menunggu istri sahabatnya itu lahiran sampai mengurus Kenan juga Renal. Dan jawaban itu membuat Elka hanya bisa mengangguk saja. Kok bisa satu satu mobil sama Fasha. Katanya dokter Arham itu orangnya rada galak jika masalah istrinya. Apa dulu sebelumnya mereka ada hubungan kok dekat banget kayanya. ---oOo---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD