bc

Make Me Breathless

book_age16+
147
FOLLOW
1K
READ
age gap
drama
lighthearted
mystery
female lead
realistic earth
supernature earth
special ability
colleagues to lovers
friends with benefits
like
intro-logo
Blurb

•Romance dengan sedikit bumbu Fantasi•

•SPIN-OFF 'TOUCH IN HEAT'•

16+

Aku mengenalnya sebagai pemalas yang beruntung. Harold bisa jadi cenayang tanpa memiliki kemampuan hebat, sedangkan aku harus berusaha mati-matian untuk bisa mewujudkannya.

Suatu hari, aku melihatnya menangis di depan lahan kuburan yang kosong tanpa nisan. Entah siapa yang dia tangisi, tapi dia terlihat sangat pilu, sangat terpukul.

Padahal aku berniat menjauhinya, tapi takdir mengikat kami. Haaah, persetan dengan takdir, yang mengikatku adalah Harold sendiri. Dia yang membuatku lupa bernapas.

chap-preview
Free preview
Suatu hari
Cerita ini memiliki memiliki dua sudut pandang dari dua tokoh berbeda, saya akan kasih tanda berupa nama dari tokoh yang sudut pandangnya dipakai agar tidak membingungkan. [ N A T A L I E ] Malam yang indah, langit bertebar butiran kilauan bintang dan manik besar bulan, mengundang siapa saja untuk menengadah melirik ke atas. Oh, tidak. Saat ini aku menengadah bukan untuk menatap benda-benda galaksi itu. Aku melihat spirit berwujud burung yang sedang melarikan diri dan berusaha menangkapnya. “*sshole! You! Get down, j*rk!” sumpah serapahku. “Jangan mengancamnya, dia malah makin tidak mau turun!” balas rekan kerjaku, Aliza. Dia tampak kehabisan bahan bakar dan udara dan tak kuat untuk mengikuti spirit. “Tak perlu pikirkan perasaannya, dia tak mengerti bahasa kita,” protesku. Spirit berbentuk burung elang itu mengeluarkan teriakan gagak yang berbayang dengan teriakan beruang. Ya, memang tidak masuk akal. Tidak ada yang masuk akal kalau menyangkut hantu. “Apa kita mesti terus mengejarnya?” tanyanya yang sudah tercekat napasnya. Aku mengulurkan tangan, benang spirit yang biasanya muncul tidak keluar. Artinya jarakku dan jaraknya terlalu jauh untuk terhubung. Dia memaksa kami memasuki area hutan, aku kembali menyumpah saat spirit itu menghilang. Manikku menyisir sekitar dengan teliti, telingaku mencoba menangkap setiap suara. “Aku akan cari ke seberang,” kataku pada Aliza yang duduk di tanah sambil ngos-ngosan, dia mengibaskan tangannya lemas, mempersilakanku meninggalkannya. Udara malam tidak begitu dingin berhubung masih musim panas, tapi dadaku sesak karena hari ini aku memakai swing coat dengan kancing yang terpasang semua di area d**a. Aku tidak bisa melepasnya di sini, di tengah tugas, di area publik karena aku tidak mengenakan apa-apa selain bra di dalam. Apa? Kalian mau bilang cara berpakaianku salah? Well, i don't care! Aku sudah mencapai ujung hutan dan ada pemakaman di depan. Sepertinya aku berada di sekitar The Elms st. Tak begitu jauh dari perkumpulan. Baru aku berbalik hendak menghampiri Aliza, aku mendapati seorang laki-laki yang duduk bersimpuh, menghadap lahan kosong tanpa nisan. Bahunya lemas tak bersemangat, wajahnya juga menunduk dalam. Dia bersedih pada siapa? Tidak ada batu nisan di hadapannya .... Laki-laki bersurai hitam itu mengangkat kepalanya, langsung menatap ke arahku. Seketika aku terdiam mendapati air mata yang mengguyur pipinya dan betapa pilu ekspresi yang dia tunjukkan. Sampai sesedih itu dia pada kuburan yang belum berpenghuni? Tak mau ikut campur, aku berjalan pergi kembali memasuki hutan. Aliza duduk bersandar pada pohon saat aku sampai di sana. “Ketemu?” “Tidak. Kita gagal.” Dia menghela napas berat. “Tidak. Kita tidak gagal.” Gadis bersurai hitam sepundak itu mengeluarkan tangan kiri yang dia sembunyikan stoples, menunjukkan batu magnetit geometris yang menyala keunguan, tanda kalau batu mineral itu sudah menyerap spirit. “Kau—“ Aku memukul lengan atasnya setelah itu mengacungkan jempol. “Good work!” “Dia berubah menjadi bayangan pohon ternyata. Aku hampir menginjaknya.” “Mari kita kembali dan akhiri masa percobaan ini,” kataku dengan lelah. “Yang masih dalam masa percobaan itu kau, lupa?” “Oh, kau juga nyaris dipecat dan akhirnya harus melanjutkan masa percobaan bersamaku, lupa ya?” sarkasku. Aliza merotasikan mata. “Apa kebab chads’s masih buka ya?” gumamnya tidak menghiraukan omonganku. *** Lulus dari masa percobaan dengan peringkat bagus, mendapat sertifikat, juga dipromosikan oleh perkumpulan merupakan suatu kehormatan. Namun, tidak menjaminku untuk segera mendapat klien. Apalagi aku terbilang masih baru. Sudah tiga minggu lebih aku pindah ke London, menyewa sebuah rumah di ujung jejeran terraced house yang dijadikan kantor sekaligus tempat tinggal di lingkungan padat penduduk. Memang ada beberapa yang datang, menanyakan apa yang bisa kulakukan, tapi belum ada yang benar-benar tertarik untuk menyewa. Yah, aku tak bisa berbuat apa-apa soal itu. Inilah pahitnya proses, hanya yang bertahan yang mendapatkan hasil. Sedangkan yang menyerah harus memulai dari awal lagi. Ibuku yang juga cenayang menanggung biaya kehidupanku di sini selagi aku belum mendapat klien. Dia mempertegas agar aku tidak mengutang pada siapa pun dan meminta uang padanya. Off course! Mau ditaruh mana wajahku kalau mengutang? Bagaimana dengan ejekan tetangga? Tenang saja, aku sudah mempertegas pada mereka yang menyindir soal pekerjaanku dengan teguran manis. Aku bersiap dengan pakaian cenayangku; kaos putih, blazer kotak-kotak hitam-coklat s**u, rok span hitam selutut, dan boots kulit abu-abu gelap semata kaki. Setelahnya berjalan menuruni tangga dan keluar, berbelok ke kiri dan masuk ke restoran kecil, Brunch, yang tepat berada di samping jejeran rumah. Pemiliknya adalah seorang pria yang sudah setengah abad lewat umurnya. Dia orang yang terlalu baik. “Mornin!” tegurku yang langsung duduk di bangku biasa, menghadap jendela yang menampilkan menara jam Crouch End yang terimpit di antara tiga arah jalan raya. Pria dengan topi baret cokelat yang menutupi ubannya itu langsung menghampiri. “Good morning, Nona Natalie. Bagaimana hari ini?” Aku menarik senyum ala kadarnya, menunjukkan keadaan hari ini. “Not good, but thats okay.” “Pesan yang biasa?” “Yep, Sir John. Yang biasa.” Dia membuatkan jus buah bit dengan pisang lebih dulu untukku. Jus ini minuman yang tepat untuk menjaga pikiran dan mental tetap waras menunggu klien. Tak lama Sir John menaruh banyak potongan tomat ceri yang mengelilingi sayuran salad dan beberapa bulatan kecil keju mozarella. Tidak perlu berlama-lama menghabiskan sarapan, aku langsung membayar dan hendak kembali ke rumah. “Tunggu sebentar, Nona.” Aku berhenti, menatap Sir John yang baru saja selesai bertelepon dengan seseorang lewat telepon meja. “Kau punya klien.” Aku mengerjap. “Aku tidak punya klien sekarang.” “Bukan, maksudku, ada seseorang yang ingin menyewa jasamu.” Otomatis aku mengerutkan dahi. Sir John menuturkan kalau ada saudaranya yang tinggal di perumahan di depan sekolah Campsbourne, Nightingale Ln., tujuh belas menit dari kantorku dengan berjalan kaki. Namanya Sir Rumphless. Pria tua lajang yang menghabiskan sisa hidup tuk mengurus kebun orang. Pria itu bercerita kalau belakangan ini rumahnya suka didatangi makhluk tak kasat mata di malam hari. Mulai dari jam dua belas lewat, dia akan mendengar suara panci yang ditaruh di atas kompor, suara air mendidih, sampai suara seseorang memotong bahan-bahan di kayu talenan. Namun, paginya dia tidak menemukan perabotan yang rusak, melainkan beberapa makanan yang sudah tersaji di meja. Sir Rumphless tidak berani memakan makanan itu karena takut beracun atau dia akan kesurupan setelah menyantapnya nanti—konyol sekali. “Dia tidak memintamu untuk datang, tapi aku menyarankannya menyewa jasamu untuk mengusir makhluk itu dan dia setuju,” lanjut Sir John. Kedengarannya seperti Bogart, spirit kerdil jelek yang suka menyelinap ke dapur, membersihkan perabotan di sana sampai menyiapkan makanan. Tipe spirit yang mudah untuk diatasi. “Oke. Aku akan datang. Kapan dia ingin aku mengatasinya?” “Malam ini juga. Dia tidak tahan dengan aroma makanan yang menggiurkan sekaligus mencurigakan itu.” Well, Bogart dasarnya spirit netral jadi mereka tidak meracuni siapa pun dengan makanan yang dibuat. Pulangnya, aku menjalani hari seperti biasa dan istirahat lebih awal. Sebelum aku berangkat, aku menelepon Aliza sekedar menanyakan perihal Bogart semisal ada hal yang belum kutahu. “Mereka jarang bertindak agresif, paling parah cuma melempari kita dengan panci atau kuali kalau mereka sudah nyaman berada di dapur klien tersebut dan menolak untuk pulang.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.7K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.6K
bc

Romantic Ghost

read
162.7K
bc

Time Travel Wedding

read
5.5K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.2K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
4.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook