[Bohong kamu, Mil? Katanya gebetan baru kamu ganteng. Mana fotonya?] tanya Minah di grup w******p.
[Tau, tuh. Palingan dia lagi ngibul,] sambung Leha disisipi emot tawa.
Keduanya tinggal satu kampung dengan Aa Toni. Kami hanya bisa bertemu jika keduanya libur bekerja di pabrik.
[Belum sempet, Gaes. Tar aja kalau ada kesempatan.]
[Kamu harus gercep, Mil. Jangan sampai keserobot si Rika,] balas Minah.
[Iya, tuh bener. Kamu tau sendiri dia kek gimana. Matanya langsung ijo kalau liat cowok cakep dikit. Si Asep aja dipepet terus biarpun udah putus,] imbuh Leha.
[Kalian belum tau aja cowok itu kek gimana orangnya. Dingin bet kek es batu, Gaes. Mana kalau ngomong ketus mulu lagi.]
[Masa, sih? Eh, tapi jangan-jangan ... ini karma buatmu, Mil,] balas Minah lagi.
[Karma? Karma kenapa?]
[Eh, iya tau. Bener juga kata Minah. Bisa aja ini karma. Kamu nyadar nggak, sikap kamu ke Asep gimana? Persis kek sikap cowok itu, kan? Dingin dan ketus,] sambung Leha.
Hah? Apa iya karma?
[Berapa jauh cowok itu tinggal dari rumahmu? Beda rt?] tanya Leha lagi.
[Depan mata alias tetanggaan,] jawabku disisipi emot tawa.
[Wkwkwk, salah pilih tempat tuh cowok. Bisa-bisa, dia mati keracunan gombalan kamu,] seloroh Minah.
[Haha, bener. Pasti si Mila tp-tp terus tiap hari,] sambung Leha.
[Awas kalian! Sekarang ngetawain, tar juga ngiri. Huh!] balasku kemudian mengakhiri obrolan meski keduanya masih asyik meledek.
Lekas kuganti pakaian tidur dengan pakaian olahraga, kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Menurut informasi yang kudapat dari Bapak, Mas Mustafa itu terbiasa lari pagi ketika di kota. Aku yakin, di sini pun dia akan melakukan hal yang sama. Maka dari itu, ini saatnya untuk lebih gencar melakukan pendekatan.
Sabodo teuing (bodo amat) mau dibilang genit. Pokoknya gaaass!
"Eh, eh! Mau ke mana kamu, Jum?" Ibu yang sedang membuat adonan bakwan mendekat ke sini.
"Mau jogging, Bu. Biar sehat."
"Biasanya juga merem lagi kalau habis subuhan," komentar Ibu, lalu menunduk sembari mengendus-ngendus tubuhku. "Ngabisin parfum berapa botol kamu? Wangi bener. Mau jogging apa mau jualan minyak wangi?"
"Yaa, daripada bau iler." Aku tertawa.
"Emangnya kamu mandi?" Ibu menatapku curiga.
"Wah, wah, sembarangan." Aku membuang muka sambil menggeleng. "Ya mandilah, Bu. Tapi mukanya doang." Aku tergelak, kemudian dengan cepat menghindar ketika Ibu bersiap mendaratkan cubitan.
"Bukannya bantuin Ibu goreng bakwan, malah pergi jogging."
"Ini lebih penting, Bu. Biar Ibu sama Bapak cepet-cepet punya mantu." Aku mengedipkan sebelah mata dan tersenyum, kemudian berlari keluar sambil tergelak ketika melihat Ibu hendak mendekat.
???
Kulirik jam tangan, pukul setengah enam. Cahaya di ufuk timur mulai terlihat meski belum sepenuhnya. Aku lari di tempat di depan halaman rumah sembari menunggu sang pujaan hati keluar. Merasa bosan, aku pun memilih berlari sedikit demi sedikit, kemudian berhenti di pos ronda yang terletak di dekat gang.
Senyum ini seketika mengembang melihat dia muncul dari kejauhan. Aku masuk ke dalam gang untuk bersembunyi darinya yang tengah asyik berlari ke sini dengan earphone bluetooth terpasang di telinga.
"Jogging, Mas?"
"Waduh!" Dia terjingkat kaget dan spontan bergeser ketika aku tiba-tiba muncul dari gang dan menyapanya.
"Gitu amat ekspresinya, Mas. Kek ngeliat demit aja," gerutuku sembari menggaruk pipi.
"Kamu sendiri yang muncul tiba-tiba begitu. Kek jelangkung aja," cicitnya, kemudian kembali melanjutkan joggingnya.
"Eh? Tunggu, Mas!" seruku seraya berlari mengejar. "Bareng, ya." Aku tersenyum, tapi dia hanya melirik sekilas dengan ekspresi dinginnya.
Setiap kali aku mengimbangi larinya, dia malah semakin menambah kecepatan. Alhasil, aku yang tak terbiasa lari pagi ini sampai kepayahan dan ngos-ngosan. Aku berhenti seraya menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Mencoba mengatur pernapasan yang seolah mau habis saja.
"Itu dia ... mau jogging ... apa ... lari maraton?" gerutuku terputus-putus karena napas yang masih belum beraturan.
Dia berhenti berlari, menoleh padaku dan menunjukkan senyum miringnya.
Somplak! Dia malah senyum ngejek. Awas aja!
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian berlari mengejarnya lagi dengan mengerahkan seluruh tenaga. Saking semangatnya, aku sampai tertawa puas ketika berhasil mendahuluinya, tapi beberapa saat kemudian, aku melongo ketika melirik ke belakang dan tak menemukan dia di sana.
"Lah, lah ... kok ngilang?" Aku mengucek-ngucek mata. "Masa iya diculik kelong wewe pagi-pagi begini?"
Aku mengentakkan kaki kesal, kemudian duduk bersila di jalanan aspal seraya mengelap keringat di kening dengan ujung kaus lengan pendek ini.
"Pasti dia sengaja belok ke gang. Dasar! Udah bela-belain lari pagi, malah ditinggalin. Untung sayang," gerutuku dengan wajah cemberut.
Belum lama terduduk sendirian di sini, mataku seketika membulat ketika melihat Asep tengah mendekat. Dia memang rajin olahraga meski perawakannya tak seatletis tetangga baruku itu.
"Mila!" teriaknya dari kejauhan dengan senyuman riang.
"Gawat." Bergegas aku bangun, menepuk-nepuk celana, kemudian berlari cepat untuk menghindarinya.
"Mil! Tunggu, Mil!"
Semakin aku mendengar suaranya kian mendekat, semakin aku menambah kecepatan sambil mengigit sudut bibir dengan jantung berdetak kencang.
"Ayank Mila!"
Matilah aku. Tolong aku dari predator ini, Pak!
"Mil!"
Aku terkesiap dan spontan berhenti ketika Asep berhasil meraih bahu kiri, lalu berdiri tepat di depanku sambil memamerkan senyum menawannya itu. Eh?
Kenapa aku bisa oleng sebentar barusan lihat senyumnya itu? Ish!
"Apa?" tanyaku cuek.
"Tumben jogging," komentarnya seraya mengelap keringatnya dengan handuk kecil.
"Kenapa? Nggak boleh? Emangnya kamu doang yang pengen sehat?"
"Ya, nggak apa-apa. Malah bagus itu, Yank. Kita bisa jogging bareng terus." Dia malah tertawa kecil sambil menggaruk kepala.
"Jangan panggil, Yank! Panggil nama kalau kamu nggak mau aku pukul," gertakku, tapi dia tidak takut sama sekali. Malah sengaja menggoda dengan mengedipkan sebelah mata disertai senyum yang memperlihatkan lesung pipitnya.
"Eeew." Aku bergidik geli, kemudian berlari lebih dulu. Meskipun, pada akhirnya dia mengejar dan kami pun berlari bersama menyusuri jalanan kampung. Terkadang kami melewati area persawahan, terkadang kebun, lalu rumah-rumah warga.
"Maaf soal semalam."
"Kenapa emangnya semalam?"
"Aku nggak bisa jemput kamu. Padahal, kan, udah janji."
"Ya nggak papa. Aku juga nggak minta, kan?" sahutku santai.
"Aku takut kamu marah. Habisnya, pesan sama teleponku nggak direspon satu pun."
"Harus gitu?" Aku mendelik, tapi dia tetap memberikan senyum ramahnya, kemudian menatap lurus jalanan kampung.
Manis emang senyumnya. Tapi sayang ... terlalu diumbar buat naklukin cewek-cewek di luar sana.
???
"Laper, ah," gumamku pelan. Berhenti berlari dengan napas ngos-ngosan seperti habis dikejar anjing.
"Tuh, ada bubur Mang Pahru!" Asep menunjuk warung kecil di ujung jalan. "Makan bubur, yuk!" ajak Asep dengan penuh semangat. Dia kelihatan seperti tidak lelah sama sekali.
"Nggak bawa duit."
"Tenang, biar calon suamimu ini yang traktir."
Aku mendelik, tapi dia justru tertawa.
"Udah ayo!" Tanpa aba-aba, dia langsung meraih pergelangan tangan dan menyeretku menuju warung bubur sambil tertawa riang.
"Buburnya dua, Mang," pesanku. Sementara, Asep sudah duduk di kursi plastik seraya mengotak-atik ponsel.
"Mau makan bubur?"
"Bukan, Mang. Buat balurin ke wajah tetangga tukang nyinyir."
Mang Pahru tertawa sampai gigi-gigi ompongnya terlihat jelas. "Si Neng bisa aja ngelawaknya."
"Lagian, Mang Pahru ini pertanyaannya ada-ada aja." Aku ikut tertawa sembari merapikan ikatan rambutku yang mulai turun.
Aku menoleh, gerakan tangan ini terhenti ketika mendengar bunyi fitur kamera ponsel.
"Cantik." Asep tersenyum.
???