Bad Mood

1152 Words
"Cantik." Asep tersenyum. "Hapus nggak?" Aku mendekat dengan wajah cemberut. Asep menggeleng. "Buat nemenin tidur biar bisa mimpi indah." "Hapus, Asep! Siniin hapenya!" Aku berusaha merebut ponsel, tapi dia berdiri seraya mengangkat tangannya ke atas dan tertawa. "Jangan rese! Siniin nggak?" Aku melompat-lompat agar bisa menjangkau ponsel itu. "Eheem!" Kami sama-sama menoleh ketika mendengar deheman dan ternyata itu Mas Mustafa. Melihatnya ada di sini, bergegas aku menjauhi tubuh Asep saat sadar kami berdekatan hampir tanpa jarak. Aku terdiam beberapa saat. Hingga akhirnya, muncul sebuah ide. "Oh, ya, Sep. Kamu mau tau alasanku sampai sekarang nggak pernah terima lamaran kamu?" Asep menatapku dengan kening berkerut dalam. "Karena pacar cadanganku banyak?" Aku menggeleng. "Karena aku udah punya calon suami." "Hah?" Asep langsung melongo seketika, kemudian tertawa. "Bohong kamu. Aku nggak pernah lihat kamu deket banget sama cowok kecuali Toni. Jangan bilang kalau kamu mau jadi istri keduanya." "Sembarangan. Ya nggaklah!" bantahku cepat. "Terus, siapa calon suami kamu? Di mana dia? Orang mana? Bawa sini aku mau liat." Asep terlihat kesal. Aku tersenyum miring, kemudian berbalik dan mendekati Mas Mustafa yang sedang berdiri membelakangi kami. Dia terlihat terkejut ketika lengannya tiba-tiba digandeng, tapi aku tak peduli. "Ini calon suamiku." Aku tersenyum, lalu melirik keduanya bergantian. Baik Asep maupun pria di dekatku ini, mereka sama-sama melongo untuk beberapa saat. Tangannya yang kugandeng hendak dilepaskan, tapi aku malah semakin mengeratkan pegangan. "Tetangga baru ini calon suamimu?" Aku mengangguk yakin. Detik berikutnya, keningku berkerut ketika Asep tiba-tiba tertawa sambil menggeleng. "Kenapa malah ketawa?" "Mila, Mila. Kamu tuh nggak bakat bohong. Mana mungkin dia calon suami kamu. Orang dia udah punya calon istri, kok." Hah? Aku seketika mendongak menatap Pria berhidung mancung dengan jambang menghiasi rahang, tapi dia malah membuang muka. Aku membeku dan tak melawan ketika tangan ini dilepas, lalu dia mendekat pada Mang Pahru, mengambil bubur pesanannya dan pergi begitu saja. "Mil?" Benarkah dia sudah memiliki calon istri? Itu artinya, aku sudah kalah sebelum bertarung? "Mila? Hey!" Aku tersadar dari lamunan ketika Asep menjentikkan jemari di depan wajah ini. "Kenapa?" Asep menatapku khawatir. "Tadi ... yang kamu bilang tadi beneran?" "Soal calon istri Mas-mas itu?" Aku mengangguk pelan. "Ya benerlah. Orang dia sendiri yang ngomong. Kemarin itu aku sempat ketemu dia pas lagi nyervis motornya ke bengkelku. Kenalan bentar dan pas kutanya dia punya pacar nggak, eh ... dia bilang udah ada calon istri." Aku menelan ludah pahit. Kenyataan ini seolah menamparku agar terbangun dari mimpi. Benar kata Ibu, jangan terlalu berkhayal tinggi. Mana pantas aku dengan pria tampan juga mapan sepertinya. Siapa aku? "Mil?" Asep menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Aku membisu. Rasanya, untuk menggerakkan kaki saja sulit. "Duduk sini." Asep mendorong bahu ini pelan, lalu mendudukkanku di kursi. "Kita makan bubur aja. Tadi katanya laper." Asep meletakkan semangkuk bubur di meja di hadapanku. "Udah jangan sedih. Kan, masih ada aku yang setia nungguin kamu." Asep mencondongkan wajahnya padaku sambil tersenyum. Biasanya, aku akan kesal dan menghardiknya, tapi kali ini aku tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Angan yang sudah telanjur melambung tinggi ini seketika jatuh dan luluh lantak dalam waktu singkat. Tertolak sebelum sempat menyatakan perasaan. "Mel?" Aku menoleh. "Ayo dimakan itu buburnya." Aku menggeser mangkuk bubur yang belum disentuh sama sekali ke hadapan Asep, lalu berdiri. "Kamu aja yang habisin bubur itu. Aku mau pulang." "Eh? Mil!" serunya di belakang sana ketika aku sudah berjalan cepat meninggalkan warung bubur. "Mila!" Aku berlari lebih cepat lagi dan memilih jalan pintas mendengar Asep masih berteriak memanggil. Ketika tiba di rumah, Ibu dan Bapak tengah sarapan. "Sini sarapan, Jum!" panggil Ibu, tapi aku hanya menggeleng sebagai jawaban dan terus berjalan cepat menuju kamar. "Jum?" panggil Ibu sesaat sebelum pintu kamar kututup dan dikunci. Kuempaskan punggung di kasur, termenung beberapa saat memandang langit-langit kamar. Perkataan Asep soal calon istri dari Mas Mustafa itu kembali terngiang-ngiang. "Aaargh! Ngeselin, ngeselin, ngeselin!" Aku memukul-mukul ranjang dengan geram. "Kalau kayak gini, kan, aku nggak bisa maju terus. Masa iya, godain cowok yang udah punya calon istri? Tar dibilang si valak lagi." Kuhela napas panjang, lalu meraih guling dan memeluknya erat. "Jadi males ngapa-ngapain. Nggak mood. Kesel!" Aku masih menggerutu. "Jum! Jumilah!" Ibu mengetuk pintu kamar ini. "Iya!" Aku beranjak bangun, kemudian berjalan lesu menuju pintu. Ibu menatapku dengan keningnya yang berkerut dalam ketika pintu sudah dibuka. "Kenapa kamu, pulang-pulang jogging malah manyun? Dipanggil ibu juga nggak nyahut." "Maaf," ucapku sembari tersenyum kaku dan menggaruk kepala. "Ada apa?" "Nggak apa-apa. Cuma lagi kesel aja." "Ya udah, ayo sarapan. Bakwannya keburu nggak garing lagi itu." "Iya, aku mau mandi dulu, Bu. Bau keringet." Aku menghidu aroma tubuh sendiri. "Ya udah." Ibu berlalu pergi meninggalkan kamar ini. ??? Sejak tahu dia sudah memiliki calon istri, seharian aku merasa bad mood. Sebenarnya, bukan salah dia juga. Harusnya, aku lebih dulu mencari info lebih jauh sebelum melancarkan jurus-jurus. "Tumben Bapak belum berangkat?" Aku berjalan mendekati Bapak yang sedang menyeruput kopi di depan televisi. "Nungguin kamu. Biar sekalian bareng berangkatnya. Kamu udah mau jalan kan?" "Udah, Pak. Ayo!" Bapak mengangguk, kemudian meletakkan gelas kopi di meja dan berdiri. Setelah berpamitan pada Ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang, kami pun kembali ke depan. "Kamu kenapa, Jum?" Aku yang tengah duduk seraya mengikat tali sepatu, mendongak sebentar pada Bapak, lalu menunduk lagi. "Nggak apa-apa, Pak." "Kamu itu, sudah seperti sama siapa saja. Kami ini orangtuamu. Mana bisa kamu bohong. Ibu dan Bapak bisa lihat perubahan kamu. Ada apa?" "Nggak apa-apa, Pak. Cuma bete aja. Biasa, paling mau datang tamu bulanan. Ayo berangkat, Pak!" ajakku sambil tersenyum. Bapak mendorong motor keluar pagar kayu, sedangkan aku mengekori di belakang. Bertepatan dengan mesin motor yang sudah dinyalakan, Mas Mustafa keluar. Kali ini dia terlihat lebih rapi dengan penampilan semi formal. Kemeja abu polos dan celana bahan model chino yang membalut tubuhnya semakin menambah pesona. Aduhai gagahnya mas ganteng. Sayangnya ... dia jodoh orang, huft. Pria itu mengangguk dan tersenyum ramah pada Bapak yang menoleh padanya. "Mau berangkat, Mas?" tanya Bapak. "Iya, Pak. Mau ngontrol pabrik di kota," jawabnya lembut. Ish, beda banget kalau dia lagi ngomong sama aku. Curang! Dia menoleh padaku. Tatapan mata kami sempat bertemu, tapi aku sudah lebih dulu membuang muka yang sedari tadi memasang raut wajah cemberut. "Ayo, Pak, berangkat!" ajakku dan bergegas naik ke jok motor. Duduk dengan berpangku tangan dan memilih menatap ke arah lain di mana tidak terlihat pria itu. "Kami berangkat duluan, ya." "Silakan, Pak. Hati-hati!" sahutnya sebelum motor Bapak akhirnya melaju sedang menyusuri jalan kampung ini. "Tumben diam saja, Jum! Biasanya kamu kek gasing kalau lihat tetangga baru kita itu." Bapak tertawa, tapi aku diam. "Jum?" "Aku mau tanya sesuatu soal dia, Pak. Kali aja Bapak tahu." "Ya, tanya saja. Kalau bapak tahu, ya pasti bapak jawab." Aku terdiam sejenak seraya menunduk, lalu menarik napas panjang. "Denger-denger ... dia udah punya calon istri. Beneran itu, Pak? Bapak tahu soal itu nggak?" Bapak tak langsung menjawab, tapi tak lama kemudian beliau mengangguk. Membuat bahu ini sontak merosot lesu. Hilang sudah harapanku. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD