bc

SANG JURU KUNCI

book_age18+
256
FOLLOW
2.1K
READ
adventure
revenge
dominant
goodgirl
powerful
brave
medieval
sentinel and guide
supernatural
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Lembah Rawa adalah lembah yang sangat damai, lembah yang indah dan segala kehidupan didalamnya sangat seimbang. Disanalah tugas seorang juru kunci untuk menyeimbangkan kehidupan yang ada di lembah itu. Lyan Tirani tumbuh dan besar di keluarga biasa saja, dia cukup miskin untuk bisa makan daging setiap hari. Tapi hidupnya berubah saat dia melihat Hasan, anak Tuan Tanah menghilang di danau. Mendadak Hidup Lyan jadi penuh kengerian. Dia kehilangan Bapaknya, lalu teror-teror mendatanginya terus menerus sampai akhirnya Kemuning, ibunya menyerahkan Lyan pada Sang Juru Kunci untuk di lindungi. Tapi bayaran itu adalah nestapa seumur hidup yang dialami Lyan.

Lyan di sumpah menjadi penerus Sang Juru Kunci, tugas itu mempertemukannya kembali dengan Hasan. Lyan menyelamatkan Hasan dari dingin yang panjang, sama-sama mereka melindungi Lembah Rawa untuk semua nyawa yang ada di lembah itu.

chap-preview
Free preview
KEMATIAN NYONYA TANAH
Rumah kami berada di Lembah Rawa, di lembah indah nan hijau, lembah yang katanya ada harta karunnya. Lembah kami berada jauh dari Kota, dan jauh dari perbatasan. Untuk ke perbatasan bapakku harus berkuda setengah hari tanpa beherenti. Bapakku seorang pengantar surat. Beberapa tahun lalu saat aku masih lebih kecil, kami masih berkirim surat pakai burung merpati. Mereka bilang di Kota ada pergantian Dewan Kota, mereka melakukan modernisasi di beberapa tempat sehingga Kota tidak lagi menerima surat dengan merpati, orang Kota menghabisi merpati-merpati yang datang untuk berkirim pesan. Bapakku menggunakan kesempatan itu untuk menjadi Pengantar Surat. Katanya di perbatasan ada kotak-kotak berkode sesuai kode daerah tujuan surat, pekerjaannya cukup sederhana mengantarkan surat dari lembah kami ke kotak-kotak berkode itu.   Jauhnya desa kami dari kota, menjadikan kami sangat primitif. Ketika manusia sudah mengenal alat bernama radio, kami merasa bahagia mendapatkan informasi dari surat kabar. Listrik yang ada di Lembah kami berasal dari turbin air, turbin air itu berada di bawah air terjun di atas lembah. Alat transportasi yang digunakan penduduk kami kebanyakan kuda dan sepeda, Mobil yang ada di lembah ini semuanya berasal dari keluarga Kuswardi. Ibuku bekerja sebagai penjual sayur di pasar dia pergi sendiri memetik sayur dari lahan di batas lembah, ibu selalu menyuruh ku bersyukur setiap hari bisa makan sayuran., dan aku selalu ingin teriak “AKU MAU DAGING !!!” Desa kami hampir setiap pagi dan sore tertutup kabut karena terlalu tinggi, kami disini sudah terbiasa dengan hawa dingin, tanah lembap yang  selalu menempel begitu tebalnya di sepatu. Lebih tinggi dari desa kami adalah kawah belerang dimana penambang belerang selalu turun lewat depan rumahku. Tapi aku gak mau cerita tentang belerang. Aku mau cerita tentang ke magisan tempat ini, dan bagaimana perjalananku menjadi bagian magis dari tempat ini. Sebelum jauh kita berjalan dan bercerita biarkan aku perkenalkan siapa aku, aku orang miskin, bau berambut keriting berkulit pucat namaku Lyan Tirani, aku anak dari perempuan Sri Kemuning dan bapakku Albani, aku punya kakak perempuan yang kerjanya cuma pacaran, dia selalu berasa paling cantik tapi aslinya dia gemuk dan jerawatan namanya Riang Bias, dia cengeng, tukang ngadu, tukang malas, pokoknya kami musuh ! Lembah nan indah ini punya danau yang membentang mengitari lembah,rasanya danau itu punya seluruh pagi dan sore, mereka selalu bersinar terkena mentari seperti bayang-bayang. Aku suka melihat pantulan sinar matahari pada air danau. Aku suka bohong sama Bapak dan ibuk, aku bilang ke sekolah tapi aku suka main di tengah hutan bersama binatang-binatang kesayanganku, sambil ngeliatin danau itu. aku suka cerita pada Tumang anjingku dan juga Moris rusa putih jantan kesayanganku. Aku rasa Moris adalah pimpinan kawanan rusa di area sana, karena rusa-rusa lain selalu takut padanya. Kalau ibu dan bapak marah padaku aku selalu lari kehutan, kalau aku berkelahi dengan Riang lalu Bapak Ibuk membela Riang aku juga lari kehutan, kalau aku gak suka masakan ibu dan di suruh bersyukur aku juga akan lari kehutan. Riang memanggilku “Tukang Ngilang” aku memanggil Riang “Murahan” Kalau ada kejuaraan berteriak di lembah ini ibukulah juaranya ! aku yakin paman-paman tukang tambang belerang di atas sana bisa mendengar suara ibuk kalau lagi manggilin aku “LYAN….LYAN… PULANG SUDAH SORE….LYAN…” setelatah tarikan nafas, dia akan jeda sebentar lalu mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk meneriakan nama lengkapku “LYAN TIRANI” lalu di perkerasan dengan ancaman “PULANG SEKARANG KALAU MAU MAKAN DAGING !” ini kali pertamanya dia mengancamku dengan DAGING, biasanya nama panjangku selalu di ikuti dengan ancaman “AKU PUKUL YA !” atau “KALAU GAK PULANG AKU BUANG KAMU KE KAWAH” aku ingat-ingat kembali, apakah ini termasuk hari besar di keluargaku. Kami jarang sekali makan daging. Kuberi tahu saja kalau sebnarnya seumur hidupku aku baru tiga kali makan daging sapi.  “Ayo cepat Tumang, kita akan makan daging” seruku pada Tumang. Bagi kami di lembah ini makanan yang paling nikmat sedunia adalah daging sapi. Sapi sangat jarang disajikan, kebanyakan kami makan daging rusa dan ayam. Daging sapi di ternak di Kota, membawanya ke desa kami dari kota membuat sapi-sapi sangat mahal.  Aku tidak makan rusa ! aku gak mau makan teman-temannya Moris, teman-teman Moris adalah temanku juga. Ibu bertengger dekat kandang kuda, tangannya tertaut di belakang punggungnya. Aku curiga dengan sesuatu yang disembunyikannya ditangannya “Aku main dekat Danau” kataku memberi tahunya dengan suara terlalu kecil. Aku berhenti agak lumayan jauh dari jangkaunnya kalau-kalau dia menyerangku dengan sabitnya.   Ibu mengangguk misterius, aku menebak-nebak apa maksud anggukannya, ekspresinya terlalu tenang. Ini pasti dia sedang bohong ! memang gampang bohongi anak kecil, tapi gak gampang juga menangkap anak kecil. Aku berlari masuk ke rumah melewati ibu sebelum sabit bambunya mencambuk punggungku. Rupanya perkiraanku benar karena setelahnya nama lengkapku kembali diteriaki, begitu melewati meja makan aku melihat lauk macam-macam tempe bertebaran. Apa itu daging sapi ?    “LYAN…” ibu berteriak kesal, aku langsung masuk kamar. Kalian tahu ibuk marah kenapa ? karena aku gak kesekolah tadi pagi dan gak membantunya mengupas bawang siang tadi. Maksudku kalau aku bolos hari ini, aku akan masuk sekolah besok karena aku berencana masuk sekolah besok mangkanya aku gak kupas bawang, teman-temanku selalu menghina aku, kata mereka aku bau bawang. Ibuk akan mengualiahi aku tentang bersyukur kalau aku menolak mengupas bawang mangkanya lebih mudah kalau kabur aja. Teman-temanku di sekolah harusnya tahu betapa susah hidup jadi anak tukang sayur. Aku masih terbangun, bapak pulang tengah malam sekali, entah dari mana dia, aku dengar derap suara kudanya. Aku gak suka kuda kami, kuda itu sering menedang-nendang ke belakang dan suka tiba-tiba ngambek dan membuang penumpangnya dari punggungnya. Aku buka jendela dan liat bapak keliatan terburu-buru aku gak yakin dia sudah mengikat kudanya dengan benar. Bapak masuk rumah, aku membuka sedikit pintu kamarku.   “Kemuning…Kemuning…” “Demi Apa ! kamu ngebuat aku gak pengen buang air lagi saking kagetnya” ibuk keluar dari arah kamar mandi, dia sudah mengenakan baju tidur, rambutnya sudah di plintir kuda tanda dia sudah siap untuk tidur. Bapak terduduk dengan wajah kaku “Nyonya meninggal” “Owh… tidak !!! tidak…” ibuk sama syoknya dia memegang d**a sambil memegang tembok untuk menyangga tubuhnya yang lemas “Aku baru bertemu dengannya kemarin lusa di pasar” “Dia meninggal di atas kasurnya, kata pelayannya dia tidak pernah sakit, sore tadi dia masih berkuda ke arah ujung lembah” Bapak melihat mata ibuk dalam-dalam “Ini tidak wajar” suara bapak sangat lirih “Kamu harus menyurati Hasan” Bapak mengangguk dia melupakan Hasan, satu-satunya anak Nyonya Tanah. Hasan bekerja di kota, dia teman bapak sejak kecil dia orang baik sama seperti Nyonya Rumi. Aku melihat bapak menarik lembaran papyrusnya, mulai menulis dengan bulu angsa. Sangat cepat, aku tidak yakin tinta-tinta di papyrus itu bersatu membentuk kata demi kata. Bapak kembali melihat suratnya lalu mengangguk yakin sebelum melipat papyrus menjadi empat memasukkan dalam amplop bekas dan menutup amplop dengan stempel lilin berwana merah darah bersimbolkan A, seperti huruf depan namanya Albani. Yang kutahu Rumi Kuswardi banyak membantu keluargaku, sebelum jadi tukang surat bapak dulu bekerja di kastil keluarga Kuswardi menjadi Juru bersih. Bapak seumuran dengan Hasan anak Rumi satu-satunya. Bapak sering menyurati Hasan, aku sering melihat surat-surat Hasan tertumpuk dan di ikat oleh bapak di lemari penyimpanan surat. Bapak itu kalau berjalan di rumah kecil ini suara langkah kakinya menggema ke seluruh ruangan. Dia berjalan sangat cepat dan terlalu keras menepak lantai, aku sering kaget dengan suara kakinya, kadang gak bisa membedakan mana suara kaki bapakku mana suara kaki kuda. Bapak pergi ke perbatasan untuk mengirimkan surat itu. Ibu masih memeluk dirinya di kursi makan dengan mata menerawang, masih kaget dan syok “Ibuk…” Dia menoleh dengan wajah kaget “Kenapa belum tidur kamu ?” “Nyonya Kuswardi mati ?” Dia menunduk lemah lalu berjalan mendekatiku, menuntunku ke kamar sambil bilang “Kamu harus tidur besok kita semua harus bangun pagi. Seluruh lembah rawa sedang berduka” Kamarku dan kamar Riang jadi satu, ranjangku di sisi yang lain ranjang Riang. Diatidur selalumembunyikan giginya, pokoknya aku benci setiap tindak tanduk kakaku setiap bagian dari dirinya aku benci, tidak satupun yang ada dirinya membuatku menyanginya. Aku hampir tertidur waktu ibu kembali masuk kamar kami dan membangunkan Riang  “Riang….., ibu mau pergi ke bukit” maksudnya bukit adalah dataran yang lebih tinggi lagi dari perkebunan tee Tuan Tanah, lebuh tinggi lagi dari kebun jati tapi tidak lebih tinggi dari kawah Belerang. Mau apa ibu malam-malam pergi ke tempat jauh seperti itu “Jaga adikmu, kunci semua pintu. Kalau ada yang datang pastikan dia Bapakmu bukan orang lain. Kalau orang lain jangan bukakan pintu. Kalau harus lari, larilah lewat pintu belakang lalu kedalam hutan” Riang menjawab dengan asal “Hmmm iya…..buk” sudah pasti dia tidak mendengarkan pesan Ibuk. Aku keluar memastikan semua rumah terkunci dan duduk di kursibersama Halulu kucingku yang berbulu kuning bercampur putih, menunggu Bapak pulang, aku ketiduran di kursi kayu. Itu kali pertama aku pergi ke pemakaman, tempatnya ternyata tidak jauh dari perkebunan, dekat dengan air terjun tempat dimana turbin air yang menjadi sumber energi listrik di desaku berasal. Aku tidak pernah mengikuti acara pemakaman, aku tidak pernah keluar rumah sepagi itu, kabut belum benar-benar pergi meninggalkan seluruh lembah tersapu mentari yang hangat aku sudah di gandeng ibuk lengkap dengan gaun hitam kebesaran bekas Riang, baju itu menempel seperti selimut ditubuhku, tadinya aku berencana pakai selimut saja gak ada bedanya. Rambut hitamku di minyaki banyak-banyak agar mengkilat dan mudah di kepang tapi Ibuk sia-sia ! kepangannya tetap menyisakan rambut keriting jelek di ujung ikat rambutku. Riang terlihat lebih baik dari pada aku walaupun leher bajunya terlalu rendah, aku dapat memastikan bapak jalan lebih dulu di depan karena malu dengan pakaian Riang. Dia super murahan ! Mungkin ibuk takut aku akan hilang karena itu dia erat sekali menggegam tanganku “Ibuk hujan” aku merasakan setes air hujan jatuh ke kulitku yang bebas Ibuk membuka payung di tangannya, Riang melipir ke dekat kami sedangkan bapak masih berjalan tegap di depan. Kami berjalan beriringan dengan beberapa keluarga lainnya yang mengenakan pakaiyan hitam yang sama. Semua orang menuju arah yang sama, semua penduduk bangun pagi untuk tujuan pemakaman ini, tidak ada bertani, tidak ada meladang, tidak ada pergi ke kebun teh dan tidak ada menjaring ikan. Desa kami berkabung. Ini memang kali pertamaku ke Pemakaman, tidak seperti buku-buku yang k*****a dan dongeng-dongeng aneh yang diceritakan ibu, pemakaman di lembah kami sungguh indah, pemakaman ini memberikan makana sesunggunya dari kata “damai”. Pemakaman Lembah Rawa adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran. Tumpukan tanah-tanah pemakaman di tutupi bunga-bunga kecil, rumput-rumput dan lumut yang tersusun sangat rapi, makam-makam yang ada di dekat pohon nisannya di selimuti akar-akar, terlihat seperti pohon-pohon memeluk nisan di dekatnya. Di ujung tanah pemakaman adalah pemandangana sesunggunya disana terdapat air terjun yang tepat menghadap ke pemakaman dengan kincir air besar di bawahnya. Tepian tebing yang membatasi area pemakaman ditumbuhi bunga-bunga sepatu yang tersusun sangat rapi tumbuh seperti di rancang manusia. Aku melihat Riang menyadari hal yang sama denganku, dia melihat sekeliling dengan takjub sementara orang dewasa di dekat kami sibuk bersedih, yang tidak bisa bersedih harus bersedih begitulah aturannya. Air hujan tidak terasa di pemakaman itu karena rimbunanya pohon berdaun merah yang menaungi kami. Keluarga Kuswardi berdiri tepat di arah air terjun dan lembah yang menjulang tinggi di belakangnya. Mereka saling berpelukan dan menangis terisak ketika peti mati Nyonya Rumi sampai ke area pemakaman. Suara tangis semakin riuh. Ada lubang yang sudah di gali tepat di tengah-tengah area. Setelah peti mati Nyonya Rumi di kuburkan suara tangis tiba-tiba senyap, pandangan tertuju pada seorang perempuan yang datang dengan gaun indah, dengan kelambu yang  menutupi kepala sampai wajahnya, kelambu itu terbuat dari brukat dan berwarna hitam, walaupun tertutup aku dapat melihat dengan jelas bentuk wajah, mulut dan hidung perempaun itu Cuma aku tidak tahu mata dan alisnya seperti apa. Dia menabur bunga di makam Nyonya Rumi, semua tercekat melihatnya, dia mengisyartkan sesuatu dengan tangannya lalu orang-orang dewasa menundukkan kepala, bapak menundukkan kepalaku. “Nyonya Rumi adalah tuan tanah yang baik, dia memberikan kehidupan pada banyak nyawa di lembah ini, tangisan alam ini menjadi saksi betapa lembah kita telah kehilangan satu manusia baik. Berdoalah untuk ketenangannya” angin bertiup aneh melewati telingaku sampai aku bergidik, aku nekat mengangkat kepalaku dan kulihat nisan Rumi di rajut dari akar-akar pohon, tumpukan tanahnya menjadi lebih tinggi lalu tumbuh rumput-rumput di atasnya, rumput indah yang bertahta bunga-bunga kecil, lalu di sisian makamnya tumbuh bonsai putih setinggi tumpukan tanah, seolah tanaman itu menjaga agar tumpukan tanah makam Rumi tidak tergerus air. Itu kali pertamanya aku melihat sihir, Pempuan itu menggerakkan alam untuk menghias makam Rumi. “Sang Pualam telah mengampuni Rumi, besar dan kecilnya dosa yang diperbuat telah termaafkan, jasatnya akan mengurai menjadi tanah di lembah ini. Itu menandakan bahwa dia selalu jadi bagian dari kita” Semua orang kini kembali mengangkat kepalanya, mereka takjub dengan penampakan makam Rumi, mulut Riang menganga tidak percaya dengan apa yang di liat “ kok bisa ?” dia bertanya pelan untuk dirinya sendiri. Aku sikut Riang “Aku melihatnya” Bapak langsung membungkam mulutku. Aku lantas langsung tertunduk dan terdiam. Mungkin berbicara di pemakaman itu tidak baik. Sepulang dari pemakaman aku dan Riang berkali-kali bertanya pada Bapak dan Ibuk soal perempuan yang di pemakaman tadi tapi mereka berdua tidak menjawab. Dua hari setelahnya barulah aku tahu permepuan itu Juru Kunci, temanku di sekolah yang member tahuku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.9K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook