Akhir

1122 Words
Langit sore itu berat dan berwarna abu-abu, tapi jendela apartemen kecil Gao Tu justru tampak hangat. Lele tertawa di ruang tamu sambil menyusun balok kayu, sementara di dapur, aroma kaldu ayam dan jahe memenuhi udara. Shen Wenlang duduk di meja makan, membuka laptopnya. Di layar, terbuka hasil analisis feromon yang sudah ia tahan selama berminggu-minggu. Nama subjek itu masih sama: G.T. Dan di bawahnya, catatan tambahan: Tanda soulmate terhubung secara permanen akibat sinkronisasi ekstrem di bawah keadaan heat tak terkendali. Waktu kejadian: 3 tahun lalu. Tangannya gemetar. Ia menatap layar itu lama, seolah huruf-hurufnya berubah bentuk. Tiga tahun lalu. Saat ia baru pertama kali kehilangan tanda takdirnya, setelah menghadiri konferensi medis di wilayah barat. Saat ia tidak sengaja mencium aroma feromon asing di lorong rumah sakit darurat — Omega yang pingsan, tubuhnya penuh aroma madu dan hujan. Ia ingat samar-samar, ingat rasa panik saat feromonnya meledak, ingat berusaha mengendalikan diri tapi gagal. Dan setelahnya… semuanya kabur. Laporan medis menyebut “anomali rut.” Dan Omega itu tak pernah melapor, hanya meninggalkan tanda samar di sistem rekam data. Sekarang, potongan puzzle-nya utuh. Omega itu… Gao Tu. Wenlang menutup laptop pelan, menatap Lele di ruang tamu. Anak itu menatap balik dengan mata besar dan polos — mata yang begitu mirip dirinya. “Papa Wen!” Lele melambai riang. Dan entah kenapa, dadanya terasa sesak tapi hangat sekaligus. Malamnya, setelah Lele tidur, Gao Tu keluar dari kamar dengan rambut agak berantakan. “Lele akhirnya tidur,” gumamnya sambil menuang teh. “Kamu masih di sini?” “Hmm.” “Biasanya jam segini kamu udah di lab.” “Aku libur hari ini,” jawab Wenlang pendek. Suasana aneh. Sunyi, tapi bukan sunyi yang nyaman. Akhirnya Wenlang membuka suara. “Gao Tu, aku tahu semuanya.” “Semua apa?” “Tentang tiga tahun lalu. Tentang… kenapa Lele mirip aku.” Cangkir di tangan Gao Tu berhenti di udara. Tatapannya kosong. “Kamu—” “Maaf,” potong Wenlang cepat. “Aku gak pernah bermaksud ninggalin kamu. Aku bahkan gak tahu kalau itu kamu waktu itu. Aku pikir cuma rut aneh yang gak terkontrol di tempat isolasi. Tapi ternyata…” Ia menunduk. “Ternyata aku malah ninggalin jejak di tubuhmu, dan anak yang lahir dari situ tumbuh tanpa aku tahu.” Keheningan menggantung. Lalu suara tawa kecil, getir, keluar dari bibir Gao Tu. “Lucu, ya? Dunia segede ini tapi tetap aja suka main-main kayak sinetron.” Matanya memerah. “Kamu tahu gak seberapa berat waktu itu? Aku gak punya siapa-siapa, cuma punya bayi yang terus nangis dan feromon yang gak stabil. Aku kira aku bakal mati. Tapi aku bertahan, cuma buat Lele.” “Aku tahu,” bisik Wenlang. “Dan aku minta maaf.” “Apa gunanya minta maaf?” “Biar aku bisa mulai memperbaikinya.” Kalimat itu sederhana, tapi membuat d**a Gao Tu bergetar. Ia menatap Wenlang, mata keduanya sama-sama basah. “Kalau kamu cuma datang buat ngaku dosa, kamu bisa pergi sekarang.” “Tapi kalau aku datang buat tetap tinggal?” “Kenapa harus tinggal? Dunia kamu di laboratorium, bukan di sini.” “Karena di sini ada kamu. Dan Lele. Dan itu dunia yang aku mau.” Hari-hari setelah itu menjadi aneh — tapi dalam cara yang manis. Wenlang mulai datang lebih sering, kali ini bukan dengan niat menebus kesalahan, tapi benar-benar menjadi bagian dari keseharian mereka. Ia antar Lele ke sekolah, belanja bahan kue dengan Gao Tu, bahkan belajar memanggang chiffon cake (yang hasilnya berakhir seperti spons gagal). “Bisa gak kamu gak bikin oven meledak setiap kali bantu aku?” keluh Gao Tu sambil menahan tawa. “Teori kimia padatku sempurna, tapi aplikasinya... ya, agak fleksibel,” jawab Wenlang polos. Lele tertawa terpingkal. “Papa Wen masaknya kayak monster!” “Aku monster cinta,” kata Wenlang dengan nada sok puitis. Gao Tu hampir tersedak tepung. Namun di balik tawa, Wenlang juga serius. Ia mengurus surat pengakuan tanggung jawab, menyimpan data medis Lele di sistem nasional ABO agar tidak kehilangan hak hukum, dan diam-diam mengajukan cuti panjang dari lab. Sampai suatu malam, di tengah langit hujan ringan, ia menatap Gao Tu dengan senyum yang lembut tapi penuh tekad. “Gao Tu,” katanya, “aku mau nikah sama kamu.” Gao Tu mematung. “Kamu sadar gak kamu baru aja ngelamar aku pakai sendok nasi?” Wenlang menatap sendok di tangannya, lalu tersenyum kikuk. “Tapi simbolis, kan?” “Simbolis di perut.” “Gak apa-apa. Aku bisa ganti dengan cincin nanti.” Lele, yang duduk di kursi kecil, menepuk tangan riang. “Daddy, nikah sama Papa Wen! Nanti Lele punya dua papa!” Gao Tu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan, keluarga ini aneh banget.” Pernikahan mereka sederhana — hanya di aula kecil dekat taman tempat mereka pertama kali bertemu. Lele jadi pembawa bunga, berlari-lari sambil menabur kelopak mawar dengan gaya superhero. Gao Tu mengenakan jas putih lembut, sementara Wenlang tampil dengan setelan abu-abu dan senyum yang tidak pernah hilang sepanjang hari. Saat pejabat catatan sipil membacakan janji, Wenlang memegang tangan Gao Tu erat-erat. “Dulu aku kehilangan tanda takdirku,” katanya pelan, “tapi ternyata tanda itu cuma berpindah — ke kamu dan Lele.” Gao Tu menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut akan cinta lagi. “Kalau nanti kamu nyebelin lagi?” “Aku biarkan kamu marah, asal jangan pergi.” “Dan kalau kamu sibuk sampai lupa makan?” “Kamu boleh paksa aku makan sup tofu tiap malam.” “Kalau Lele nanti nanya kenapa dua papanya sering debat?” “Kita jawab, karena cinta itu kadang keras kepala.” Tawa hadirin pecah, dan di antara tawa itu, mereka saling menatap seperti dua jiwa yang akhirnya menemukan rumah. Malam setelah pernikahan, mereka duduk di balkon apartemen, hanya ditemani lampu jalan dan suara hujan. Lele sudah tidur, memeluk boneka rubahnya. Wenlang memeluk Gao Tu dari belakang, kepalanya bersandar di bahu pasangannya. “Aku masih gak percaya semua ini nyata,” bisiknya. “Percaya aja. Dunia emang aneh,” jawab Gao Tu lembut. “Kadang nyuri tanda takdir orang, kadang nyuri hatinya sekalian.” “Dan sekarang aku gak mau balikin.” “Bagus. Karena aku juga gak mau lepas.” Mereka diam lama, menikmati hujan yang turun perlahan. Dan di tengah udara malam yang lembab, aroma feromon mereka berpadu — manis, hangat, dan tenang. Tanda takdir yang dulu hilang kini berpendar samar di bawah kulit mereka berdua, menyatu sepenuhnya. Di kamar, Lele mengigau kecil. “Papa Wen… Daddy Gao… jangan berantem lagi…” Dua orang dewasa di balkon itu saling menatap, lalu tertawa pelan. Malam itu, cinta mereka tidak lagi terasa seperti sesuatu yang dicuri. Tapi sesuatu yang akhirnya pulang ke tempatnya semula.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD