Negara Y, malam hari—kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu gedung tinggi menyalakan langit seperti ribuan mata yang mengawasi dari atas.
Di antara kilau metropolitan itu, Shen Wenlang, seorang Alpha muda, baru saja menjejakkan kaki kembali di tanah air.
Ia baru lulus dari universitas ternama di London, membawa segudang ide dan semangat untuk membangun perusahaannya sendiri. Namun begitu keluar dari bandara, dunia yang menunggunya bukanlah dunia yang dijanjikan keluarganya.
Telepon pertama yang ia terima bukan ucapan selamat datang, melainkan pesan singkat dari pengacara keluarga:
“Perusahaan bangkrut. Aset disita. Utang menumpuk. Jangan pulang ke rumah.”
Dalam satu malam, Shen Wenlang kehilangan segalanya—status, reputasi, bahkan keamanan keluarganya. Para penagih utang memburunya ke mana pun ia pergi, termasuk para investor internasional yang menuntut pengembalian dana.
Ia harus berlari, bersembunyi, sekaligus tetap berpikir jernih. Karena di sisi lain, start-up teknologi yang ia bangun diam-diam sudah menarik perhatian pasar, namun belum cukup kuat untuk bertahan tanpa modal tambahan.
Di sisi lain kota, Gao Tu, seorang Omega laki-laki, sedang berdiri di depan cermin besar di ruang rapat lantai 40.
Ia mengenakan setelan abu-abu muda, dasinya rapi, wajahnya datar. Tak ada aroma feromon, tak ada aura menggoda seperti stereotip Omega pada umumnya. Ia lahir resesif, tubuhnya tidak mengeluarkan aroma apapun—dan itu menjadikannya bahan ejekan keluarganya sendiri.
“Tanpa aroma, tanpa daya tarik. Siapa yang mau menikahimu?”
Kalimat itu pernah diucapkan ibunya bertahun-tahun lalu.
Namun kini, Gaotu-lah yang memimpin perusahaan keluarga—sebuah konglomerasi properti yang hampir hancur karena generasi sebelumnya. Ia membangunnya kembali dengan otak dan disiplin, bukan dengan feromon.
Di ruang rapat itu, semua investor menunduk mendengarkan analisisnya, tak lagi memandangnya sebagai Omega, tapi sebagai pemimpin.
Satu minggu kemudian, mereka bertemu di sebuah lelang amal besar, diselenggarakan oleh perusahaan baru milik Wenlang—“Helion Dynamics”.
Wenlang berdiri di panggung, matanya tajam meski tubuhnya tampak lelah. Ia baru saja melarikan diri dari dua debt collector sebelum acara dimulai. Di balik senyum formalnya, jantungnya berdegup cepat bukan karena gugup, tapi karena takut ketahuan.
Gao Tu hadir sebagai salah satu undangan VIP. Saat Wenlang naik ke panggung dan mulai mempresentasikan proyek lelang inovasi teknologi energi bersih, Gao Tu memperhatikan sesuatu yang berbeda pada pemuda itu—sorot matanya jujur tapi menyimpan beban yang terlalu besar untuk usia muda.
Usai acara, Gao Tu mendekatinya.
“Presentasi yang menarik,” katanya, suaranya tenang. “Kau terlihat seperti seseorang yang sudah berperang sebelum naik ke panggung.”
Wenlang menatapnya, sedikit terkejut.
“Begitu terlihat, ya?”
Gao Tu mengangkat bahu. “Hanya bagi orang yang juga pernah berperang.”
Percakapan itu berlanjut di balkon, di bawah gemerlap lampu kota. Wenlang akhirnya mengaku—tentang keluarganya, utangnya, dan perusahaannya yang hampir tenggelam. Tak ada alasan untuk berbohong mungkin karena mata Gao Tu tak menghakimi.
Sebaliknya, Gao Tu hanya berkata pelan,
“Kadang kita tidak punya pilihan selain membangun sambil berlari.”
Lalu, dengan nada datar yang samar mengandung simpati, ia menambahkan,
“Jika kau butuh mitra strategis… aku mungkin bisa membantumu.”
Wenlang sempat terdiam. Ia tahu nama Gao Tu—Omega tanpa feromon, pemimpin dingin yang selalu ditulis media dengan nada merendahkan. Tapi kini, orang yang mereka sebut “Omega tanpa daya tarik” inilah yang berdiri paling kokoh di dunia korporat.
Beberapa minggu berlalu, kerja sama mereka dimulai.
Wenlang mengerjakan aspek teknologi sedangkan Gao Tu mengurus investasi dan ekspansi legal.
Hubungan mereka tumbuh tidak cepat—lebih seperti dua kutub yang perlahan belajar menyatu melalui kepercayaan.
Ada saat-saat Wenlang merasa rendah diri karena gagal melindungi keluarganya. Tapi setiap kali ia hampir menyerah, Gao Tu hanya menatapnya tenang dan berkata,
“kalau kau berhenti sekarang, semua lari yang sudah kau lakukan takkan berarti apa-apa.”
Sebaliknya, Gao Tu pun menemukan sesuatu yang tidak pernah ia miliki yaitu seseorang yang melihatnya bukan sebagai Omega resesif, tapi sebagai manusia yang bisa membuat keputusan besar.
Wenlang tidak pernah menanyakan aromanya, tidak pernah memandangnya dengan belas kasihan.
Suatu malam di ruang kerja mereka, setelah berjam-jam membahas strategi merger, Wenlang berkata pelan,
“kau tahu… aku kira aku sudah kehilangan segalanya. Tapi mungkin aku hanya kehilangan cara untuk percaya pada orang.”
Gao Tu menatap layar, lalu berkata tanpa menoleh, “maka anggap ini—awal dari belajar percaya lagi.”
Beberapa bulan kemudian, Helion Dynamics kembali berdiri tegak, dengan dukungan konglomerat Adiguna Group.
Berita ekonomi memuji kemitraan itu sebagai “kolaborasi paling tak terduga antara dua pewaris muda lintas status feromon.”
Bagi publik, mereka hanyalah dua pengusaha sukses.
Tapi bagi Wenlang dan Gao Tu sendiri, mereka tahu betapa rumit jalan yang telah mereka lalui: antara pelarian dan kesunyian, antara kehilangan dan pengakuan.
Dan mungkin, di tengah dunia yang menilai berdasarkan aroma dan status genetik, mereka berdua membuktikan satu hal sederhana—bahwa resonansi sejati tidak lahir dari bau tubuh, melainkan dari frekuensi jiwa yang seirama.
Tamat.