Bukan CLBK

1535 Words
Bima menatap Langit dengan kedua mata melebar, tak percaya. "Jadi lu belum cerita ke Malia?" Tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran. Langit menggeleng, menghela napas. "Dia kan, baru masuk kerja lagi kemarin, dan langsung sibuk seharian. Terus hari ini dia menemani Pak Bagja meninjau proyek sampai sore." "Terus kapan lu mau ngomongnya?" Desak Bima, tangannya bersidekap. Langit memandang Bima dengan ragu. Ada kerutan di dahinya. "Semakin lama gue pikirin, gue malah semakin takut ngomong. Gue males ribut lagi." Bima menarik napasnya, mencoba menahan kekesalan. "Kalau masalah keponakannya udah jelas. Gue gak akan ambil dia jadi barista. Dan kalau lu enggak mau bilang ke Malia, gue juga enggak bisa maksa. Tapi lu mesti inget, gak ada yang bisa mencegah Sandra balik lagi ke sini. Dan gue yakin dia pasti balik lagi buat nemuin lu. Dan kalau sampai Malia tahu itu, dia bakalan lebih ngamuk, Lang!" Kini Langit semakin kebingungan. Dihembuskan napasnya dengan berat, bahunya merosot. Dilema besar menghimpitnya. "Jangan kelamaan mikir. Lu cerita aja apa adanya. Lu juga harus siap terima konsekuensinya. Dia mesti dikasih tahu secepatnya, Lang. Jangan sampai dia tahunya dari orang lain duluan. Lu tahu sendiri di sini banyak mata-mata dia." Bima memperingatkan, nada suaranya serius. "Tapi... harusnya sih, enggak ada alasan dia buat marah. Dia kan, tahu gue udah gak punya perasaan apa-apa lagi sama Sandra." Langit mencoba meyakinkan diri, meskipun ia sendiri meragukannya. Bima tertawa hambar. "Lu gak pernah punya hubungan apa-apa sama Eva dan Devia aja dia ngamuk. Apalagi sama mantan lu." Langit kembali menghembuskan napasnya, kali ini lebih kesal. "Lagian, kenapa juga Sandra harus nganterin keponakannya?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Bima kembali tertawa, mengangkat alisnya. "Lu percaya alasan dia?" Langit mengernyitkan kening memandang Bima, sebuah pertanyaan tersirat di matanya. "Lu naif banget. Buat apa dia ngasih tahu lu kalau nomornya masih sama?" "Tapi dia kan, udah tahu hubungan gue sama Malia?" Langit masih mencoba berargumen, mencari celah. "Tapi status lu belum married. Dan dia juga tahu lu cinta banget sama dia." Bima membalas, menunjuk pada kelemahan Langit. Langit menggeleng, menyangkal. "Itu kan, dulu. Sekarang gue udah enggak punya perasaan apa-apa lagi sama dia. Lagian dia juga sukanya sama cowok kaya," sahut Langit dengan sinis, ada nada pahit di suaranya. Bima tertawa seraya menepuk-nepuk bahu Langit. "Lang, ini yang bikin lu sering ribut sama Malia. Karena lu kurang sensitif. Lu gak ngerti jalan pikiran mereka itu kayak gimana." Langit kini terdiam. Ia tak mengerti apa yang diinginkan Sandra darinya lagi. Diingatnya kembali saat Sandra memutuskan hubungan mereka. Dia bilang ingin pergi jauh agar bisa merubah hidupnya lebih baik, karena ia tak bisa membuatnya bahagia. Ia tak punya apa-apa selain kesedihan. Tapi ternyata, ia tak ke mana-mana. Ia masih ada di sini. Di dekatnya. Langit kembali memandangi gedung berwarna biru itu. Jendela-jendela kaca memantulkan bias senja. Apakah saat ini dia juga tengah memandangiku di sana? Batinnya bertanya. .... Langit sebenarnya ingin sekali berbicara dengan Malia di kantor, di tempat yang lebih privat. Tapi Malia malah memintanya untuk bertemu di kafe. Padahal di sore seperti saat ini, kafe justru sedang ramai-ramainya oleh pengunjung. "Kamu mau ngomongin apa, sih? Penting banget, ya?" Malia meletakkan tas kerjanya di atas meja, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan wajah yang tampak lelah, namun sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Langit memandang Malia dengan ragu. "Kamu capek?" Tanyanya, ada kekhawatiran yang tulus. Ia tak ingin membicarakannya di saat kondisi Malia tengah lelah. Malia menggeleng, senyum tipis terukir di bibirnya. "Udah ketemu kamu, capeknya hilang," sahutnya manja. Langit melirik ke arah empat pengunjung yang juga berada di teras itu. Ia tahu mereka tengah memperhatikannya, seolah sengaja menunggu 'drama' yang akan terjadi. Kini ia semakin ragu, lidahnya terasa kelu. "Kamu mau ngomong apa?" Malia mendekatkan wajahnya, menatap Langit dengan curiga. Ada firasat yang tak enak. Langit lalu meraih kedua tangan Malia dan menatapnya dengan sungguh-sungguh, mencoba mencari kekuatan. "Aku mau jujur sama kamu, tapi janji kamu enggak akan marah." Malia menarik kedua tangannya dari genggaman Langit, senyumnya memudar. "Kamu... mau mutusin aku?" Tanyanya dengan suara tercekat, ketakutan mulai merayapi. Langit menggeleng seraya menyunggingkan senyuman tipis, berusaha menenangkan. "Bukan..." "Lalu apa?" Desak Malia, matanya menuntut jawaban. "Hmm... kamu ingat kan, dua hari yang lalu aku bilang kalau Mas Bima minta aku untuk nge-test barista baru?" Langit memulai, suaranya pelan. Malia tak menjawab, matanya nanar menunggu Langit melanjutkan ceritanya. Ada kilatan tidak sabar di dalamnya. "Mas Bima enggak tahu kalau ternyata yang akan dia test itu... Keponakannya Sandra. Dan... Sandra datang mengantarnya..." Lama Malia terpaku menatap Langit. Ia seperti berusaha menahan emosinya yang mulai bergolak. Kedua matanya mengerjap, berusaha menahan air mata. Mulutnya mulai bergetar, pertanda badai akan datang. "Kamu bicara dengannya?" Tanyanya terbata. Langit mengangguk, menunduk sedikit. "Di teras ini?" Desak Malia, suaranya mulai meninggi. Langit kembali mengangguk, pasrah. "Cuma berdua?" "Maaal... Please dengerin dulu..." Langit memohon, merasakan tekanan yang luar biasa. "Jawab!" Jeritan Malia yang tiba-tiba membuat keempat pengunjung itu langsung menoleh, terkejut, suasana kafe mendadak hening. Dan saat akhirnya Langit mengangguk, mengakui kebenaran pahit itu. Mata Malia pun mulai berair, setitik demi setitik. Tangannya menutupi mulutnya yang bergetar hebat, menahan isakan. Hening beberapa saat, yang terasa seperti keabadian. Kemudian, terdengar pintu teras terbuka. Bima datang tergopoh-gopoh menghampiri keempat pengunjung itu. Dan entah apa yang dikatakannya, tapi keempatnya kemudian pergi dari sana, mungkin takut terkena imbas amarah Malia. Langit mencoba meraih kembali tangan Malia, tapi Malia menepisnya dengan kasar. "Dia cuma datang untuk mengantar keponakannya!" Ucapnya, mencoba membela diri. "Dan kamu bahkan mempercayai alasannya?" Malia menatap Langit tak percaya, tatapan matanya menusuk tajam, penuh kekecewaan. "Tapi aku gak akan meninggalkan kamu demi dia." "Tapi kenapa kamu baru ceritakan ini sekarang, Lang? Kenapa enggak dari kemarin? Semalam kita bahkan saling bicara di telepon, dan aku menanyakan kabarmu. Tapi kamu enggak bicara apa-apa. Kenapa, Lang?" Malia menghujani Langit dengan pertanyaan, suaranya kini dipenuhi kesedihan dan kemarahan. Langit tertunduk, bahunya merosot. Ia bingung harus menjawab apa. Kenapa sulit sekali berkata jujur, padahal ia sudah mencoba? "Karena kamu masih berpikir untuk menyembunyikannya dariku?" Nada suara Malia penuh tuduhan. "Bukan itu, Mal..." Langit mencoba membantah. "Waktu itu kamu buru-buru pulang dari rumahku, ternyata untuk bertemu dengan dia?" Tuduh Malia lagi, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Aku dan Mas Bima gak tahu dia akan datang, Mal... Sumpah!" Langit berusaha meyakinkan. "Kenapa ini selalu terjadi, Lang?" Lirih Malia, suaranya pecah, ia lelah dengan pengulangan masalah yang sama. "Percaya padaku, Mal. Aku udah enggak mencintainya lagi. Dan dia tahu tentang hubungan kita." Langit mencoba meyakinkan, putus asa. Malia menatap Langit dengan terkejut, lalu tertawa getir. Ada kepahitan dalam tawanya. "Dia tahu, tapi dia masih mengejar kamu?" "Itu cuma kebetulan. Kamu jangan berlebihan!" Langit meninggikan suaranya, merasa frustrasi. Kini Malia menatap Langit dengan tajam, matanya berkobar. "Aku perempuan, Lang. Aku tahu maksud dia. Dia masih mencintai kamu!" "Maaal..." "Karena dia menyesal meninggalkan kamu..." "Malia... Please... stop!" Langit memohon, suaranya serak. "Karena ternyata dia enggak bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari kamu..." Malia melanjutkan, tanpa peduli permohonan Langit, memuntahkan semua prasangka dan rasa sakitnya. Langit kembali terdiam. Percuma ia bicara karena Malia sudah tidak percaya apa pun yang diucapkannya. Wajahnya menunjukkan frustrasi dan kebingungan. "Dia akan terus mengejar kamu..." Malia bersikeras. "Jangan berprasangka buruk, Mal!" Langit mencoba lagi, namun sia-sia. "Kalau dia gak berniat mendekati kamu lagi, dia gak akan datang menemui kamu! Keponakannya bukan anak TK yang perlu diantar!" Suara Malia kembali meninggi, kedua matanya berkaca-kaca, penuh emosi. Kini Langit benar-benar memilih untuk berhenti bicara. Ia hanya memandangi Malia dengan hati yang kebingungan. Mungkin benar yang dikatakan Mas Bima, ia memang tidak sensitif. Ia tidak mengerti jalan pikiran perempuan. Tapi ia yakin laki-laki mana pun tidak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka. Karena mereka makhluk yang aneh. Mereka lebih suka menerima kebohongan jika itu membuatnya senang. Dan mereka lebih suka berprasangka daripada berpikir logis. Mereka benar-benar makhluk yang membingungkan. "Di mana tempat kerjanya?" Malia bertanya, tiba-tiba, nada suaranya berubah menjadi dingin dan menusuk. Langit mengangkat wajahnya, terkejut. "Untuk apa, Mal?" "Kamu masih melindunginya?" Malia bertanya, tatapannya menghunjam. Langit menghela napasnya kembali, lalu tangannya menunjuk ke arah gedung biru di hadapan mereka. "Perusahaan kontraktor," jawabnya, menyerah. Malia tertawa dengan sinis, tawa yang penuh amarah. "Kamu lihat, kan? Ternyata selama ini dia mengawasi kamu? Dia gak pernah ke mana-mana." "Jangan berlebihan, Mal. Itu cuma kebetulan." Langit mencoba meredakan situasi, namun suaranya terdengar lemah. Malia menggelengkan kepalanya. "Dan kamu masih menganggap semua itu hanya kebetulan?" "Lalu aku harus bagaimana, Mal?!" Langit menatap Malia dengan putus asa, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Kini Malia menatap Langit dengan tajam, tatapannya dingin dan mematikan. "Aku percaya sama kamu. Tapi aku juga enggak akan membiarkan dia mendekati kamu lagi. Akan kupastikan dia enggak akan pernah mengganggumu lagi. Atau aku akan membuat karirnya hancur sampai dia tak akan bisa lagi mendapatkan pekerjaan di perusahaan kontraktor mana pun di negeri ini!" Dan Malia lalu pergi begitu saja, langkahnya cepat dan tegas, meninggalkan Langit yang terpaku di tempatnya, terkejut oleh ancaman yang baru saja ia dengar. "Maaal!! Tunggu!!" Malia sudah menjauh ketika Langit tersadar dan mengejarnya. Dia berlari sangat cepat menuju mobil yang sudah menunggunya di depan lobi. Masuk dan melaju pergi, meninggalkan Langit sendirian. Kini Langit terduduk lemas, di sofa yang kosong. Ia tidak mengerti mengapa ini selalu saja terjadi di saat hubungannya dengan Malia membaik. Apa yang salah dengan dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD