bc

Takdirmu Adalah Dendamku

book_age16+
39
FOLLOW
1.2K
READ
HE
brave
blue collar
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Dunia Langit runtuh berkeping-keping. Ayahnya tewas menjadi korban tabrak lari, disusul tak lama kemudian oleh kepergian ibunya. Hidupnya jungkir balik, memaksa Langit putus kuliah dan bekerja sebagai barista di Cafe Dewa demi menafkahi Mentari, adik semata wayangnya.

.

Hari-hari Langit diselimuti dendam membara kepada sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Setiap malam, ia merapalkan doa, berharap bisa melihat orang itu merasakan sakit yang sama, yakin bahwa karma itu nyata dan akan segera datang.

.

Namun, demi sang adik pula, Langit bertekad untuk bangkit. Ia meninggalkan kehidupannya yang keras dan menyembunyikan identitas aslinya sebagai Naga Langit. Tak ada lagi yang lebih ia inginkan selain melihat Mentari mencapai cita-citanya.

.

Ketenteraman Langit terusik ketika ia menyelamatkan Malia, seorang wanita depresi yang berniat melompat dari gedung tinggi tempat Langit bekerja. Tak disangka, Malia adalah putri pemilik gedung. Malia pun jatuh hati pada Langit, dan dengan segala cara ia berusaha menaklukkan sikap Langit yang acuh dan dingin. Malia percaya Langit adalah takdirnya, pria yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya, membantunya bangkit dari masa lalu kelam, dan yakin seyakin-yakinnya bahwa Langit adalah jodohnya.

.

Namun, saat benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya, sebuah rahasia kelam mulai terkuak. Rahasia yang menjadi alasan di balik takdir yang menimpa, dan jawaban atas doa-doa yang dari hati yang penuh luka.

.

....

.

Seketika itu pula Langit terpaku. Ditatapnya Malia tak percaya, seolah dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Dadanya terasa begitu sesak, hatinya sakit seperti dihujam sebuah pedang. Kedua bibirnya bergetar, menahan kata yang tak bisa terucap. Tak pernah ia merasa serendah ini di hadapan seorang wanita, selain Sang Ibu. Ia tak mengerti dan tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya kini. Ia sudah tak sanggup lagi. Ini memang terlalu berat baginya. Tanpa berkata apa-apa, ia pun berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Malia yang masih berdiri dengan kemarahannya yang belum sirna.

.

Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamarnya diketuk pelan. Perlahan, Mentari membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. "Dia sudah pulang," ucapnya pelan, menjawab pertanyaan yang terpancar jelas di wajah sang Kakak.

.

Mentari lalu menghampiri Langit, menatapnya dengan tatapan sendu. "Benar apa yang dibilang Kak Malia, Mas? Mas... dibayar buat pacaran sama dia?" Tanyanya dengan suara terbata, matanya mulai berkaca-kaca.

.

Langit menundukkan kepalanya dengan malu, menahan air matanya agar tak menetes. Bukan Malia yang membuatnya ingin menangis, tapi melihat Mentari yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca membuat hatinya sangat hancur. Mentari pasti sudah menganggapnya begitu rendah.

.

"Mas...?" Tanya Mentari lagi, suaranya sedikit bergetar.

.

Tapi Langit tetap diam. Ia tak sanggup menjawabnya, bahkan hanya untuk melihat wajah Sang Adik.

.

"Apa ini semua demi aku?" Mentari mencoba menahan isaknya, suaranya hampir tak terdengar. Ditatapnya lebih dekat wajah Langit yang masih tertunduk, matanya sudah berkaca-kaca. Namun, Sang Kakak masih enggan untuk menjawab. Ia pun lalu beranjak pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Dan tangisnya pun pecah di sana, suara isaknya terdengar jelas oleh Langit. Memporak-porandakan hatinya.

.

Langit memejamkan kedua matanya. Seketika air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Hatinya dipenuhi penyesalan. Harusnya ia memang tidak melakukannya. Harusnya ia tidak menerima tawaran itu. Ia pun lalu beranjak bangun, berjalan masuk ke dalam studio lukisnya. Diambilnya kembali lukisan terakhir Ayahnya, yang selalu mengingatkannya pada luka lama. Dan ia kembali memeluknya erat dalam d**a. Dibiarkannya air matanya tumpah di sana, membasahi kanvas. Ia kembali menangisi kedua orang tuanya, meratapi nasibnya yang terasa begitu berat. Dan kembali merapalkan doa penuh dendam kepada orang yang telah menghancurkan keluarganya, sebuah janji yang terukir dalam setiap tetes air matanya.

chap-preview
Free preview
Cafe Dewa
Percikan air dingin bagai sambaran petir di wajah Langit, sukses menariknya paksa dari alam mimpi. Ia mengerjap, membuka mata yang masih berat, dan langsung disambut cengiran menyebalkan Mentari, adik semata wayangnya. Gadis itu sudah rapi dengan seragam putih abu-abu dan ransel di punggungnya, siap dengan segelas air di tangan, pertanda serangan lanjutan. "Cepetan, Maaas! Tukang ojeknya udah nungguin!" Serunya, melengking. Dengan malas, Langit merogoh saku celananya. Selembar uang lima puluh ribu dengan cepat berpindah ke tangan Mentari. "Loh, kok?" Protes Mentari, alisnya bertaut. "Sehari dulu. Nanti ditransfer lagi!" Jawab Langit, menarik bantal menutupi wajahnya, berharap bisa menghilang dari kenyataan. "Oke! Mi-nya udah aku buatin tuh, di meja. Buruan bangun, nanti keburu mekar!" Sahut Mentari, tawa kecilnya mengiringi langkah cepatnya keluar kamar. "Mi instan lagi?!" Teriak Langit, suaranya teredam bantal. Wajahnya kembali ia benamkan. Namun, ketukan lembut di pintu rumah kembali memaksanya menyerah pada pagi. "Assalamu alaikum! Mas Langit!" Menghela napas, Langit menyeret tubuhnya, mengenakan kaus sekenanya, lalu bergegas keluar. Di ambang pintu, Devia, tetangga manisnya, sudah berdiri. Semangkuk makanan tampak mengepul di tangannya. "Ini Mas, buat sarapan," ujar Devia, mengulurkan mangkuk itu. "Oh! Ini kamu bikin sendiri?" Tanya Langit, menghirup aroma manis yang menguar dari mangkuk hangat itu. Wanginya saja sudah menggoda. Devia mengangguk, rona merah tipis menjalar di pipinya. "Makasih, ya? Kamu baik banget," Langit melempar senyum termanisnya, menggoda, "Mau sarapan bareng?" Gadis itu menggeleng cepat, semakin tersipu. "Saya permisi dulu ya, Mas!" pamitnya, lalu bergegas pulang ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Senyum lebar mengembang di bibir Langit. Dengan bahagia, ia menyuapkan sesendok bubur sumsum itu ke mulutnya. Ah, Devia! Pagi ini, ia kembali menjadi pahlawan bagi lambungnya, menyelamatkannya dari mi instan buatan Mentari yang membosankan. Setelah memakan tandas bubur sumsum Devia, Langit tak buang waktu lagi. Vespa tuanya membelah kemacetan Ibu Kota, mengantarnya tepat pukul 07.15 ke parkiran gedung perkantoran Bagja Tower. Baru saja kakinya melangkah masuk lobi, sapaan ramah meluncur dari Pak Riswan, petugas keamanan. "Selamat pagi, Mas Langit?" "Pagi, Pak!" Balas Langit, senyum tipis tersungging. Ah, bantuan datang tepat waktu, pikirnya lega. "Tugas malam nih, Pak Riswan?" "Iya, Mas, baru selesai. Nunggu pergantian jaga. Sekalian mau minta kopi," bisik Pak Riswan. "Siap, Pak!" Langit mengangguk, lalu masuk ke dalam lift yang langsung membawa mereka ke lantai 20, berhenti persis di depan pintu kaca dengan tulisan "Cafe Dewa" . Di dalam, Langit segera beraksi, menyiapkan kafe. Pagi itu, pekerjaan terasa lebih ringan karena ada Pak Riswan yang sigap membantu. Bagian bersih-bersih sudah ia bereskan sore hari sebelumnya, setelah kafe tutup. "Ngopi dulu, Pak!" Langit menyodorkan segelas kopi hitam hangat pada Pak Riswan. "Terima kasih, Mas Langit!" Ucap Pak Riswan, duduk santai di meja konter. Pak Riswan memang sekutu Langit. Petugas keamanan paling akrab, sering mampir pagi atau sore, entah untuk membantu atau sekadar bercerita. Ia punya segudang kisah tentang penghuni gedung, bahkan ia mengaku mengenal penghuni lainnya yang yang tak kasat mata. "Saya minum di pos saja, Mas. Sudah mau buka, kan?" Pak Riswan menyeruput setengah kopinya, lalu beranjak dari duduknya. Langit mengangguk. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menghabiskan sisa kopinya, membalik papan akrilik di pintu kaca dari "CLOSED" menjadi "OPEN". Cafe Dewa siap menyambut hari. Tak lama, sosok tinggi berkacamata muncul, menenteng boks plastik besar. "Pagi, Mas!" Sapa Langit. "Pagi! Rotinya jangan lupa dihitung lagi, Lang," jawab pria itu, meletakkan boks penuh roti di hadapan Langit. Langit segera mengeluarkan roti-roti itu, menatanya rapi di etalase kaca. Pria itu adalah Mas Bima, sang pembuat roti sekaligus pemilik Cafe Dewa. Dulunya dia adalah seorang Chef Pastry yang punya toko roti sendiri, namun usahanya kandas empat tahun lalu setelah perceraian. "Pagi, Mas Langit!" Suara bariton nan berat mengagetkan Langit. Seorang pria bertubuh tambun masuk ke dalam kafe. "Pagi, Pak Yudha!" Sapa Langit. "Espresso, Pak?" Tanyanya basa-basi. Pak Yudha hanya mengangguk, isyarat sudah tahu pesanan favoritnya. Pak Yudha, pelanggan setia yang paling pagi, selalu duduk di kursi belakang, larut dalam laptopnya bersama secangkir espresso hingga pukul sembilan, saat kantornya baru dibuka. "Selamat pagi, cowok-cowok ganteng!" Sebuah suara nyaring memecah keheningan, diiringi dentingan sepatu hak tinggi. Sosok wanita dengan riasan tebal, Bu Cynthia, masuk dengan ceria. Langit hanya tersenyum, membiarkan Bima menyambutnya. "Selamat pagi, Bu Cynthia!" Sapa Bima ramah. "Saya pesan yang biasa. Hot Cappuccino Caramel!" Bu Cynthia menatap Bima dengan sorot menggoda. Bu Cynthia memang fans berat Mas Bima. Pelanggan tetap yang berkantor di gedung ini, ia hanya mau dilayani langsung oleh Bima. Langit menahan senyum saat Bima meliriknya dongkol. Bu Cynthia lalu membawa kopinya ke meja favoritnya, tepat di depan etalase roti. Masih dengan senyum yang ditahan, Langit menunggu Bima menawarkan dagangannya. "Croissant, Bu?" Akhirnya Bima mengucapkan kalimat "sakti" itu. Dengan anggukan manis, Bu Cynthia menyetujuinya. Bima pun mengantar sendiri roti pavorit wanita itu, Cheese Croissant ke mejanya, dan lagi-lagi, Bu Cynthia menghadiahi Bima senyum genitnya. Kali ini, Langit tak bisa lagi menahan tawa kecil melihat wajah Bima yang memerah saat kembali ke konter. Mas Bima memang tak terbiasa digoda wanita, apalagi yang agresif. Dan sepertinya Bu Cynthia bukanlah tipe idamannya. Pagi itu berlalu seperti biasa. Kesibukan tak henti hingga menjelang makan siang, saat kafe mulai sepi. Waktu istirahat pun tiba, bergantian antara Langit dan Bima, sebelum hiruk pikuk kembali menjelang sore hingga kafe tutup. Mas Bima memang tak suka banyak karyawan. Baginya, satu karyawan yang bisa merangkap banyak pekerjaan lebih efisien. Lagipula, berdua saja sudah cukup. Inilah yang membuat hubungan mereka begitu erat, bak kakak-beradik. Dan itu pula yang membuat Langit betah bekerja tiga tahun bersamanya. Dengan gaji barista di Kafe Dewa, ia bisa menghidupi dirinya dan Mentari, adik semata wayangnya. ... Seputih asap rokok yang terembus ke angkasa, beban pikiran Langit seolah ikut melayang. Ia menyandarkan tubuh di kursi kayu panjang-entah dari mana Pak Riswan mendapatkannya, menikmati ritual pribadinya di teras belakang kafe. Meskipun tempat itu berisik oleh dengung kompresor pendingin udara dan sengatan panas yang menyengat, sudut tersembunyi itu adalah surganya. Di sinilah ia menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk kota, sejenak melupakan peran sebagai barista, dan membiarkan pandangannya lepas membelai siluet gedung-gedung pencakar langit yang gagah menjulang. Mas Bima jarang sekali menjejakkan kaki di sini. Baginya, istirahat berarti berhadapan dengan layar komputer, sibuk mengurus t***k bengek administrasi kafe. Bima juga sangat menjaga tubuhnya; gemar olahraga, anti rokok, dan pola makannya pun teratur. Tak heran, di usia yang hampir empat puluh, ia masih terlihat layaknya pria dua puluh delapan tahun, seumuran Langit. Langit menatap rokok di tangannya, tinggal setengah. Dihisapnya dalam-dalam sekali lagi, lalu mematikannya. Ia teringat sebuah janji pada Mentari untuk berhenti merokok. Adiknya itu selalu khawatir ia akan jatuh sakit. Ia meluruskan kedua kakinya, menyandarkan pada pagar pembatas tembok, lantas menyeruput es tehnya. Siang ini, perutnya masih penuh oleh bubur sumsum buatan Devia pagi tadi. Ah, Devia... Senyum kecil mengembang di bibirnya saat bayangan wajah gadis itu yang tersipu malu melintas. Namun, lamunan Langit buyar seketika oleh sebuah notifikasi pesan singkat. Pesan yang selalu sukses membuatnya pening kepala. "Jangan lupa, Maaaas. Ditunggu transferannya. Kalo gak, besok aku banguninnya pake air segayung!" Langit mengelus d**a, tersenyum pasrah. Sabar! Enam bulan lagi Mentari lulus, bisiknya dalam hati, mencoba menenangkan diri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.6K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
30.9K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.0K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
50.8K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.6K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook