Langit mengamati sekeliling kafe yang kini senyap dan bersih sempurna. Lantai sudah mengkilap, kursi-kursi bertengger rapi di atas meja, dan konter sudah kinclong berkat sentuhan akhir Mas Bima sebelum pulang tadi. Napas lega terembus dari dadanya. Tugasnya usai, kini saatnya kembali ke sarang.
Dari jendela kaca, langit perlahan memudar menjadi jingga, disusul semburat kelabu. Perut Langit mendadak protes, keroncongan nyaring. Siang tadi, hanya sepotong roti yang mengganjal lambungnya. Buru-buru ia mengenakan jaket, bersiap angkat kaki. Namun, langkahnya terhenti. Sebuah suara, samar, tapi begitu mencurigakan, berasal dari balik pintu belakang yang terkunci.
Perlahan, Langit membuka pintu itu, melangkah hati-hati. Matanya menyapu setiap sudut teras yang familiar itu. Kosong. Tak seorang pun terlihat. Kursi panjang favoritnya pun masih setia di tempatnya, sunyi seperti saat ia tinggalkan tadi sore.
Ia melangkah lebih jauh, menyusuri teras hingga ke sudut yang remang. Seketika, matanya terpaku. Sesosok wanita berdiri membelakanginya, di atas pagar tembok yang sempit. Jantung Langit mencelos. Wanita itu tampak siap melompat ke jalanan di bawah sana. Sepatunya sudah terlepas, tergeletak di lantai. Kedua kakinya tampak bergetar hebat.
"Heiiii!" Langit berteriak, suaranya memecah kesunyian senja. Wanita itu tersentak, menoleh terkejut.
"Jangan mendekat!" Teriak wanita itu, sorot matanya penuh ketakutan.
Samar-samar, Langit melihat mata wanita itu basah. Ia menghentikan langkah, mengangkat kedua tangan di depan d**a. Jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha mati-matian menenangkan diri.
"Oke! Gue bukan mau ngelarang lu bunuh diri. Tapi please! Jangan di sini! Ini tempat gue nyari duit. Kalo lu mati di sini, kafe gue sepi! Gue bisa dipecat, terus adik gue enggak bisa makan, enggak bisa sekolah... Terus gue mau minta sama siapa? Lu enak udah jadi arwah!"
Wanita itu menatap Langit dengan kesal, lantas memalingkan wajahnya kembali ke depan, bersiap untuk melompat lagi.
"Oke! Oke! Oke! Gini deh, lu kalo mau bunuh diri jangan di sebelah situ. Bawahnya pos satpam. Lu enggak bisa langsung mati. Mending geser dikit ke sini yang terang. Bawahnya paaas banget jalanan."
Kini langkah Langit semakin mendekat, jantungnya berpacu lebih kencang. Tangannya gemetar, bersiap menarik gaun panjang wanita itu yang berkibar-kibar ditiup angin. Dan ketika wanita itu akhirnya menoleh kembali, dengan sigap Langit menarik gaunnya. Wanita itu jatuh menimpanya. Langit terempas ke lantai semen yang keras, merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Ia melihat wanita itu langsung bangkit dengan wajah panik.
"Kamu enggak apa-apa?" Wanita itu mencoba membantu Langit bangun. Tapi Langit meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang pusing tujuh keliling. Samar-samar, ia melihat wanita itu semakin panik. Langit memejamkan mata menahan sakit, dan semuanya gelap.
Dengan mata terpejam, Langit merasakan kehangatan aneh di bawah kepalanya, bukan bantal empuk kamarnya. Perlahan, ia membuka mata, kesadarannya kembali. Ia sedang berada di dalam mobil yang melaju, tapi ada yang aneh. Matanya seketika terbelalak saat mendapati wajah itu menatapnya sangat dekat. Jantungnya serasa copot. Seketika ia menjerit, membuat mobil mendadak mengerem, ban berdecit. "Kok, lu lagi?!" Omelnya, baru sadar kepalanya tadi berada di pangkuan wanita itu.
Wanita itu tak kalah terkejut, matanya membulat. "Gue lagi berusaha nolongin lo! Gue mau bawa lo ke rumah sakit!" Sahutnya kesal, suaranya sedikit meninggi.
"Enggak usah! Gue enggak kenapa-kenapa. Udah sadar! Gue mau balik aja sekarang!" Langit mencoba bangkit, tangannya masih memegangi kepalanya yang berdenyut hebat.
"Ke rumah sakit aja kali. Diperiksa dulu. Kalo kenapa-kenapa?" Wanita itu memandang Langit dengan sorot cemas, alisnya bertaut.
"Yang kenapa-kenapa itu otak lu..." Langit belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika wanita itu tiba-tiba menempelkan telunjuk di bibirnya, matanya melirik tajam ke arah sopir yang sedang memegang kemudi.
Langit melotot, kesal bukan main. "Pak, saya mau turun di sini!" Teriaknya, tangannya sudah meraih gagang pintu mobil.
"Oke! Oke! Gue anter lo ke rumah!"
Langit akhirnya menyerah. Ia tahu percuma melawan, apalagi ia sudah terlalu jauh dari motornya. Ia menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata, berusaha menahan pusing yang masih berputar.
Dari samping, wanita itu tak henti memandangi Langit, wajahnya semakin keruh. Jemarinya saling meremas gugup, bibirnya digigiti berulang kali. Ia tak berani lagi membuka suara, takut salah bicara dan memicu amarah laki-laki yang sengaja duduk menjauh darinya itu. Atmosfer di dalam mobil terasa tegang, hanya diisi deru mesin dan detak jantung yang tak beraturan.
Tiga puluh menit terasa begitu panjang. Akhirnya, mobil berhenti di depan rumah Langit. Ia buru-buru meminta wanita itu menghilang saat mendengar suara Mentari berlari menghampirinya.
"Mas Lang? Dari mana aja, sih? Barusan Mas Bima telepon. Katanya Mas Lang jatuh?" Mentari menyambutnya dengan wajah penuh khawatir.
"Iya, tadi habis ketabrak orang gila," sahut Langit asal.
"Terus? Orang gilanya gimana?"
"Hah?!" Langit membelalakkan matanya. "Kok, malah orang gilanya yang ditanyain?!" Omelnya tak habis pikir.
Mentari tertawa renyah. "Ya, takutnya dia kenapa-kenapa? Memangnya Mas Lang lagi ngapain, sih? Kok bisa ketabrak orang gila?" Tanyanya lagi, membuntuti Sang Kakak yang berjalan menuju ruang makan.
"Enggak lagi ngapa-ngapain, dianya aja yang stres pakai nabrak orang."
Mentari mengerutkan keningnya. "Mana ada orang gila stres? Justru orang kalo kelamaan stres bisa jadi gila," sahutnya, mengoreksi.
Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ia memang tidak pernah bisa membohongi adiknya yang cerewet itu. "Dan kalau Mas dengerin ocehan kamu terus, Mas juga bisa jadi gila," sahutnya gemas.
Mentari kembali tertawa. "Terus tadi Mas, naik apa ke sini? Kok, enggak bawa motor?" Kejarnya lagi.
"Taksi online. Motornya mogok," dusta Langit, berharap Mentari berhenti bertanya.
"Kok, mogok?"
Kini Langit menatap Sang Adik sambil melotot. "Kamu cerewet banget sih, Dek? Mas lapar, nih!" Sahutnya kesal. Ia lalu membuka penutup makanan di atas meja. Seketika, mulutnya menganga lebar. Tampak sepiring Udang Saus Padang kesukaannya yang begitu menggiurkan. "Tumben amat? Siapa yang kasih?" Tanyanya dengan mata berbinar.
"Siapa lagi? Dari cewek yang di-php-in Mas Lang?" Sungut Mentari, menyilangkan tangan.
"Lah, siapa yang php-in? Dianya aja yang kerajinan," sahut Langit seraya menyendok nasi ke atas piring dan menumpahkan seluruh udang di atasnya hingga tak bersisa. "Kamu udah makan kan, Dek?" Tanyanya, baru sadar ia lupa menyisakan untuk Sang Adik.
Mentari tak menjawab, hanya memandang Langit sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kasihan lah, Mas, sama Kak Via. Ajak gitu sekali-kali nonton, biar girang," sungutnya.
Langit mengangkat kedua alisnya. "Kasihan? Biarin aja, dia kan anaknya Bu RT?" Sahutnya sambil mengaduk-aduk nasinya dengan sendok.
"Lah, apa hubungannya kasihan sama Bu RT?" Gerutu Mentari, tak mengerti logika Sang Kakak.
Langit menarik napasnya dalam. "Memangnya ngajak nonton cewek cukup lima puluh ribu? Belum minum, makannya, jajannya? Memang kamu mau? Mas enggak kasih ongkos selama satu minggu?" sahutnya, mencoba memberi pengertian.
"Uuuh! Dasar, pelit!" Mentari mencebikkan bibirnya, lalu beranjak pergi menuju kamarnya.
"Nanti nunggu kamu lulus dulu, enam bulan lagi. Itu juga kalo kamu masih enggak mau kuliah!" Teriak Langit.
"Bukannya enggak mau. Aku mau kerja dulu sambil ngumpulin biaya kuliahnya. Lagian, memangnya Mas Lang punya duit?" Sahut Mentari seraya menutup pintu kamar, meninggalkan Langit sendirian.
Langit kembali menghela napas, terasa semakin berat. Disuapnya nasi udang ke dalam mulut sambil termenung, ingatannya melayang ke masa lalu. Andaikan orang itu enggak menghancurkan hidup kita, Dek, batinnya kembali pilu. Namun, ia cepat tersadar. Ia tak boleh terus-menerus meratapi nasibnya. Ia harus bangkit dan berjuang demi Mentari. Buru-buru dihabiskannya sisa makanan di atas piring. Kepalanya yang masih terasa sakit membuatnya ingin secepatnya berbaring di dalam kamarnya.
Di atas kasurnya, Langit membaringkan tubuhnya, meringis. Setiap gerakan kecil terasa seperti palu godam di kepalanya. Sejak tadi ia mati-matian menahan sakit, tak ingin Mentari tahu. Adiknya itu terlalu mudah panik dan cerewetnya minta ampun. Kalau sampai ia tahu, bisa-bisa Devia datang ke rumah pagi-pagi buta dengan membawa obat gosok.
Langit mencoba memejamkan mata, berharap rasa pusing segera lenyap. Tapi justru bayangan wajah perempuan itu malah memenuhi pikirannya, membuat kepalanya terasa semakin sakit. Dasar perempuan sinting! Mimpi apa gue semalam sampai ketiban orang gila? Umpatnya dalam hati. Namun, tiba-tiba, amarahnya meredup, digantikan oleh ingatan akan sorot kesedihan yang begitu dalam di kedua mata perempuan itu. Wajahnya memang cantik, tapi kulitnya sangat pucat. Rambut panjangnya nampak kusut dan berantakan, seolah tak pernah tersisir berminggu-minggu. Dia pasti sangat depresi. Siapa dia? Mengapa dia begitu putus asa? Gumamnya, pertanyaan-pertanyaan itu berputar tak henti, menusuk benaknya yang sudah sakit.