Suara klakson mobil yang melengking nyaring membuat Langit langsung melesat keluar dari dalam rumah, melompat masuk ke dalam mobil yang menunggunya itu. "Sori, Mas Bim, ngerepotin!" ucapnya pada pria di balik kemudi.
"Emang lu beneran udah enggak apa-apa?" Bima menatapnya sekilas, lalu kembali melajukan mobil.
"Enggak! Dari semalam juga udah enggak kenapa-kenapa. Cuma pingsan sebentar," sahut Langit, tangannya diam-diam memegangi kepala yang masih berdenyut. Ia memang memaksakan diri masuk kerja. Tak tega membiarkan Mas Bima sendirian di kafe, apalagi hari Jumat selalu jadi puncak keramaian.
"Hai, Via!" Tiba-tiba Langit menurunkan kaca mobil. Matanya menangkap sosok Devia tengah menyirami tanaman di halaman rumahnya. Ia melambaikan tangan, menebar senyum termanisnya—ingat pesan Mentari untuk membalas kebaikan gadis itu. Devia tampak terkejut, rona merah tipis langsung menjalar di pipinya.
"Memangnya dia masih suka kasih donasi makanan?" Tanya Bima, melirik Langit yang hanya membalas dengan cengiran.
Bima menggeleng-gelengkan kepala. "Habis kebentur, otak lu jadi tambah ngaco. Lagian, ngapain sih lu semalam pakai naik-naik pagar tembok segala?" Tanyanya, penasaran.
Langit melongo, menatap Bima bingung. "Siapa yang manjat tembok? Iseng amat gue?" Sahutnya, merasa dituduh.
"Lah, kata Pak Satpam cewek itu bilang lu yang manjat ke tembok, terus waktu lu lompat nimpa dia?" Kini Bima ikut kebingungan.
"Wah, bener tuh cewek memang stres!" Langit menghela napas kesal. Sambil menahan rasa pusing, ia pun menceritakan kronologi kejadian semalam pada Bima.
Bima tergelak mendengar cerita Langit. Tawanya memenuhi kabin mobil. "Lu tahu enggak, siapa cewek itu sebenarnya?" Tanyanya, ekspresinya berubah serius.
Langit menggeleng. "Enggak perlu tahu. Buat apa juga?" Sahutnya malas.
"Anaknya Pak Subagja!"
Jawaban Bima membuat Langit terperanjat. "Yang punya Gedung Bagja Tower? Masa sih? Kok, gue enggak pernah lihat?" Tanyanya tak percaya.
Bima menggeleng. "Mungkin baru pulang dari luar negeri. Ketiga anaknya kan, kuliah di luar semua."
"Terus kenapa dia stres? Sampai mau bunuh diri?" Tanya Langit lagi, rasa penasaran mulai menggerogoti.
Bima kembali menggeleng, tak punya jawaban.
"Hidup orang kaya memang complicated," gumam Langit, memalingkan wajahnya kembali ke jalanan macet di hadapannya.
Bima tersenyum tipis. "Jangankan dia. Hidup lu aja complicated," sahutnya, menatap kemacetan dengan gusar. "Bisa telat nih, buka kafe," keluhnya.
Tiga puluh menit kemudian akhirnya mobil tiba di depan lobi Gedung Bagja Tower. "Gue belanja dulu sebentar. Sebelum makan siang udah balik," ucap Bima.
"Siap, Mas!" sahut Langit, sigap mengeluarkan boks roti dari kursi belakang, lalu menentengnya masuk ke dalam gedung.
"Pagi, Mas Langit!" Pak Riswan menyambut Langit di depan lobi dengan senyuman ramahnya.
"Hari ini Pak Riswan tugas pagi?" tanya Langit.
"Ya, Mas. Maaf nih, enggak bisa bantuin dulu," sahut Pak Riswan seolah tahu apa yang ada di pikiran Langit.
"Enggak apa-apa, Pak!" Sahut Langit, menutupi kekecewaannya. Ah! Padahal ia sangat berharap Pak Riswan dapat membantunya di saat-saat darurat seperti ini. Ia sudah terlambat setengah jam untuk membuka kafe.
Dua puluh menit kemudian, dengan napas terengah, kafe akhirnya siap dibuka. Langit membalikkan tanda "OPEN" di pintu kaca, siap menyambut pelanggan pertama. Namun, jantungnya mendadak berdebar. Seorang wanita berdiri tepat di depan pintu, memandanginya sambil tersenyum. Sejenak Langit terpaku, lalu melangkah mundur saat wanita itu membuka pintu dan melangkah masuk. "Selamat pagi, Mas Langit!" Sapanya dengan wajah berseri.
Langit masih diam terpaku, menatap wajah wanita itu. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi tatapan putus asa yang semalam memenuhi matanya. Dia seolah bukan wanita yang ditemuinya tadi malam. Lalu, seolah tersadar dari hipnosis, Langit dengan cepat berlari ke pintu belakang, menguncinya rapat, lalu memasukkan kunci itu ke dalam saku celananya.
Wajah wanita itu mendadak berubah, senyumnya lenyap. "Lo pikir gue mau bunuh diri lagi?!" ucapnya kesal, suaranya sedikit meninggi.
"Lah, terus mau ngapain ke sini?" Sungut Langit, menghampiri wanita itu dengan melipat kedua tangannya di depan d**a, seolah ingin menghalangi wanita itu pergi ke teras belakang.
"Nih! Semalam Jaket lo ketinggalan di mobil." Wanita itu mengulurkan sebuah bungkusan plastik pada Langit.
"Thanks!" Sahut Langit acuh, mengambil bungkusan itu, namun tetap pada posisi waspada.
Tapi wanita itu masih belum beranjak pergi. Dia masih berdiri memandangi Langit, tatapannya sulit diartikan.
"Terus? Mau ngapain lagi?" tanya Langit dengan nada galak. Sungguh, ia masih merasa kesal dengan kejadian tadi malam. Karena wanita itu, kepalanya sakit semalaman sampai tak bisa tidur. Dan ia juga takut wanita itu akan melakukan perbuatan nekatnya lagi.
"Gue mau minta maaf!" Wanita itu kini mengulurkan tangannya, ragu.
Dengan malas, Langit membalas uluran tangannya, sentuhan mereka singkat. "Oke! Done! Udah gue maafin. Sekarang lu bisa pergi. Gue mau kerja!" sahutnya, seraya masuk ke dalam konter, berusaha mengakhiri interaksi.
"Ini kan, tempat umum? Gue mau di sini lama juga enggak masalah, kan?"
Kini Langit menghela napas panjang, berusaha menahan kesabarannya yang setipis kertas. "Terserah lu aja, deh," sahutnya pasrah. Namun, mendadak kepalanya kembali pusing. Ia memegangi kepalanya, meringis.
"Are you okay?" Wanita itu memandangi Langit dengan cemas, maju selangkah.
"Tadi sih sebelum lu datang, kepala gue baik-baik aja. Sekarang kambuh lagi," sahut Langit acuh, nadanya menyiratkan tuduhan.
"Gue antar ke dokter, ya?" Wanita itu terlihat semakin cemas, tangannya terangkat seolah ingin membantu.
"Gue udah bilang dari semalam, enggak perlu! Nih, gue udah beli obat," sahut Langit, menunjukkan sebutir permen yang diambilnya dari laci konter lalu memasukkannya ke dalam mulut. Ia menunggu wanita itu pergi.
Tapi wanita itu seperti tak ingin pergi. Dia masih berdiri di hadapan Langit, tatapannya bingung.
"Sekarang lu mau ngapain lagi?" Langit kembali memandang wanita itu dengan gemas.
"Ya, udah gue mau pesan kopi," wanita itu menyahut dengan kesal, menyerah.
"Kopi apa?" tanya Langit, nada suaranya datar.
"Terserah!"
Langit mengembuskan napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Dibuatkannya secangkir kopi latte panas untuknya.
"Oh iya, kita kan, belum kenalan?" Wanita itu kembali mengulurkan tangannya pada Langit.
"Lu kan, udah tahu nama gue?!" sahut Langit lagi dengan cueknya. Wanita itu menarik tangannya kembali, tatapannya sedikit terluka, lalu membawa kopinya ke meja di sudut ruangan yang tak terlihat.
Langit kembali menghela napas. Diperiksanya saku celananya untuk memastikan kunci teras belakang yang ia sembunyikan masih berada di sana. Ia sangat takut wanita itu akan kembali melakukan perbuatannya. Diam-diam diperhatikannya wanita itu dari jauh. Entah kenapa, rasa khawatir kini mulai menyelimuti hatinya.
Beberapa saat kemudian, satu per satu pengunjung kafe mulai berdatangan. Sejenak, Langit melupakan wanita itu. Ia tenggelam dalam kesibukannya hingga siang menjelang, saat akhirnya Bima datang dengan menenteng dua kantong besar belanjaan kafe.
"Ramai, enggak?" tanya Bima, meletakkan belanjaan.
"Pagi ini sih, lumayan, Mas. Baru aja pada bubar," sahut Langit, seraya membuka apron dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Akhirnya, ia bisa meluruskan kakinya sejenak.
"Terus itu siapa?" Bima menunjuk ke meja di sudut ruangan yang tak terlihat, alisnya terangkat.
Langit tersadar. Wanita itu ternyata masih di sana. Dipandanginya Bima dengan enggan. Ia malas sekali untuk menjelaskannya. "Perempuan yang semalam itu. Dari pagi dia di sini. Enggak tahu mau ngapain?" sungutnya.
"Loh. Ya, ngopi, lah. Dia beli kopi, kan?" Kini Bima memandang Langit dengan aneh. Langit kembali tersadar, bagi Mas Bima, tak ada orang yang dianggapnya aneh di kafenya selama mereka tak mengganggu dan membayar kopinya.
"Jangan bilang kalau dia lagi nungguin lu?" Bima menatap Langit dengan curiga.
Langit menggeleng. "Tadi dia udah minta maaf sama gue, dan udah gue maafin."
"Terus...?" Bima menunggu kelanjutan, dahinya berkerut.
Kini Langit menatap Bima dengan bingung. "Ya, udah gitu aja," sahutnya, merasa tak ada yang perlu dijelaskan lagi.
"Lu pasti cuekin dia, kan?" Bima menatap Langit lebih dekat, mencoba membaca pikirannya.
Langit memalingkan wajahnya, berusaha menghindari tatapan menusuk Bima.
"Lu masih ingat kan, Lang, dia itu siapa?" kejar Bima lagi, suaranya mengandung peringatan.
"Tapi gue enggak tahu dia maunya apa, Mas," jawab Langit dengan nada malas.
Kini Bima menarik kembali wajahnya. "Enggak mungkin lu enggak tahu. Dari dulu kelakuan lu enggak pernah berubah. Lu sering banget cuekin pelanggan cewek sampai-sampai mereka malas datang ke sini lagi."
"Gue kan, enggak punya waktu buat melayani cewek-cewek centil itu," sungut Langit, membela diri.
Bima menahan senyumnya. Ia tahu Langit tidak suka dengan pelanggan-pelanggan wanita yang kerap menggodanya di kafe. Ia merasa risih. "Tapi itu kan, bagian dari marketing juga, Lang. Kalau lu bisa sedikit ramah sama mereka, omzet kita bakalan cepat naik."
"Gue mendingan disuruh yang lain aja, deh, Mas. Dia itu ribet!" sahutnya, bersikeras.
Bima menggeleng. "Enggak bisa! Ini tuh, anaknya Pak Subagja. Sekarang lu samperin dia. Terus duduk di sana lima menit. Atau lu mau gue pecat?" ancamnya, suaranya tegas.
Langit membelalakkan kedua matanya. Dilihatnya wajah Mas Bima yang tampak sungguh-sungguh.
"Lu mau dia lapor ke bapaknya karena lu cuekin, terus kita enggak bisa sewa tempat di sini lagi?" ujar Bima lagi dengan mata melotot, memperjelas ancamannya.
"Ya, kali segitunya?" gerutu Langit, masih tak percaya.
"Ya, memang segitunya, Lang. Dia itu lagi depresi. Dia bisa melakukan hal apa aja yang tak terduga."
Dan Langit pun akhirnya menyerah. Dengan enggan, ia menghampiri wanita itu. Ah! Mas Bima memang sangat berlebihan. Ia selalu saja mementingkan pelanggan daripada perasaannya, gerutunya dalam hati.
Wanita itu menyambut Langit dengan senyuman lebar. Tapi Langit melihatnya seperti sebuah ejekan. Dia pasti tahu Bima yang memintanya untuk menemuinya.
"Malia!" Wanita itu mengulurkan tangannya.
Dengan enggan, Langit menyambut uluran tangannya. "Langit!" sahutnya singkat.
"Aku mau bilang terima kasih karena kamu udah nyelamatin aku. Dan sekali lagi aku minta maaf karena udah bikin kamu jadi sakit kepala," ucap Malia dengan tulus, sorot matanya melembut.
Langit mengangguk. "Oke. Permintaan maaf diterima! Masalah selesai!" sahutnya dengan wajah yang masih dingin.
"Hmm... Apa aku boleh jadi teman kamu?" Malia menatap Langit dengan ragu, ada secercah harapan di matanya.
Langit balik menatap gadis itu dengan bingung. Digaruknya kepalanya yang tak gatal. Perasaan gue yang kebentur? gumamnya. Untuk apa gadis seperti ini ingin berteman dengannya? Namun ia tak berani menolak. Dan ia pun kembali mengangguk.
Malia menyunggingkan senyumnya, senyum yang sedikit lebih cerah. "Aku boleh minta nomor hape kamu?" tanyanya lagi seraya mengulurkan ponselnya.
Langit mengangkat kedua alisnya. Nomor hape? Ah! Dasar cewek ribet! Langit hampir saja menolaknya, saat kemudian ia menyadari Mas Bima tengah mengawasinya dari jauh, seolah siap melemparkan ancaman lagi.
Akhirnya Langit mengetikkan nomornya di ponsel itu. "Oke! Sekarang udah semuanya, saya mau istirahat dulu." Ia melirik arlojinya, waktu lima menitnya sudah habis. Ia pun beranjak pergi.
Dari balik punggung Langit, Malia memandanginya dengan senyum yang lebar dan mata yang berbinar.