Perempuan Pengganggu

1386 Words
"MAAAAS! MAAAAS! BANGUUUN!" Langit masih terombang-ambing di lautan mimpi, menyelami kedalaman alam bawah sadar, ketika sebuah guncangan brutal merenggutnya. Suara yang menggema memekakkan telinga menghantam, membalik tubuhnya hingga terpelanting di kasur. Sosok itu lagi. Seringai kejam dari makhluk satu darahnya terpampang nyata di depan mata. "BANGUUUUN!" Kelopak mata Langit terbuka dengan berat dan enggan, seolah ada beban ribuan ton yang menahannya. "Duh, De! Kamu tahu nggak sih, ini tuh HARI LIBUR?" Gerutunya, suara serak masih bercampur kantuk. Ditatapnya wajah Mentari, sang pengacau mimpi. "Ada cewek cantik nyariiiin!" Jerit Mentari lagi, suaranya melengking. "Aduuuh! Ya udah, ambil aja makanannya. Biasanya juga langsung balik!" Langit kembali mengempaskan tubuhnya ke atas kasur, berusaha merengkuh kembali selimut nyamannya. "Bukan Kak Via! Makanya banguuun!" Tanpa ampun, Mentari menarik lengan Langit, membuat tubuhnya terpaksa berbalik lagi. Tapi Langit tak peduli. Matanya masih tertutup rapat, menolak untuk terbuka. Ia tak percaya sedikit pun pada rayuan adiknya. Pernah ia melakukan hal yang sama, membangunkannya di hari libur hanya karena teman-teman perempuannya ingin kenalan, dasar abg ganjen. Gerutuan tanpa suara itu kembali menggema dalam benaknya. "MALIA!" Nama itu memaksa otak Langit berpikir keras, mencerna. Perasaan penah dengar? Di mana, ya? Langit mencoba menggali memori. Dan sesaat kemudian, matanya membulat sempurna, kedua alisnya terangkat tinggi. Hah?! Perempuan itu lagi?! "MALIA?!" Jeritnya, tubuhnya otomatis terduduk tegap di atas kasur. Mentari mengangguk, senyum puas merekah di bibirnya. "Di sini? Di rumah ini?!" Tanya Langit lagi, suaranya sarat keterkejutan tak percaya. Dan Mentari kembali mengangguk, bahagia melihat kepanikan yang tergambar jelas di wajah sang Kakak. Langit mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus semua mimpi buruk dan kenyataan yang baru saja menghantamnya. Ya Tuhan! Mengapa Kau datangkan makhluk pengganggu itu di hidupku? Jeritnya dalam hati. Setelah menyadarkan diri dengan guyuran air dingin di wajahnya yang masih memerah karena kesal, akhirnya Langit menyeret langkah, menemui orang yang memaksanya bangun pagi di hari termalasnya itu. "Hai!" Sapa Malia dengan senyuman manis yang entah mengapa, terasa berbeda. Ia terlihat sangat segar dengan pakaian olahraga berwarna pink cerah, wajahnya merona merah alami, dan butiran keringat berkilauan di keningnya. Sesaat Langit tertegun, tatapannya terpaku. Kenapa sekarang dia jadi semanis ini? Kekaguman itu melintas cepat, namun ia buru-buru tersadar. Dengan enggan, ia duduk di hadapan Malia, lalu menunggunya kembali berbicara. "Aku habis lari pagi tadi, terus langsung mampir ke sini. Sekalian bawain sarapan!" Sahut Malia, seolah tahu apa yang berputar di benak Langit. Tapi Langit hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh, hingga sebuah injakkan keras di kakinya membuatnya tersentak. Mentari menatapnya, melotot tajam, memberi sinyal peringatan. "Makasih ya, Kak! Udah repot-repot," Jawab Mentari, suaranya sengaja dibuat manis, sambil melirik ke arah Langit yang meringis kesakitan, mengusap-usap jempol kakinya yang terasa nyeri. Di atas meja sudah terhidang empat gelas karton kopi panas yang mengepulkan aroma harum, dan satu dus kue-kue pastry dari merek terkenal yang terlihat menggoda. "Aku nggak tahu di sini ada berapa orang, jadi mudah-mudahan kopinya cukup?" Ucap Malia, tatapannya menyapu ruangan. "Oh! Malah kelebihan kok, Kak. Kita cuma berdua aja di sini," sahut Mentari cekatan, seraya mengambil segelas kopi lalu menyodorkannya tepat di depan wajah sang Kakak. "Nih! Biar bangun!" Ucapnya. "Kamu ke sini cuma mau kasih ini?" Akhirnya Langit membuka suara, nadanya datar. Malia mengangguk. "Repot amat, kan bisa ojol?" Sambungnya, masih dengan nada tak acuh. Namun kemudian, ia kembali meringis kesakitan ketika kaki Mentari kembali menghujam jempol kakinya dengan keras dan tepat sasaran. "Ok... Thanks... Buat semua ini," ucap Langit, suaranya tertahan, sambil memandang kesal adiknya yang tersenyum puas dan penuh kemenangan melihatnya kesakitan. "Aku juga mau... Undang kamu...?" Suara Malia terdengar ragu-ragu, seolah takut mengucapkan kalimat selanjutnya. "Hmm... Mama sama Papa mau ketemu sama kamu..." "HAH?!" Langit hampir saja tersedak kopinya, mata melebar sempurna. "Wait...wait...wait? Kamu minta aku melamar kamu?!" "Iiiihhh, Mas, dengerin dulu! Kegeerean banget!" Mentari mencubit tangan Langit dengan gemas, namun kuat. "Aduh! Sakit, De! Kamu dari tadi KDRT mulu!" Omel Langit sambil mengusap-usap tangannya yang memerah. Pemandangan pertengkaran kakak-beradik itu membuat Malia tak bisa lagi menahan tawa, suara renyahnya memenuhi ruangan. "Hmm... Papa sama Mama mau kenalan sama kamu. Mau ngucapin terima kasih karena kamu udah nyelamatin aku," lanjut Malia, senyumnya kini sedikit meredup. Mentari menatap Malia dengan terkejut. "Nyelamatin Kakak? Memangnya Kakak kenapa?" Tanyanya, rasa penasaran membuncah. Namun kemudian ia terdiam saat melihat Langit melotot tajam dan memberinya isyarat mutlak untuk pergi. "Aku ke belakang dulu, ya Kak," pamitnya, suaranya sedikit melunak, seraya beranjak meninggalkan Langit dan Malia di ruang tamu. Ia mengerti, ada saat-saat ketika kakak tercintanya itu tidak ingin berbagi cerita dengannya. "Oh! Bukannya kamu yang bilang ke orang-orang kalau kamu yang nyelamatin aku?" Sindir Langit, nada suaranya menusuk. Malia memandang Langit dengan rasa bersalah yang kentara. "Sorry..." Ucapnya lirih. Langit tersenyum sinis, seringai tipis muncul di bibirnya. "Kamu pasti sering bohong, ya?" Ucapnya lagi, menatap Malia lekat. Tapi Malia tak menyahut. Ditatapnya Langit penuh harap, matanya memohon. "Apa kamu bisa?" Tanyanya, suaranya hampir tak terdengar. "Nggak!" Sahut Langit dengan acuhnya, tanpa ragu. Malia menarik napas dalam, seolah mengumpulkan kekuatan. Wajahnya mendadak berubah, memancarkan kekecewaan. "Nggak semua kemauan kamu itu bisa dituruti setiap orang, Princess Malia!" Sahut Langit lagi, nadanya penuh penekanan. "Ini bukan kemauanku. Ini permintaan orang tuaku. Please?" Malia kembali memohon, suaranya putus asa. "Pokoknya, nggak!" "Aku boleh tahu alasannya?" "Loh, aku kan, punya hak untuk menolak atau nggak? Nggak ada hukumnya aku harus nurutin semua permintaan kamu, kan?" Sahut Langit dengan puas, seolah baru memenangkan sebuah argumen. Dan Malia pun kembali terdiam, lalu tertunduk, bahunya meluruh. Ia meremas-remas kedua tangannya dengan gelisah, tanda kegugupan yang jelas. Langit menyesap kopinya, matanya tak lepas memandangi Malia. Menerka-nerka, apa yang akan dilakukannya lagi? Apakah dia akan menunggu di sini sampai ia menyerah dan mengikuti keinginannya? Tidak! Kali ini tidak ada yang bisa memaksanya. Tapi Malia masih terdiam, wajahnya semakin gelisah dan tegang. Pemandangan itu, entah mengapa, membuat hati Langit pun akhirnya melunak. "Oke. Begini aja, kamu bilang sama Papa Mama kamu kalau aku udah lupain kejadian itu. Nggak perlu repot-repot ketemu aku, karena kalaupun bukan aku yang menolong kamu waktu itu, kalau Tuhan masih mau kamu hidup, pasti ada orang lain juga yang akan menyelamatkan kamu. Jadi, itu bukan hal luar biasa. Nggak perlu kamu jadi berlebihan ngerasa nggak enak sampai ngikutin aku berhari-hari cuma buat meminta maaf dan ngucapin terima kasih. Oke?" Ucapnya, nadanya kini lebih lembut. Dan dengan terpaksa, Malia pun akhirnya menyerah, melihat laki-laki di hadapannya itu seperti tak tergoyahkan lagi. Ia pun lalu beranjak pergi, langkahnya terasa berat. Langit menghembuskan napas lega sesaat mobil Malia meninggalkan halaman rumah. Dan Mentari buru-buru keluar dari dalam kamarnya, wajahnya penuh rasa penasaran. "Siapa sih, Mas? Gebetan baru ya?" Tanyanya, matanya berbinar. Langit menggeleng. "Musuh!" Sahutnya, sambil mengambil sepotong kue. "Kok, musuh?" Kejar Mentari, tak puas. "Dia pasti pelanggan kafe, kan?" Kejar Mentari lagi, tak sabar. "Iya, tapi bukan gebetan. Dia itu musuhnya Mas. Kalau ketemu kita pasti berantem," sahut Langit seraya memasukkan sepotong kue cokelat ke dalam mulutnya, mengabaikan pertanyaan adiknya. "Berantem itu salah satu tanda cinta, loh, Mas. Kak Malia itu kan, udah cantik, baik hati pula. Masak sih, Mas Lang nggak sukaaaa?" Goda Mentari, matanya mengerling usil. Langit memandang sang Adik dengan terkejut. "Loh, kamu kok, malah dukung dia? Bukannya kamu fans garis kerasnya Devia?" Sindirnya, alisnya terangkat. "Aku sih mana aja yang lebih menguntungkan. Kak Malia kan, kelihatannya juga lebih... tajir?" Mentari mengerling lagi, senyum usil terukir di bibirnya. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar, abg matre!" Serunya sambil mengacak-acak rambut Mentari dengan gemas lalu masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya. Masih didengarnya suara berisik Mentari yang terus mengganggunya. "MAAAAS! AKU SERIUS. AKU MERESTUI HUBUNGAN MAS LANG SAMA KAK MALIA!" Jerit Mentari sambil terus menggedor-gedor pintu kamar Langit. Dan jeritannya baru berhenti setelah Langit melemparkan bantalnya ke pintu kamar. Di atas tempat tidurnya, Langit merenung. Ia tak habis pikir. Mengapa gadis itu repot sekali datang pagi-pagi ke rumahnya yang sempit hanya untuk mengantarkan sarapan? Apa sebenarnya maunya? Apa dia tidak punya orang lain yang bisa diganggunya? Jangan-jangan benar dia naksir dirinya? Ah! Tidak mungkin! Tidak boleh terjadi. Langit mengusap wajahnya, seolah ingin membuang pikiran-pikiran negatif yang kini bermunculan bagai jamur di kepalanya. Kini Langit berusaha memejamkan matanya kembali. Tapi kafein yang diminumnya barusan membuat matanya tak lagi mengantuk. Akhirnya ia beranjak bangun, lalu keluar dari dalam kamar. Terdengar suara musik yang keras dan menggelegar dari dalam kamar Mentari yang tertutup rapat. Ia pun lalu mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya keluar rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD