Rumor

1247 Words
Langit mengayuh sepedanya mengelilingi kompleks perumahan, putaran demi putaran, napasnya sudah terengah-engah dan kausnya basah kuyup oleh keringat. Begitu mencapai taman, ia langsung meluruskan kakinya di atas rerumputan yang sejuk, mencari kelegaan dari rasa pegal yang mendera. Sudah terlalu lama ia meninggalkan sensasi roda yang berputar di bawahnya. Orang-orang lalu lalang di depannya, memulai aktivitas olahraga pagi mereka. Ada yang bersepeda dengan riang, ada yang berlari ringan, dan ada pula yang berjalan santai bersama keluarga, pasangan, atau teman-teman. Sebuah desahan panjang lolos dari bibir Langit. Teman? Sudah tiga tahun ia tak pernah lagi berkumpul dengan teman-teman lamanya, sejak ia pindah ke rumah itu. Ia sengaja menghilang, membangun tembok tinggi agar tak ada yang bisa melacak keberadaannya. Ia ingin menata hidup baru, menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab penuh untuk satu-satunya keluarga yang ia miliki: Mentari. Masa lalu yang penuh dengan kesenangan semu dan kehidupan yang keras telah ia tinggalkan jauh di belakang. Kini, fokusnya hanya satu: bekerja keras demi mencukupi kebutuhan mereka berdua. Mentari adalah tumpuan hidupnya, dan meskipun lelah sering kali merayap, ia mencoba bertahan. Cita-citanya sendiri sudah ia lupakan, terkubur di bawah prioritas Mentari. Ia bertekad akan membiayai adiknya hingga ke perguruan tinggi, memastikan Mentari lulus sarjana, tak seperti dirinya yang harus putus kuliah. Matahari mulai memancarkan sinarnya yang hangat, menyorot ke atas, Langit merasakan panggilan dari tujuan berikutnya. Ia bangkit, mengayuh sepedanya lagi, menempuh lima belas kilometer menuju sebuah pemakaman umum. Setibanya di pemakaman, Langit memarkirkan sepedanya di tepi jalan kecil beraspal. Langkahnya menelusuri jalan setapak hingga berhenti di depan dua makam yang bersisian. Ia bersimpuh, memanjatkan doa. Tak ada lagi kesedihan yang terlihat di wajahnya. Ia tak ingin kedua orang tuanya melihatnya terpuruk dalam duka. Ia ingin mereka melihatnya sebagai laki-laki dewasa yang kuat, meskipun terkadang kerapuhan masih mengintainya. Sudah tiga bulan ia tak berkunjung. Rumput liar tumbuh subur di sekeliling makam, dan dedaunan kering menutupi nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya. Langit memunguti daun-daun itu, mengusap nisan dengan lembut. Ia mencoba tersenyum, menyembunyikan hatinya yang kembali terasa pilu-rasa yang selalu datang setiap kali ia menginjakkan kaki di tempat itu. Setelah beberapa saat, Langit bangkit, mengayuh sepedanya pulang. Lelah dan kantuk menyerangnya. Kasur empuknya memanggil-manggil. Namun, sesampainya di rumah, Langit terkejut melihat sepatu dan sandal yang berserakan di depan pintu. Seketika, ia teringat janjinya: les lukis untuk teman-teman Mentari. Langkah Langit melemah saat memasuki rumah. Harapan untuk melanjutkan tidurnya pupus sudah. Teman-teman Mentari sudah siap, dengan papan lukis dan cat di tangan masing-masing, mata mereka berbinar-binar. "Selamat Pagi, Mas Langit!" Sapa keenam remaja putri itu serempak. "Selamat Pagi juga!" Balas Langit, senyum terpaksa terukir di bibirnya. Mentari keluar dari dapur, terkejut melihat Sang Kakak. "Aduh! Aku kirain Mas Langit lupa! Tadi aku telepon, hapenya gak dibawa," sungutnya. Tangannya membawa senampan minuman dingin untuk teman-temannya. "Bilang sama teman-teman kamu, hari ini gak boleh ada yang pegang hape. Semuanya pegang kuas lukis. Dan gak boleh ada yang cengengesan. Harus serius!" Kata Langit, bergegas menuju kamar mandi. "Siap, Mas!" Jawab Mentari, menahan tawa. Langit keluar dari kamar mandi dengan pakaian bersih, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya tampak berantakan. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali memotong rambutnya. Sejak wanita itu meninggalkannya, ia jadi tak peduli lagi dengan penampilannya. Sial! Kenapa ia jadi mengingatnya lagi? rutuknya dalam hati. Langit berusaha menyunggingkan senyum kepada gadis-gadis remaja yang sudah berkumpul di studio lukisnya yang kecil. Jika bukan karena bayaran yang lumayan, ia enggan memberi les lukis kepada para abg tujuh belas tahun itu. Mereka sungguh menguji kesabarannya. Mereka seperti anak TK yang diberi buku gambar dan krayon; tak peduli apa yang digambar, yang penting bersenang-senang dengan warna. Kadang mereka lebih banyak bersenda gurau satu sama lain, dan kadang mereka hanya memandangi dirinya sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka gosipkan. .... Langit tiba di Bagja Tower lebih awal dari hari biasanya. Setiap Senin, pekerjaannya memang lebih banyak, sebab kafe membutuhkan pembersihan ekstra setelah libur akhir pekan. "Pagi banget nih, Mas Langit?" Sapa Pak Riswan, mendorong lebar pintu gerbang yang masih tertutup. "Biasa, Pak. Senin!" Sahut Langit. "Dinas malam, nih Pak?" Tanyanya penuh harap. "Iya, Mas! Nanti saya bantuin ya, Mas. Sambil minta kopi," bisiknya. "Siap!" jawab Langit sumringah. Di saat-saat seperti ini, bantuan memang sangat ia butuhkan. Benar saja. Lima belas menit kemudian, Pak Riswan menyusul ke kafe dan langsung membantu Langit. Pekerjaan pun selesai lebih cepat dari biasanya. Akhirnya, mereka duduk berdua di teras belakang kafe, menikmati kopi hangat yang mengepul. Sinar matahari pagi yang lembut mulai muncul dari balik gedung-gedung pencakar langit yang menjulang, menyirami mereka dengan kehangatan. Di kejauhan, suara riuh lalu lintas ibu kota yang baru saja terbangun mulai memadati jalanan, menciptakan simfoni khas pagi hari. "Mas Langit kemarin jatuhnya di sebelah mana?" Tanya Pak Riswan tiba-tiba, memecah keheningan. Langit memandang Pak Riswan, senyum tipis tersungging. Ia menyesap kopinya, otaknya berputar cepat. Apakah Pak Riswan benar-benar belum tahu, atau hanya ingin memancing? Setelah kejadian malam itu, gosip tentang dirinya memang beredar liar. "Di pojok sana itu," Langit menunjuk sudut teras dengan dagunya. "Kepeleset kakinya cewek itu. Karena gelap jadi gak kelihatan. Ya, akhirnya kita jadi jatuh berdua," lanjutnya, menjaga nada suaranya tetap santai. Ia tahu betul, ceritanya ini akan menjadi versi terbaru dalam "infotainmen gosip" para penghuni Bagja Tower, dan Pak Riswan adalah pembawa beritanya. Pak Riswan mendekatkan wajahnya, nadanya berubah berbisik. "Bukannya Mbak Malia itu mau lompat dari atas gedung, Mas?" Senyum kecut muncul di bibir Langit. Ternyata dugaannya benar, Pak Riswan hanya memancingnya. "Kok, Pak Riswan tahu?" Tanyanya, pura-pura terkejut. "Saya tahu dari sopirnya Pak Bagja," sahut Pak Riswan, raut wajahnya berubah prihatin. "Kasihan sekali Mbak Malia itu, Mas." Langit mengernyitkan keningnya. "Kenapa begitu?" Pak Riswan mengepulkan asap rokoknya ke udara, menatap ke kejauhan. "Dia stres dikurung terus sama orang tuanya di rumah. Gak boleh keluar." "Ah. Masa? Lah, itu kemarin keluar?" Langit masih tak percaya. "Ya, itu akal-akalan dia, Mas. Pura-pura ijin ke pesta ulang tahun temannya supaya bisa keluar rumah." Langit terdiam, kejadian malam itu kembali berputar di benaknya. Pantas saja gadis itu mengenakan gaun pesta. "Malahan tadinya dia enggak boleh keluar sama sekali. Kalaupun pergi, dia selalu ditemani sopir. Pokoknya dia enggak boleh pergi sendiri, Mas. Apalagi bawa mobil sendiri." "O ya? Bandel kali?" pancing Langit, meski dalam hati ia merasa ada yang janggal. "Ah, tapi mukanya enggak kelihatan bandel. Cantik dan kalem begitu. Ramah lagi orangnya. Dia sering negur saya kalau ketemu." Pak Riswan menghela napas. Langit kembali merenung, mencoba memahami. Apa yang membuat perempuan itu begitu tertekan hingga Pak Bagja begitu protektif padanya? "Oh ya, waktu malam itu, siapa yang angkat saya ke mobilnya, Pak?" Tanyanya. "Oh, waktu Mas Langit pingsan itu kebetulan rekan saya yang jaga. Dia dan sopirnya Mbak Malia yang mengangkat Mas Langit, pakai kursi roda punya klinik kantor. Kata rekan saya Mas Langit berat sekali. Mereka enggak kuat mengangkatnya." Langit tertawa terbahak-bahak, membayangkan kejadian lucu itu. "Tolong sampaikan terima kasih saya sama rekan Bapak." Ia menepuk bahu Pak Riswan. Pak Riswan mengangguk. "Katanya, Mbak Malia itu panik banget melihat Mas Langit pingsan. Dia sampai nangis." "Ah, masak?" Sahut Langit tak percaya, alisnya terangkat. "Katanya sih, begitu, Mas. Dia takut Mas Langit meninggal dunia." Langit kembali tertawa, kali ini lebih pelan. Ia mencoba mengingat kembali wajah Malia saat di dalam mobil itu. Memang, kedua matanya terlihat berair. Tapi, apa benar karena dia menangisinya? "Udah mau jam buka, Mas." Pak Riswan melirik arlojinya, lalu menyeruput kopinya sampai habis. "Saya ke pos dulu, ya. Makasih loh, kopinya," ucapnya seraya beranjak pergi. Dari balik dinding kaca, Langit melihat Bima masuk sambil menenteng boks roti. Ia pun beranjak. Waktunya kembali bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD