Gerimis tipis masih membasahi jendela kaca saat Langit memandang keluar, menangkap siluet hari yang kian tenggelam dalam kelam. Kafe sudah rapi, Mas Bima pun sudah lama pulang, namun Langit masih terpaku di sana, enggan beranjak. Bukan guyuran hujan yang ia takuti, melainkan genangan air dan kemacetan yang akan menyambutnya di luar.
Getar ponsel memecah lamunannya. Sebuah pesan singkat dari Mentari, menampilkan foto nasi goreng mengepul dengan telur ceplok sempurna di atasnya. Senyum tipis terukir di bibir Langit. Adik kesayangannya itu tak bisa membuat masakan apapun jadi enak, kecuali nasi gorengnya. Perutnya tiba-tiba bergemuruh, mengingatkan rasa lapar yang sedari tadi diabaikan. Menghela napas, Langit akhirnya bangkit. Jaket kulitnya disambar, lalu langkahnya bergegas menuju elevator yang membawanya turun.
Hujan sudah sedikit reda ketika Langit melangkah keluar gedung menuju area parkir motornya. Namun, langkahnya terhenti. Di sana, bersandar di Vespa tuanya, sesosok perempuan. Malia. Basah kuyup, rambut panjangnya lepek menempel di wajah.
"Drama apalagi ini?" Geram Langit, emosinya memuncak. "Lu kebanyakan nonton drakor, kayaknya? Lu mau apa lagi?" Teriak Langit, tak bisa lagi menahan kekesalannya. Kenapa perempuan aneh ini selalu muncul di saat perutnya keroncongan? Dasar perempuan stres, umpatnya dalam hati.
Malia menyibakkan rambut basahnya, menyingkap wajah pucatnya. "Aku cuma mau minta kamu datang ketemu orang tuaku," ucapnya lirih, suaranya sedikit bergetar.
Langit menggeleng-gelengkan kepala. Ya, Tuhan, Miss Drama Queen ini benar-benar menguji kesabarannya. Sejenak ia berpikir. Ia tahu Malia tidak akan berhenti sampai keinginannya terpenuhi. Dasar perempuan manja, rutuknya lagi.
"Oke!" Akhirnya Langit menyerah. "Besok aku datang ke rumah kamu. Ketemu orang tua kamu. Tapi habis itu, kamu janji gak akan ganggu aku lagi, minta aneh-aneh lagi, atau datang tiba-tiba ke rumah. Oke?"
Malia mengangguk, mengusap wajahnya yang basah.
"Sekarang kamu pulang. Cepat panggil sopir kamu. Drama selesai! Aku mau cepat-cepat pulang." Langit mengibaskan tangannya, menyuruh Malia menyingkir dari motornya. Tapi Malia tak bergerak, masih terdiam di tempatnya.
"Supirku udah aku suruh pulang tadi," sahut Malia, suaranya kini terdengar semakin bergetar.
Langit menepuk kening, frustrasi. Ia melirik jalanan yang sudah macet total, tak mungkin memesan taksi online. Menghela napas panjang, ia pun pasrah. "Oke, aku antar kamu pulang." Jaketnya dilepaskan, lalu disodorkan pada Malia.
Senyum kecil akhirnya merekah di wajah pucat Malia.
Di atas motornya, rasa lapar Langit semakin menusuk dan hawa dingin mulai merasuk tulangnya. Sepanjang jalan, Malia memeluknya erat sekali, seolah takut akan terjatuh dari motor. Sesekali, Langit meliriknya dari kaca spion, khawatir Malia benar-benar terpelanting. Baru kali ini ia merasa sekhawatir ini membonceng seseorang. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya jika gadis itu sampai terjatuh. Bisa-bisa Mas Bima benar-benar memecatnya karena tak bisa lagi menyewa kafe di sana.
Hampir satu jam perjalanan yang melelahkan, Langit akhirnya tiba di depan sebuah rumah besar berdinding putih, dengan pagar besi menjulang tinggi. Ia melambaikan tangan ke arah kamera pengawas di atas. Beberapa detik kemudian, dua pria berseragam keamanan mendorong pagar terbuka, lalu tergopoh-gopoh membawakan payung untuk 'tuan putri' mereka.
"Makasih, ya," ucap Malia, melepas jaket Langit dan mengulurkannya pada Langit.
Tapi Langit mengibaskan tangan. "Gak usah. Nanti aja. Aku udah terlanjur basah. Udah, ya!" Ia langsung tancap gas, pergi sebelum Malia sempat berucap lagi.
Dari kejauhan, Malia memandangi motor Langit hingga menghilang dari pandangannya. Ia memeluk jaket basah itu erat, senyum tipis masih terpulas di bibirnya.
Di atas kasurnya, Langit memandangi langit-langit kamar. Pikirannya melayang jauh, kembali pada momen membonceng Malia, pandangan sekilas di kaca spion, kepala gadis itu bersandar di punggungnya, mata terpejam sepanjang perjalanan. Ada perasaan aneh merayapi hatinya. Mengapa bayangan wajah Malia terus berputar-putar di kepalanya? Ia berusaha menghapus bayangan itu dengan memejamkan mata. Sepiring nasi goreng buatan Mentari seakan membuat kelopak matanya terasa berat.
Tapi Langit tak bisa benar-benar terlelap. Masih terlalu sore. Dan bayangan Malia terus mengganggu pikirannya. Akhirnya ia bangkit, lalu keluar dari kamarnya. Hening. Tak ada suara dari kamar Mentari. Biasanya kamarnya selalu riuh dengan musik atau ocehan di telepon. Diketuknya pintu kamar adiknya yang tak terkunci. Terdengar isakan lirih dari dalam. Langit segera membuka pintu.
Mentari buru-buru menghapus air mata saat melihat Langit menghampirinya. Namun, ketika sang kakak menatapnya, ia tak kuasa lagi menahan kesedihannya. "Aku kangen Ibu sama Ayah, Mas!" isaknya sambil memeluk Langit. Tangisnya pun pecah.
Langit tak kuasa menahan air matanya. Selama ini, ia selalu bisa menahan kesedihan itu untuk dirinya sendiri. Tapi melihat adik tercintanya menangis, ia tak sanggup. Ia akan melakukan apa saja agar Mentari tetap ceria dan bahagia seperti biasanya. Mentari bukan orang yang cengeng, Mentari bahkan lebih kuat darinya. Sejak kepergian Ibu dan Ayah mereka tiga tahun lalu, Langit jarang sekali melihatnya menangis seperti ini. Justru Mentari yang lebih sering menguatkannya. Tapi kini ia melihatnya tak berdaya, meratapi kesedihannya. Langit tahu, Mentari sudah tidak kuat lagi, terlalu lelah memendam kesedihan selama ini.
Langit mengusap-usap rambut Mentari, membiarkan adiknya, yang ia sayangi melebihi apa pun di dunia ini, menumpahkan semua kepedihannya. Hingga akhirnya, suara tangis itu mereda. Mungkin Mentari sudah lelah, atau tak ada lagi air mata yang tersisa.
Langit melihat Mentari mengusap air mata dan melepaskan pelukannya, lalu membiarkan tubuhnya jatuh di atas kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Langit menatap punggung sang adik dengan mata yang masih berair. Tak ada sepatah kata pun yang sanggup terucap untuk menenangkannya. Hanya tangannya yang masih terus mengelus rambut Mentari. Diciumnya kepala adiknya itu, sebelum kemudian ia beranjak keluar dari kamar.
Kini ia melangkah ke studio lukisnya. Sebuah lukisan tertutup kain putih di sudut ruangan membuatnya mendekat, tangannya terulur mengambilnya. Dibukanya kain penutup itu. Sebuah lukisan besar berbingkai kayu, dengan kanvas yang sobek. Lukisan keluarga mereka berempat. Lukisan terakhir yang dibuat sang Ayah sebelum kecelakaan merenggut nyawanya. Dengan tangan gemetar, Langit mengusap kanvas yang sobek itu, seolah setiap seratnya yang terburai menyimpan memori pahit yang enggan terlupakan. Lukisan hangat, penuh senyum keluarga mereka berempat—Ayah, Ibu, dirinya, dan Mentari—kini menjadi saksi bisu dari kebahagiaan yang direnggut paksa. Sobekan itu, luka menganga di tengah senyum yang abadi, adalah goresan tajam takdir yang merobek kehidupan mereka. Tiga tahun berlalu, dan baru kali ini Langit berani menyentuhnya, membiarkan jemarinya meraba tepian kanvas yang kasar, seolah merasakan kembali denyut jantung sang ayah sebelum semuanya berakhir.
Ia tak ingin memperbaikinya. Biarlah sobekan itu tetap di sana, menjadi pengingat abadi. Bukti nyata yang akan ia tunjukkan suatu saat nanti, ketika ia menemukan orang itu. Orang yang menabrak Sang Ayah hingga tewas di pinggir jalan, lalu pergi begitu saja, meninggalkan luka menganga yang tak pernah sembuh. Orang itu jugalah yang secara perlahan membunuh Ibunya, merenggut napas terakhirnya dalam kesedihan yang tak tertahankan. Orang itu memaksa Langit berhenti kuliah, mengubur impiannya dalam-dalam demi bertahan hidup. Dan hari ini, orang itu jugalah yang membuat adiknya, Mentari, yang biasanya selalu tegar, kini meratap pilu, menumpahkan segala kepedihan yang selama ini terpendam.
Setiap hari Langit merapalkan doa, agar orang itu merasakan setiap tetes kepedihan yang mereka alami. Setiap kepiluan kehilangan orang yang dicintai. Setiap detik sakitnya menerima kenyataan yang merubah segalanya dalam sekejap mata. Api dendam itu tak pernah padam, membakar sanubarinya, menjadi bahan bakar untuk terus mencari. Suatu saat, ia yakin akan bertemu orang itu. Ia akan menatap mata orang itu dalam-dalam, memastikan bahwa dia telah menerima penderitaan yang sama. Karena ia percaya, bahwa karma itu ada.
Langit mengusap air matanya yang menetes jatuh ke lukisan. Dipeluknya lukisan itu erat di dadanya. Dan kini, ia kembali meratapi kesedihannya yang mendalam.