Menyerah

1453 Words
"Mau kondangan ke mana, lu?" Pertanyaan Bima meluncur begitu saja, melihat Langit yang tampil rapi dengan setelan formal kemeja dan celana panjang berwarna gelap. Penampilan yang kontras dari biasanya. "Rumah Pak Subagja," sahut Langit datar, tangannya sibuk merapikan rambut di depan cermin. Kedua alis Bima terangkat tinggi, terkejut. "Serius? Mau ngapain?" Langit berbalik, menatap Bima. "Perempuan itu... ngejar-ngejar gue terus sampai ke rumah. Dia maksa minta gue ketemu orang tuanya." Ada nada frustrasi dalam ucapannya. Bima bersiul panjang, seringai jahil menghiasi wajahnya. "Mau juga kan, lu akhirnya?" Ledeknya. "Nyerah gue!" Langit menghela napas, pasrah. "Kemarin dia hujan-hujanan nungguin gue di parkiran motor." "Ngapain?" Mata Bima membelalak, tak percaya. "Ya, itu! Maksa gue ketemu orang tuanya!" Langit menjawab dengan nada geram. "Masa sih, sampai segitunya?" "Kan, gue udah bilang dia itu perempuan stres!" Bima tergelak, menepuk-nepuk bahu Langit. "Selamat! Gue doain jadian," godanya. Langit merengut. "Mati berdiri gue punya cewek kayak gitu." "Loh. Gak pa-pa stres dikit, tapi masa depan cerah?" Bima menaikkan sebelah alis, mengisyaratkan sesuatu. "Lu udah kayak ade gue, Mas. Matre!" Sungut Langit, sedikit terkejut dengan celetukan Bima. Bima kembali tertawa. "Itu bukan matre. Itu realistis," ucapnya sambil melambaikan tangan. "Gue balik duluan!" Pamitnya, lalu menghilang di balik pintu. Langit melirik jam di ponselnya. Pukul enam tepat. Ia membuka pesan yang belum sempat dibukanya sejak tadi. Malia tak henti-hentinya mengingatkan, takut ia akan membatalkan janji. Ia menghela nafas sebelum kemudian mengenakan jaketnya, lalu beranjak pergi. Tiga puluh menit kemudian, Langit tiba di depan rumah Malia. Pintu pagar terbuka sebelum jemarinya menyentuh interkom. "Mas Langit, ya?" Sapa seorang pria berseragam keamanan dengan senyum ramah, seolah sudah mengenalnya. "Silakan Mas, sudah ditunggu Mbak Malia," ucapnya lagi, tangannya mendorong gerbang lebar-lebar. Langit memarkirkan motornya di halaman yang luas. Matanya menyapu deretan mobil mewah yang berjajar rapi, seolah galeri pribadi, kontras dengan Vespa tuanya yang kini terasa begitu kecil dan lusuh. Langit menghela napas panjang. Jantungnya mulai berdebar tak karuan, bukan hanya karena pertemuan ini, tapi juga karena rasa percaya dirinya menurun drastis. "Haiii!" Suara riang itu mengagetkan Langit. Dari balkon yang berada di atasnya, Malia melambai, senyumnya lebar. Ia memberi isyarat dirinya untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam, Langit tertegun. Memandangi Malia menuruni tangga yang melengkung anggun. Setiap pijakannya dilapisi karpet bercorak klasik yang berkilauan di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung indah. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari kemegahan itu, membandingkan rumahnya, bagai langit dan bumi. Malia menarik tangan Langit menuju ruang tamu yang luasnya melebihi luas seluruh rumahnya, dan memintanya menunggu. Ia lalu pergi ke ruangan lain, dan kembali dengan seorang laki-laki paruh baya serta seorang wanita yang segera dikenalkannya sebagai orang tuanya. Langit menunduk, dan menyalami keduanya. Pak Subagja menatap Langit, kedua matanya berkaca-kaca. Digenggamnya tangan Langit erat-erat. "Terima kasih sudah datang." Langit mengangguk, tersenyum canggung. "Saya mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena sudah menyelamatkan anak saya," lanjut pria itu lagi terbata-bata, menahan emosi. Sejenak Langit terpaku. Ia tahu ada lebih banyak ungkapan terima kasih yang terpancar dari mata pria itu dari yang terucap di bibirnya. Dan dari senyum wanita itu, ia bisa melihat kecemasan yang ditutupi, cerita kesedihan yang dipendam dalam diam. Seketika Langit teringat Ibunya. Persis seperti itulah Ibunya selama berbulan-bulan setelah kematian Ayah. Dan kini, ia mengerti mengapa Malia begitu ingin ia menemui mereka. Rasa bersalah tiba-tiba menyelinap di hatinya. "Silahkan duduk, Langit." Suara lembut Bu Subagja menyadarkan Langit dari lamunan sesaatnya. Mata wanita itu berkaca-kaca memandangnya. Langit lalu duduk di samping Malia. "Saya... saya tidak tahu harus berterima kasih bagaimana. Kalau kamu tidak ada di sana waktu itu, Malia mungkin sudah tidak bersama kami..." suaranya tercekat, ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. "Maaah..." Pak Subagja menatap istrinya dengan lembut, mengusap punggung tangannya yang bergetar. Langit menatap Malia tertunduk lalu beralih ke kedua orang tuanya. "Itu... karena kebetulan saya sedang ada di sana, Bu," sahutnya, berusaha meredakan suasana haru. "Tidak ada yang kebetulan, Langit," Pak Subagja menyela. "Saat kamu muncul, saat kamu berhasil membujuknya untuk tidak melompat... kamu mengembalikan putri kami. Kami berhutang nyawa padamu." Suara Pak Subagja bergetar. Langit terdiam. Melihat air mata di mata kedua orang tua itu, melihat betapa dalamnya luka dan ketakutan yang mereka alami, ia mulai memahami. Apa yang baginya adalah insiden, bagi mereka adalah mukjizat. Dan saat mereka memintanya untuk kembali bercerita tentang kejadian malam itu, tentang detik-detik mengerikan di atap gedung, mereka tak kuasa menahan tangis. "Maafkan Malia, sudah menyusahkanmu," ujar Bu Subagja setelah berhasil menguasai diri, menyeka air matanya dengan tisu. Langit tersenyum tipis. "Enggak sama sekali, Bu," sahutnya, kembali memandang Malia yang masih tertunduk, wajahnya pucat pasi. "Kondisi Malia memang sering tidak stabil," imbuh Pak Subagja, suaranya kini lebih tenang. "Tapi dia akan kembali memulai terapi minggu depan. Kami harap ini bisa membantunya." Malia mengangkat wajahnya dengan terkejut, tatapan matanya melebar. "Tapi aku kan, udah sembuh, Pah..." ucapnya, ada nada memelas dan ketakutan yang jelas dalam suaranya. Bu Subagja tersenyum menatap Malia, lembut. "Tapi kamu harus tetap bertemu Doktermu dulu, sayang. Ini untuk kebaikanmu." Langit tertegun memandang Malia yang kini kembali meremas-remas tangannya, menggigiti bibirnya seperti orang ketakutan. Ada kerentanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tiba-tiba saja, ia merasa sangat menyesal karena telah memperlakukannya dengan buruk selama ini, menilainya sebagai 'perempuan stres' tanpa memahami penderitaan di baliknya. Ia tak tahu jika gadis itu begitu menderita dengan depresinya hingga harus menjalani terapi. Perlahan, Langit menarik tangan Malia yang gemetar lalu menggenggamnya, mengalirkan kehangatan. "Hei," ucapnya pelan, senyum tulus terukir di bibirnya. "Kalau kamu butuh teman untuk ke Dokter, aku bisa temani kamu." Malia menatap Langit tak percaya, seolah mencari kepalsuan dalam tawaran itu. Namun, senyumnya kemudian merekah saat Langit menganggukkan kepala, meyakinkannya dengan tatapan yang lembut. Setelah beberapa saat berbincang, kedua orang tua itu mengajak Langit untuk menikmati makan malam. Di atas sebuah meja makan besar nan panjang, terhidang beragam makanan lezat dan menggoda. Tiba-tiba, Langit teringat Mentari. Sepanjang malam ia tak bisa tidur, menemani Sang Adik di dalam kamar. Meski tadi pagi Mentari sudah kembali ceria, kekhawatiran itu masih menyelimutinya. Ia sendirian di rumah, entah makan apa dia malam ini. Sedangkan ia di sini... "Mas..." Langit terkejut saat merasakan sentuhan lembut tangan Malia di lengannya. Ia menoleh. "Panggil Langit aja," ucapnya. Malia mengangguk, senyum tipisnya merekah. Ia lalu menuangkan sup panas ke dalam mangkuk kosong di hadapan Langit, gerakannya terasa lebih tenang dari sebelumnya. Suasana makan malam tidak terlalu banyak diisi percakapan, namun terasa hangat. Pak Subagja dan istrinya seolah sengaja memberi kesempatan pada ia dan Malia untuk menjadi lebih dekat, bahkan sebelum hidangan penutup disantap mereka sudah meninggalkan keduanya dalam keheningan yang kini terasa berbeda, sedikit lebih intim. Langit menatap wajah Malia yang tampak pucat di bawah cahaya lampu gantung. Alisnya berkerut khawatir. "Kamu sakit?" Tanyanya, suaranya melembut. Malia menggeleng lemah, matanya sedikit menghindari tatapan Langit. Langit tidak percaya. Perlahan, diulurkannya tangan, menyentuh kening gadis itu. "Kamu anget," ucapnya, nadanya semakin cemas. Malia sedikit menjauhkan tubuhnya, berusaha menghindar. "Aku gak pa-pa. Cuma... sedikit capek." "Karena kehujanan kemarin itu, kan?" Tanya Langit lagi, menyuarakan dugaan yang membuatnya merasa bersalah. Namun, Malia tetap menggeleng, membuat Langit semakin menyesali dirinya. "Maaf ya, udah bikin kamu kehujanan, nungguin aku." Malia kembali menggeleng, tersenyum tipis. "Bukan salah kamu. Kan, akunya yang mau?" "Aku juga minta maaf kalau kemarin aku sering kesal dan marah-marah sama kamu," sesal Langit lagi dengan tulus. Malia tertawa kecil, memecah keheningan. "Kan, aku juga yang sengaja bikin kamu kesal?" Sesaat Langit tertegun memandangi gadis di sampingnya itu. Tawa Malia, meskipun singkat, mengubah seluruh ekspresi wajahnya. Dia terlihat begitu berbeda, tak ada kesan depresi yang terlihat. Tiba-tiba saja ada kehangatan aneh yang merayapi hati Langit. Akhirnya perpisahan pun tiba. Tepat pukul sembilan Langit pamit pulang. Mereka mengantarkannya hingga ke teras depan. Malia bahkan membawakannya sekantong penuh makanan untuk Mentari. Kehangatan mereka membuat Langit merasakan kembali sesuatu yang lama hilang dari hidupnya. Hatinya sedikit iri melihat betapa beruntungnya hidup Malia. Memiliki keluarga sempurna yang menyayanginya. Langit memacu motornya dengan cepat, menembus gelap dan dinginnya malam. Ia khawatir Mentari sendirian. Dia pasti sedang menunggunya. Setibanya di rumah, Langit buru-buru mengetuk pintu kamar adiknya yang tertutup rapat. "De..." Pintu terbuka. "Selamat malam, Mas Langit." Devia menyambut Langit dengan senyum manis. "Oh... ada Devia?" Langit terkejut sekaligus lega. Mentari keluar dengan wajah cemberut. "Kak Devia udah lama nemenin aku. Mas Langit kok lama banget pulangnya?" "Maaf," kata Langit sambil menyerahkan kantong makanan dari Malia. "Nih, makanan enak." "Mas Langit udah makan, ya?" Mentari melihat isi kantong itu dengan kecewa. "Yah, padahal aku sama Kak Via nungguin makan bareng. Kita kan, udah masak..." Langit terkejut, tak menyangka Mentari sudah menyiapkan makan malam untuknya. Ia buru-buru menjawab. "Oh! Belum, kok. Makanan ini dari pelanggan kafe. Simpan aja buat besok. Sekarang kita makan masakan kalian." Ia terpaksa berbohong agar Mentari tak kecewa. Dan ia pun kembali makan malam untuk kedua kalinya, demi Mentari dan Devia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD