Semua Butuh Uang

1067 Words
“Mas Langit, nama IG-nya apa?” Suara renyah seorang gadis manis menyapa. Ia tersenyum malu-malu sambil menatap Langit, ponsel terangkat di tangannya. Gadis itu adalah salah satu pelanggan setia Café Dewa. “Enggak punya, Kak. Enggak sempat main sosmed,” jawab Langit, sembari menyodorkan segelas es kopi s**u pesanan gadis itu. Dinginnya gelas kontras dengan senyum hangat di wajahnya. “Masa, sih?” Mata gadis itu membulat, tak percaya. Langit mengangguk meyakinkan. “Ikutin aja IG-nya Café Dewa. Sama aja, di situ juga ada foto-foto saya kok,” katanya sambil mengedip jahil. “Huuh! Itu sih udah tahu!” Gadis itu mendengus kesal, lalu pergi dengan bibir mengerucut lucu. Bima, yang sedari tadi memperhatikan, menyenggol lengan Langit. “Makanya bikin! Fans lu kan banyak di sini!” Langit hanya tersenyum tipis. “Lu kan, tahu alasannya, Mas...” “Pakai nama Dewa Langit aja kalau takut ketahuan,” seloroh Bima, membuat Langit terbahak. “Malas, Mas. Lagian lu juga enggak punya, kan?” sindir Langit balik. Bima terkekeh pelan. “Ya, kalau gue kan udah tua,” sahutnya pasrah. Langit tersenyum sambil menggeleng. Ia tahu betul alasan sebenarnya Bima. Ia mengenalnya sejak lama—bahkan sejak almarhum ibunya masih jadi pelanggan setia toko roti milik Bima. Bima memang selalu menutup diri dari hiruk-pikuk dunia luar. Ia lebih nyaman berkutat dengan adonan dan aroma roti hangat ketimbang keramaian media sosial. Membuka diri bagi Bima bukan hal mudah. Bahkan sampai sekarang pun, Langit tak pernah tahu penyebab Bima berpisah dari istrinya. Ia juga tak pernah melihat lelaki itu dekat dengan perempuan mana pun sejak perceraian itu. Entah luka macam apa yang masih membekas di hatinya. “Lang, gue serius. Kalau lu enggak mau bikin sosmed pribadi, paling enggak lu aktif di IG kafe kayak dulu. Balasin tuh, DM cewek-cewek yang nanyain lu. Masa gue yang balesin?” Langit menatapnya bingung. Tumben banget Mas Bima peduli urusan DM. Biasanya, pesan-pesan itu cuma sapaan iseng pelanggan perempuan, dan Bima tak pernah menanggapinya. “Enggak dibalas juga mereka tetap ke sini, kan, Mas?” elaknya. Bima menghela napas berat. “Tapi kita butuh omzet lebih, Lang. Tiga bulan lagi sewa kafe jatuh tempo, duitnya masih kurang. Kita perlu tambahan pemasukan. Kemarin-kemarin kan banyak tanggal merah, kantor-kantor libur, belum lagi banjir. Sepi banget.” Langit terdiam, mencerna ucapan itu. Ia tahu Bima benar. Kafe mereka memang kerap tutup, dan beberapa pelanggan lama tak pernah muncul lagi. “Lu coba rayu pelanggan lama yang udah jarang datang. Kalau enggak ke sini, pasti pindah ke kafe lain. Persaingan makin gila, Lang. Kita enggak punya dana buat promo kayak mereka.” Langit akhirnya mengangguk pelan. “Iya, Mas. Nanti gue coba aktif lagi.” Ia memperhatikan Bima yang kini melayani pelanggan cerewet dengan sabar. Tiga tahun kerja bersamanya, baru kali ini Mas Bima kelihatan sefrustrasi ini, batinnya. Bagaimana kalau Mas Bima benar-benar enggak bayar sewa? Bagaimana dengan ia dan Mentari? Hidup mereka bergantung pada kafe ini. “Semalam gimana nge-date lu?” tanya Bima tiba-tiba, tersenyum menggoda. Langit tersipu, pipinya sedikit merona. “Apaan sih, Mas. Gue cuma makan malam sama orang tuanya. Itu aja.” Bima bersiul pelan. “Dikit lagi tuh!” “Apanya?” sahut Langit pura-pura polos. “Jalan lu jadi menantu Pak Subagja.” Bima menepuk bahunya, kembali menggoda. Langit tertawa kecil. “Daripada gue jadian sama dia, mending gue ngerayu pelanggan aja.” “Ya terserah lu,” balas Bima santai, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Tapi kalau jadi sama Malia, gue minta gratis tiga bulan sewa, ya.” Langit hanya geleng-geleng sambil tertawa. “Tapi Pak Subagja itu orangnya baik, ya, Mas?” tanya Langit kemudian, suaranya lebih serius. Bima mengangguk. “Kata orang sih gitu. Tapi mereka bilang sejak anak bungsunya meninggal, dia jadi berubah. Enggak semangat lagi kayak dulu. Mungkin masih terpukul." “Loh, katanya anaknya di luar negeri semua?” Langit menatap bingung. “Iya. Tapi kemarin gue denger dari orang kantornya, adiknya Malia itu kecelakaan di luar negeri. Ditabrak mobil.” “Oh, ya?” Mata Langit membelalak, terkejut. Mungkin itu yang bikin Malia depresi, pikirnya. Ia bisa mengerti. Ia juga tak tahu apa jadinya kalau sesuatu terjadi pada Mentari. Ia mungkin takkan sekuat itu. Tapi Malia tetap lebih beruntung. Ia masih punya keluarga lengkap, kehidupan mapan, dan semua kenyamanan yang tak pernah Langit rasakan. Ia hanya harus lebih bersyukur. Apa kabarnya sekarang? Masih sakitkah dia? ... Langit sedang fokus pada layar ponselnya, saat suara renyah Mentari mengusiknya “Lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?” Gadis itu tiba-tiba saja sudah mencodongkan tubuh, ikut menatapi layar ponsel di tangan Langit. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Mau tahu aja.” Langit berusaha menjauhkan ponselnya. Tapi Mentari lebih gesit. Dalam sekejap ponsel sudah berpindah tangan. “Ih, tumben banget balas-balasin DM cewek-cewek? Cieee, cari pacar, ya?” godanya sambil terkekeh. “Usil banget, sih! Itu pelanggan kafe!” seru Langit, merebut kembali ponselnya. Mentari hanya tertawa, lalu bersandar di bahu Sang Kakak. “Mas, kalau nanti aku bisa masuk kampus negeri, Mas sanggup enggak bayarin kuliah aku? Kan biayanya lebih murah daripada swasta.” Suaranya penuh harap. Langit menoleh, menatapnya lembut. “Kamu mau ambil jurusan apa, Dek?” “Kedokteran.” Langit terdiam sesaat. Pandangannya menerawang. Ia tahu cita-cita itu sudah lama disimpan Mentari, sejak ibu mereka sakit, dan Mentari ikut merawatnya. Tapi biaya kedokteran… jauh di luar jangkauannya. “Boleh kan, Mas?” Mentari menatapnya dengan sorot mata penuh harap, seolah seluruh hidupnya bergantung pada jawaban itu. Langit akhirnya mengangguk, tersenyum tipis. Ia tak sanggup memadamkan harapan itu. “Mas bakal usahain biayanya. Tapi kamu yakin enggak mau kerja dulu?” “Kalau dapat kampus negeri sih, enggak. Tapi kalau enggak dapat, ya aku tunda dulu kuliahnya.” Langit kembali tersenyum. Kali ini senyum meyakinkan. “Mas doain kamu keterima. Tapi kalaupun enggak, Mas bakal cari cara. Kamu enggak usah kerja dulu. Capek, Dek. Nanti malah malas.” Setelah Mentari masuk ke kamar, keheningan perlahan menyelimuti ruangan. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan, menemani pikirannya yang tak berhenti berputar pada sebuah pertanyaan: Gimana caranya biayain kuliah Mentari? Ia menunduk. Ia tahu, ia tak bisa terus bergantung pada Mas Bima. Lelaki itu sudah terlalu banyak menolongnya. Ia merasa malu. Sudah waktunya ia mencari jalan sendiri. Langit kembali menatap layar ponsel di tangannya. Pelan-pelan, jarinya kembali bergerak di layar ponsel. Kini tekadnya semakin kuat menjalankan misinya. Demi Mentari apa pun akan ia lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD