Naga Langit Kembali Berapi

1581 Words
Dari spion motornya, Langit memandangi wajah Malia yang bersandar di punggungnya, kedua tangannya memeluk erat pinggangnya. Sudah tengah hari, matahari membakar di puncaknya, dan ia sendiri sudah merasa kepanasan. Langit menghentikan motor tepat di depan sebuah kedai minuman. "Kita berteduh dulu sambil minum," ucapnya. Ia lalu menggandeng Malia masuk ke dalam kedai berpendingin udara itu, merasakan hawa sejuk langsung menyambut. "Kamu kepanasan, ya?" Tanyanya, menyeka keringat di wajah Malia yang memerah, ada jejak kekhawatiran di matanya. "Sedikit," sahut Malia, seraya mengikat rambut ekor kudanya lebih tinggi. "Mau aku antar pulang aja?" Malia menggeleng. "Aku takut kamu sakit. Kamu kan, enggak biasa panas-panasan?" Malia tersenyum melihat kekhawatiran di wajah Langit. "Sebentar lagi juga hilang panasnya. Lagian, aku juga bosan di rumah," sahutnya, mencoba meyakinkan. "Jangan bilang bosan. Kamu masih punya orang tua. Nanti kalau mereka enggak ada, kamu baru menyesal." Suara sedikit melunak. "Dari kecil aku memang enggak begitu dekat sama orang tuaku. Aku lebih dekat dengan Mario." "Kamu kangen sama dia?" Malia mengangguk, tatapan matanya meredup. "Kan, udah ada aku yang jagain kamu?" Langit mencoba menghibur. Malia tersenyum dengan mata berbinar. Ucapan Langit membuatnya tersanjung. Sejak bertemu dengannya, ia memang sudah jarang memikirkan Mario. Ada celah di hatinya yang kini terisi. "Kamu lebih beruntung dari aku dalam segala hal," imbuh Langit, suaranya kini lebih berat. "Apa kamu masih menyesali kepergian mereka?" Malia menatap kedua mata kelam itu, mencoba menembus dinding pertahanan Langit. Langit mengangguk pelan, pandangannya menerawang jauh. "Aku menyesal karena belum sempat membuat mereka bangga sampai akhir hayatnya. Aku selalu menyusahkan mereka. Membuat mereka malu dan menangis. Kadang aku berpikir, mungkin ini cara Tuhan untuk membalas air mata kedua orang tuaku. Karena sekarang aku selalu menangisi mereka. Penyesalanku tak pernah berhenti." Langit menghembuskan napas berat, ada beban yang kentara di dadanya. "Tapi sekarang Ayah dan Ibumu pasti bangga. Kamu sudah berubah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Enggak semua orang bisa sekuat kamu." Malia menggenggam tangannya, memberikan kekuatan. "Aku harus kuat, demi Mentari. Sekarang aku cuma punya dia. Terkadang aku cuma berpura-pura tegar, karena aku malu sama dia. Dia lebih kuat dari aku. Padahal dialah yang paling dekat dengan Ibu dan Ayah semasa hidupnya. Bahkan, waktu Ibu sakit, Mentari lah yang paling sering merawatnya." "Ibumu... meninggal dunia karena sakit?" tanya Malia dengan hati-hati, khawatir menyentuh luka lama. Langit kembali mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Sejak Ayah meninggal, Ibu mulai sakit-sakitan. Dia seperti kehilangan pegangan hidup. Ibu jadi sering melamun, susah tidur, dan jarang makan. Sampai suatu malam Ibu tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri. Dan sejak itu Ibu enggak bisa bangun lagi. Ibu terkena stroke. Sepanjang waktu Ibu hanya bisa duduk di kursi roda dan berbaring di tempat tidur. Dan itu membuatnya semakin terpuruk. Empat bulan kemudian Ibu menyusul Ayah." Langit menghapus air matanya yang menetes dengan punggung tangan. "Sejak saat itu aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Karena sejak sakit, Ibu juga berhenti bekerja. Kami tidak punya banyak harta. Ibuku hanyalah seorang guru yang penghasilannya tidak seberapa. Dan lukisan Ayah yang tersisa di galeri hanya cukup untuk membiayai hidup kami sehari-hari. Kami juga tidak bisa lagi membayar cicilan rumah. Dan akhirnya rumah itu harus dijual. Sisa penjualannya aku belikan rumah kecil yang kami tempati sekarang." Langit lalu memandang Malia yang tengah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, penuh empati. "Hidup kami berubah dalam sekejap. Sulit sekali rasanya menerima kenyataan hidup kita dihancurkan oleh seorang pengecut." "Orang yang menabrak Ayah kamu itu melarikan diri?" Langit kembali mengangguk, rahangnya mengeras. "Tiap hari aku berdoa agar orang itu mendapatkan balasan yang sama atas kematian kedua orang tuaku. Aku ingin sekali melihat dia dan keluarganya menderita dan merasakan apa yang kami rasakan. Mungkin saat ini dia bisa melarikan diri dari hukuman manusia, tapi aku percaya, dia tidak akan bisa melarikan diri dari hukuman Tuhan." Malia menatap Langit dengan hati penuh tanya. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk mulai merayapi. Bibirnya hampir saja mengucap kata saat Langit tiba-tiba saja mengulurkan minuman dingin padanya. "Minum dulu. Dan jangan bertanya lagi. Kamu sudah tahu semuanya," ucapnya, suaranya tegas namun sedikit bergetar. Dan ia pun akhirnya mengangguk, menuruti. ... Hari sudah mulai gelap ketika Langit dan Malia keluar dari taman kota. Motor melaju menuju sebuah kedai kopi yang berada di tepi jalan raya. Lampu-lampu kota mulai menyala, menambah nuansa temaram. "Tinggal satu lagi. Habis itu aku antar kamu pulang," ucap Langit seraya menggandeng Malia masuk ke dalam kedai kecil itu. "Aku boleh nginap di rumah kamu, gak?" tanya Malia, matanya berbinar penuh harap. Langit menggeleng. "Aku kan, bisa tidur bareng Mentari?" tanyanya, sedikit memaksa. Langit kembali menggeleng, tegas. "Gak boleh!" "Memangnya kenapa?" "Bahaya. Bisa-bisa tengah malam kamu pindah ke kamarku," seloroh Langit, seringainya jahil, membuat Malia mendaratkan cubitan gemas di lengannya. Setelah memesan dua gelas kopi panas, Langit menarik Malia duduk di sebuah kursi panjang. "Dulu aku dan teman-teman selalu mampir ke sini setiap pulang sekolah. Dan kalau janjian juga di sini," ucapnya, mengenang masa lalu. "Terus sekarang mereka di mana?" tanya Malia seraya memandangi sekeliling kedai sederhana yang tidak terlalu ramai itu. Hanya ada beberapa meja panjang dengan kursi-kursi yang diisi oleh beberapa pengunjung pria. Langit mengedikkan kedua bahunya. "Setelah kami bubar, aku gak tahu lagi kabar mereka. Karena aku memang sengaja menghilang." "Bang Naga?!" Tiba-tiba saja seorang pria kurus dengan lengan penuh tato datang menghampiri Langit, matanya membesar, terkejut sekaligus senang. Di kalangan anak jalanan, reputasi Langit, sang mantan ketua geng, adalah legenda. Bukan hanya karena ia tak pernah terkalahkan dalam pertarungan, tetapi juga karena Langit dikenal tidak pernah berkelahi kecuali untuk membela sesuatu yang benar atau ketika ia ditantang habis-habisan. Sesaat Langit menatapnya, mencoba untuk mengingat. "Benny?" tanyanya, ragu. Dan pria itu pun mengangguk dengan senyum lebar. "Wah, apa kabar lu?" Langit menyambut uluran tangan pria itu, menjabatnya erat. "Tambah kurus aja." Langit meninju pelan lengan pria itu. "Yah, beginilah, Bang, anak jalanan kere," sahut Benny, membuat Langit tergelak. "Lu makin ganteng aja, Bang. Makin bening. Sukses lu ya, sekarang?" Benny menatap Langit dengan tatapan kagum. Langit menggeleng. "Gua kan, sekarang udah kerja. Udah gak nongkrong lagi. Lu enggak kerja?" tanyanya balik. Benny menggeleng. "Kalau gua punya kerjaan, gua gak bakal ada di jalanan, Bang," sahutnya, dengan nada getir. Langit tersenyum tipis. Benny adalah adik kelasnya sewaktu di SMA dulu. Dan dulunya dia bukan anak jalanan. Dia anak baik-baik. Entah apa yang membuatnya jadi berubah. "Banyak yang nyariin lu, Bang ke sini. Cewek-cewek." "Hah? Ngapain?" Langit mengangkat kedua alisnya. "Minta pertanggung jawaban kali!" seloroh Benny sambil tertawa lebar. "Ah! Sialan lu!" Langit tertawa. "Ini tumben, Bang, ke sini lagi?" "Kebetulan lewat aja. Sekalian balik." "Kenalin, Bang ini temen-temen gua." Benny lalu mengenalkan keempat temannya yang berpenampilan mirip dengannya, urakan dan bertato. Mata mereka sekilas memandang Langit dengan campuran rasa hormat dan sedikit rasa takut. "O ya, kenalin ini, Malia!" Dan Langit pun mengenalkan Malia yang sudah menyembunyikan wajah di balik punggungnya, merasa tidak nyaman. "Halo, Malia? Udah lama jadi pacar Bang Langit?" sapa salah seorang dari mereka dengan wajah menyeringai. Ia melirik Malia dari atas ke bawah, seolah menilainya, menganggap Malia hanyalah sekadar perempuan pengganggu yang selalu mengikuti Langit, seperti puluhan wanita lain yang dulu mengejar-ngejar Langit saat masih menjadi ketua geng. "Jangan deket-deket, dia takut," ucap Langit, melindungi. "Simpenan nomor berapa nih, Bang? Boleh juga!" ujar pria itu sambil cengengesan, matanya menelusuri Malia dengan tatapan kurang ajar. Lalu, dengan sengaja, ia menghembuskan asap rokoknya ke wajah Malia hingga membuat Malia spontan terbatuk-batuk. Di saat itu pula, tiba-tiba saja Langit beranjak dari duduknya, raut wajahnya yang tadinya tenang kini mendidih. Amarah yang selama ini ia kendalikan meledak tanpa peringatan, membakar kedua matanya menjadi nyala yang buas. Langit meraung, "Gua bilang ati-ati kalau ngomong!!!" Tanpa aba-aba ia menarik, lalu melempar tubuh pria itu ke atas meja hingga jatuh tersungkur bersama dengan meja yang patah, kopi yang tumpah, dan gelas-gelas yang pecah. Seketika semua orang yang berada di kedai itu pun berhamburan ke luar dengan ketakutan. Tak ada seorang pun yang berani mendekat. Dan Malia hanya bisa memandangi Langit sambil menangis ketakutan, air mata membasahi pipinya. Amarah Langit tak berhenti sampai di situ. Ia menarik kembali pria itu lalu ditatap wajahnya yang ketakutan. "Sabar! Bang, sabar! Gua cuma..." Belum sempat pria itu melanjutkan kalimatnya, sebuah pukulan kencang mendarat di wajahnya. Membuatnya kembali tersungkur ke lantai. Ia tak bisa melawan Langit yang berperawakan lebih tinggi dan besar darinya. Bahkan ia seperti enggan melawan. Tapi Langit belum puas, ia kembali menarik leher baju pria itu hingga membuatnya terduduk. Dan dipukulnya kembali wajah pria itu hingga darah segar keluar dari mulut dan hidungnya. Tak ada satu pun teman yang berani menolongnya. Mereka hanya menontonnya dengan takut. Malia mencoba menahan Langit, mencengkeram lengannya, tapi Langit begitu kuat, tak tergoyahkan oleh tangisnya. "Lu ngomong sekali lagi!!" Langit kembali berteriak, suaranya menggelegar di seluruh kedai yang sepi. Tangannya masih mengepal, siap mendaratkan kembali tinjunya. Saat itulah akhirnya Benny bersama teman-temannya berhasil menarik pria itu menjauh dari amukan Langit, dengan susah payah. "Bang, sabar, Bang!! Maafin teman gua Bang!!" Benny mencoba merangkul Langit untuk menenangkannya, memohon. Tapi wajah Langit masih memerah padam. Kedua matanya masih berapi-api. Napasnya tersengal menahan amarah yang membara. Malia lalu berlari memeluknya, membenamkan wajahnya di d**a Langit. "Udah, Lang! Please...!" isaknya, tubuhnya bergetar hebat. Pelukan Malia berhasil menenangkan Langit. Perlahan ia mengatur napasnya yang memburu, jantungnya berangsur melambat. Dipeluknya tubuh Malia yang bergetar. "Maafin aku, seharusnya aku gak membawa kamu ke sini," lirihnya, ada penyesalan mendalam di suaranya. Malia mengusap tangan Langit yang memerah oleh noda darah pria yang dipukulinya itu. "Kita pulang, ya?" bisiknya, air matanya masih menetes. Dan Langit pun lalu mengangguk, menyerah pada kedamaian yang ditawarkan Malia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD