Kedai Kopi
Kedai Kopi
Sandra menatap video dalam ponsel di tangannya dengan mata yang nanar, pupilnya melebar karena amarah yang memuncak. Video itu menampilkan rekaman saat Langit tengah menghajar Alex di kedai kopi itu. Setelah selesai, Sandra melemparkan ponsel ke atas meja dengan kesal. Dadanya terasa sesak. Dasar perempuan manja! Bisa-bisanya dia memancing amarah Langit sampai membuatnya berkelahi lagi, rutuknya dalam hati. Ditatapnya pria yang tengah menyeruput kopi di hadapannya, yang seolah tak terganggu oleh kekesalannya. "Terus maksud lu apa, ngasih tau video itu ke gua, Ben? Lu mau balas dendam?" Tanyanya, suaranya lantang dan tajam.
Benny menggeleng pelan, lalu melirik Alex yang duduk di sampingnya. "Alex udah gak ada masalah sama Bang Naga. Dia ngaku salah. Tapi ada hal lain, San..." Ucap Benny santai sambil menyalakan rokoknya, asapnya mengepul perlahan.
"Apa?!" Tanya Sandra tak sabar, suaranya meninggi.
Benny menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengepulkan asapnya perlahan ke udara, seolah tak peduli dengan wajah Sandra yang tak sabar menunggunya bercerita. "Rumah si Alex itu kan, dekat sama tempat kecelakaan bapaknya Bang Naga. Nah, waktu dia ngasih liat video itu ke tetangganya, ternyata dia kenal cewek itu." Benny lalu terdiam, menatap Sandra lurus, dan menghisap kembali rokoknya, seolah tak mengerti ketegangan yang ia ciptakan.
"Terus...?!" Sandra menjerit, kesabarannya hampir habis menghadapi sikap santai Benny
Benny kembali melirik Alex, memberi isyarat padanya untuk meneruskan cerita, masih dengan mode santai.
Alex yang sedari tadi hanya diam, akhirnya mulai mengeluarkan kata, suaranya pelan dan bergetar. "Jadi... tetangga gua itu tukang nasi goreng yang biasa mangkal di jalan itu. Nah, pas lagi kecelakaan itu dia lagi di sana. Terus, dia kenal muka tuh cewek. Katanya cewek itu ada di mobil yang nabrak bapaknya Bang Naga." Alex menatap Sandra dengan takut-takut.
Sandra menatap Alex tak percaya, matanya memicing tajam. "Yang bener lu kalo ngomong!!" Ucapnya dengan tatapan yang tajam, seperti elang yang siap menerkam.
Alex menarik wajahnya menjauh, menunduk lagi. "Itu... tetangga gua yang bilang!" ucapnya dengan takut, merasakan tekanan dari Sandra.
Sejenak Sandra terpaku, napasnya tertahan. Ia mencoba mencerna fakta yang baru saja didengarnya. Rasanya sulit dipercaya, seperti potongan puzzle yang tiba-tiba cocok secara mengerikan. "Terus kenapa dia gak lapor polisi?" Tanyanya, penuh kebingungan.
"Dia mikirnya udah ada yang ngelaporin. Soalnya waktu itu ada beberapa orang juga yang liat." Alex menjelaskan, suaranya masih bergetar takut.
"Lu yakin?! Jangan main-main lu, Lex! Ini tuduhan yang serius. Kalo lu sampai salah, lu bakal berhadapan lagi sama Langit. Dan lu pasti gak tau kan, siapa cewek itu? Kalo lu sampe sembarangan nuduh bisa-bisa lu berdua yang masuk penjara!!" Sandra memperingatkan, nada suaranya penuh ancaman.
Kini Alex dan Benny saling berpandangan, wajah mereka mendadak berubah pucat. "Emangnya siapa dia?" Tanya Benny, sedikit gentar.
"Lebih baik kalian gak tau. Pokoknya, kalau kalian sampai salah tuduh, bukan cuma Langit, tapi cewek itu juga bisa bikin hidup lu berdua hancur." Sandra berkata dengan dingin, bayangan kekuasaan Malia melintas di benaknya.
Benny dan Alex kembali saling pandang dengan wajah yang tegang. Keringat dingin mulai membasahi dahi mereka. "Makanya gua enggak berani bilang ke Bang Naga, San!" Sahut Benny, mengakui ketakutannya.
Sandra lalu menatap Alex dengan tajam. "Lu pastiin lagi, Lex. Lu mesti bener-bener tanya lagi ke temen lu itu. Kalo dia emang yakin, tanya dia mau gak jadi saksi di kantor polisi? Kalau dia setuju gua mau ketemu langsung sama orangnya!" Sandra lalu bangun dari duduknya, tangannya mengepal. "Gua tunggu kabar kalian!" Imbuhnya seraya beranjak pergi menuju mobilnya yang terparkir jauh dari kedai.
Namun, di dalam mobilnya, Sandra kembali termangu, matanya kosong menatap jalanan. Berulang kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin! Gumamnya. Bagaimana mungkin semua bisa terjadi secara kebetulan? Langit bekerja di gedung itu, lalu berpacaran dengan anak pemilik gedung yang ternyata adalah orang yang telah merenggut nyawa Ayahnya... Ini terlalu kebetulan. Namun, tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya, sebuah pemikiran baru mulai terbentuk. Hatinya mulai terusik dengan cerita itu. Api cemburu yang dipendamnya sejak lama mulai melunturkan keraguannya. Bagaimana kalau semua itu bukan kebetulan? Bagaimana kalau semua itu sudah direncanakan? Bagaimana kalau perempuan itu sengaja mendekati Langit dan merayunya karena ia tahu siapa Langit? Karena Langit tak mungkin jatuh cinta pada perempuan seperti dia. Sandra lalu tersenyum tipis, senyum sinis. Perlahan ia mulai mempercayai imajinasinya, sebuah narasi baru terbentuk dalam benaknya yang diliputi dendam.
....
Langit menatapi layar ponselnya dengan kening berkerut, pesan teks yang baru saja masuk membuatnya gelisah.
"Ada apa?" Tanya Malia, merasakan aura tak nyaman dari Langit.
Langit menggeleng, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Enggak ada apa-apa," sahutnya dengan wajah kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
"Tapi kok, kamu kayak orang bingung?" Tanya Malia lagi, merasakan firasatnya tak enak.
"Enggak ada apa-apa. Hmm, kita balik ke kantor aja, sekarang, ya?" Langit mengalihkan pembicaraan, lalu berdiri tiba-tiba.
Malia memandangi makanan di atas piringnya yang masih tersisa, lalu mengangguk, tanpa banyak bicara. Dibiarkannya Langit menggandeng tangannya dan mengikuti langkahnya yang cepat menuju mobil yang terparkir di halaman restoran.
Di dalam mobil, Malia memandangi Langit yang melajukan mobil dengan cepat tanpa bicara sepatah kata pun. Ada apa sebenarnya? Kenapa dia terburu-buru sekali? Pesan apa yang ia terima di ponselnya tadi? Hatinya mendadak tak tenang, sebuah firasat buruk merayapinya.
"Kamu masuk duluan. Aku ada urusan sebentar," ucap Langit saat ia menghentikan mobilnya di depan lobi Bagja Tower.
"Urusan apa?" Malia menatap curiga, raut wajahnya mengeras.
"Nanti aku ceritain." Langit mencoba menenangkan.
"Aku enggak boleh ikut?" Malia menatap Langit dengan wajah. memohon.
Langit menggeleng, ekspresinya tegang. "Aku cuma sebentar. Lagian kan, sebentar lagi kamu ada meeting sama Papa?" sahutnya, mencoba beralasan.
Malia akhirnya masuk ke dalam lobi tanpa bertanya lagi, namun hatinya dipenuhi keraguan. Dan saat tangannya akan menekan tombol elevator, tiba-tiba saja firasatnya menjerit. Ia pun lalu berbalik dan kembali keluar dengan angkah yang cepat.
Sementara itu, dengan langkah tergesa Langit berjalan menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di tepi jalan, agak tersembunyi di belakang Bagja Tower. Ia lalu melompat masuk ke dalamnya. "Informasi apa, San?!" Tanyanya tak sabar pada wanita di balik kemudi.
"Kalau aku yang cerita kamu enggak bakal percaya. Aku akan bawa kamu buat ketemu sama orangnya langsung," ucap Sandra seraya menyalakan mesin mobilnya. Namun, belum sempat mobil itu berjalan, sebuah bayangan muncul di depan kaca. Malia sudah berdiri di sana, menghadangnya, matanya menatap nanar. Langit dan Sandra saling berpandangan dengan terkejut, raut wajah mereka berubah panik. Dan Langit langsung melompat turun lalu menarik Malia untuk menjauh. "Ini enggak seperti yang kamu duga, Mal!" Ucapnya, suaranya penuh permohonan.
Tapi Malia sudah tak mampu lagi berkata. Tubuhnya terasa lemas, lututnya goyah. Lidahnya terasa kelu. Dipandanginya wajah Sandra dengan mata berkaca-kaca. Langit pun lalu memeluknya erat, menopang tubuhnya yang hampir ambruk. "Kita pergi dari sini," ucapnya, mencoba menarik Malia menjauh dari pandangan Sandra.
Dari dalam mobil, Sandra menatap keduanya dengan wajah memerah padam, cemburu dan dendam bercampur menjadi satu. Mulutnya bergetar, rahangnya mengeras. Dadanya terasa sesak oleh api cemburu yang membakar. Ia pun buru-buru menekan gas mobilnya, lalu dengan cepat berlalu dari sana, meninggalkan kepulan asap dan suara decitan ban.
Langit membawa Malia kembali ke ruangannya, lalu menutup pintu dengan pelan. "Maafkan, aku..." sesalnya, suaranya bergetar.
"Kenapa, Lang...? Kenapa ini terulang lagi?" lirih Malia, kepalanya tertunduk, suaranya parau.
Langit diam tak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa. Malia pasti tak akan percaya.
"Lang..." Malia memanggil, mengangkat wajahnya perlahan.
Tapi kini kedua mata itu menatapnya dengan lembut. Tak ada kemarahan yang berapi-api di sana, hanya kesedihan dan sedikit kebingungan. Kenapa Malia jadi berubah? tanyanya dalam hati, terkejut dengan reaksi gadis itu yang tak seperti biasanya.
"Aku akan terima apa pun alasannya, asal kamu jujur... Aku percaya kamu," imbuh Malia, suaranya pelan namun penuh ketulusan.
"Aku... maksudku, Sandra meminta bertemu karena katanya ada informasi mengenai kecelakaan Ayahku. Katanya ada saksi yang melihatnya." Suara Langit terdengar ragu.
"Saksi? Maksud kamu...?" Suara Malia tercekat. Jantungnya berdetak kencang, memukul-mukul dadanya dengan brutal. Setiap kata Langit bagai palu yang menghantam.
"Katanya saksi itu melihat orang yang ada di dalam mobil yang menabrak Ayahku."
"Apa dia... mengenalinya?" Tanya Malia dengan suara bergetar.
Langit kembali mengangguk, tak menyadari betapa setiap anggukannya adalah pukulan telak bagi Malia. "Dia mau mengajak aku buat ketemu saksi itu."
Malia menatap Langit dengan bibir bergetar, air mata menggenang di matanya. Nasibnya kini berada di ujung tanduk, tergantung pada seutas benang tipis. Tidak, ia tidak takut Langit akan membencinya seumur hidup. Ia bahkan tak takut jika harus menerima hukuman. Ia hanya takut melihat Langit hancur dan tak bisa bangkit lagi, hancur oleh kebenaran yang akan ia ucapkan.
"Kamu kenapa?" Langit memandang Malia dengan terkejut, melihat kepanikan di mata gadis itu.
Malia menggeleng. "Enggak apa-apa. Aku cuma kaget," dustanya.
"Tapi kamu kelihatan pucat. Kamu sakit lagi?" Langit menyentuh kening Malia, merasakan dinginnya kulit gadis itu.
Malia kembali menggeleng, lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Aku enggak sakit. Beneran! Jawabnya, mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajah Langit. Mmm... aku udah ditunggu Papa untuk meeting. Aku pergi dulu, ya," pamitnya, lalu bergegas menuju ruangan Sang Papa.
Perlahan Malia masuk ke dalam ruangan itu lalu menutup pintunya rapat-rapat, menguncinya dari dalam, seolah takut seseorang akan menerobos masuk.
"Biarkan terbuka, Mal. Papa menunggu Pak Johan," ucap Pak Subagja tanpa menoleh. Ia tengah sibuk memberi instruksi kepada seorang asisten wanita yang berdiri di hadapannya.
"Tapi aku mau bicara sekarang, Pah!" Suara Malia terdengar menuntut.
Pak Subagja lalu meminta asistennya untuk meninggalkan ruangan, merasakan ada sesuatu yang serius. "Apa yang mau kamu bicarakan?" Tanyanya, keningnya berkerut.
"Tentang kecelakaan itu," ucap Malia, suaranya nyaris berbisik namun terdengar begitu jelas di keheningan ruangan.