Dari jendela apartemennya, Sandra menatap malam yang gelap dan pekat, seolah mencerminkan perasaannya. Pikirannya tak tentu arah, seperti benang kusut yang tak bisa diurai. Ia kebingungan menghadapi hari esok, bayangan buruk terus menghantuinya. Ia sangat takut Bu Widya akan memanggilnya kembali. Karena ia sangat yakin, perempuan manja dan manipulatif itu pasti sudah mengadukannya lagi kepada The Godfather-nya, Pak Subagja. Dan kali ini Bu Widya tidak akan memberinya lagi kesempatan.
Bagaimana nasibnya nanti kalau ia sampai kehilangan pekerjaan? Ia tak akan mampu membayar cicilan apartemen dengan sisa tabungannya yang tak seberapa. Dan ia juga harus mengembalikan mobil perusahaan yang dipakainya, berarti ia akan kembali tanpa apa-apa. Bodoh sekali! Sandra menghembuskan napasnya yang berat, terasa sesak di d**a. Dipandanginya ponsel di tangannya, layar gelapnya memantulkan wajah cemasnya. Saat ini yang paling ditakutinya adalah melihat ponselnya berdering dan nama 'Bu Widya' muncul di sana, bagai panggilan kematian. Dan ke mana Langit? Mengapa dia belum menghubunginya lagi? Apakah dia juga takut untuk menghubunginya? Apakah perempuan manja itu juga sudah mengancamnya? Ia yakin perempuan cengeng itu pasti sudah mengelabuinya dengan drama air mata menyedihkan dan penuh manipulasi. Karena dia pasti sudah tahu kelemahan Langit—hati lembut Langit yang mudah iba.
Aah! Dasar bodoh! Sandra kembali merutuki dirinya sendiri, tangannya mengepal. Harusnya ia tak perlu ikut campur dengan urusan mereka, membiarkan Langit jatuh dalam jerat Malia. Toh, ia juga tak tahu pasti apakah saksi itu benar atau tidak. Bagaimana kalau ia salah sangka? Dan kalaupun benar, bagaimana kalau perempuan itu menyangkalnya dan menganggap ia hanya berhalusinasi karena ingin merebut Langit darinya? Perempuan itu bisa membayar pengacara termahal di negeri ini untuk membelanya, sekaligus menjebloskannya ke dalam penjara karena sudah memfitnahnya. Dan Langit akan semakin membencinya, itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Sandra mematikan ponselnya, layar itu meredup, namun ketakutannya justru semakin membuncah. Tiba-tiba saja ia begitu takut, tubuhnya menggigil.
....
Langit menatapi layar ponselnya dengan gelisah, matanya menyusuri setiap kata di layar. Ia tengah menunggu balasan pesan yang baru saja ia kirimkan. Meskipun Malia sudah melarangnya untuk menghubungi Sandra lagi, tapi ia tak bisa membendung rasa penasarannya yang membara. Ia hanya perlu tahu siapa saksi itu dan di mana tempat tinggalnya. Ia akan mendatanginya sendiri. Selama ini ia percaya bahwa tak ada satu pun saksi mata yang melihat saat kecelakaan itu terjadi, karena itulah yang dikatakan oleh polisi. Tapi ternyata ia salah, dan kebenaran itu kini begitu dekat.
"Lang..."
Panggilan Malia yang tertidur di pangkuannya membuat Langit buru-buru menyembunyikan ponselnya di saku.
"Kamu udah bangun?" Langit mengusap lembut wajah Malia yang masih terlihat sembab karena terlalu banyak menangis.
Malia mengangguk lemah. "Kepalaku pusing," ucapnya, suaranya parau.
"Mau aku antar ke rumah?"
Malia menggeleng, menempelkan wajahnya lebih dalam ke paha Langit. "Aku mau tidur di sini aja. Aku enggak mau ketemu Papa."
Langit mengusap rambut Malia. "Bertengkar boleh, tapi kamu tidak boleh memusuhi Papamu."
Malia menggeleng lagi. "Kalau aku pulang, aku akan bertengkar lagi dengan Papa." Suaranya terdengar pasrah.
Langit tersenyum, mencoba meringankan suasana. "Masak gara-gara meeting sampai harus bertengkar berlarut-larut? Perbedaan pendapat itu kan, hal yang biasa."
Malia tak menjawab. Ia hanya menatap Langit dengan sorot mata yang hampa, penuh kepedihan yang tak terkatakan. Andaikan dia tahu pertengkarannya dengan Papa adalah karena rahasia kelam itu.
"Oke... Terserah kamu. Ini juga kan, apartemen kamu. Tapi aku harus pulang. Kasihan Mentari sendirian di rumah."
Malia menarik tangan Langit, menggenggamnya erat. "Please temani aku malam ini. Nanti aku akan minta supir untuk menjemput Mentari ke sini sekalian bawain kamu baju ganti." Matanya memohon, penuh keputusasaan.
Melihat tatapan Malia yang begitu sayu, begitu rapuh, membuat Langit akhirnya mengangguk. Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya? Pertengkaran dengan Papanya tadi siang benar-benar membuatnya begitu bersedih. Meskipun Malia tak mau menceritakan persoalan yang mereka perdebatkan, namun ia dapat merasakan beban yang ditanggung Malia pasti sangat berat. Usianya baru dua puluh enam tahun, tapi Papanya sudah memberinya tanggung jawab yang begitu besar, terlalu besar.
Langit kembali mengusap-usap rambut Malia saat gadis itu kembali tertidur di pangkuannya.
Tapi Malia tak bisa benar-benar memejamkan mata, meskipun ia berusaha keras. Padahal ia ingin sekali terlelap sampai pagi, melarikan diri dari kenyataan. Ia sudah lelah menangis, air matanya sudah mengering. Tubuhnya bahkan sudah tak punya tenaga lagi, ia merasa begitu ringkih, tak berdaya. Nasibnya kini berada di tangan Sang Papa. Entah apa yang akan dia lakukan, tapi ia begitu takut. Dulu ia dan Mario pernah mempercayai kata-kata Papa, mempercayakan nasib mereka padanya. Tapi ternyata Papa membohongi mereka, dan kebohongan itu menghantuinya. Dan sekarang ia juga yakin Papa akan menyelesaikan dengan caranya sendiri, dan kembali membohonginya, melindungi keluarga dengan cara yang salah. Kini ia menyesal telah bercerita padanya, menyesali setiap kata yang terucap.
....
Dengan langkah gontai, Sandra masuk ke dalam ruang kerjanya yang masih sepi, diselimuti keheningan pagi yang mencekam. Hari ini mungkin adalah hari terakhirnya, sebuah fakta pahit yang telah ia pikirkan semalaman sampai tak bisa tidur. Ia bersumpah, kalau perempuan itu sampai membuatnya dikeluarkan dari perusahaan, ia akan membalasnya dengan segala cara. Ia akan membuat Langit meninggalkannya. Dan Langit akan kembali lagi padanya seperti dulu, seperti yang seharusnya.
Sandra menarik napas panjang, mengumpulkannya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia akan segera membereskan pekerjaannya, menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini, agar bisa secepatnya pergi saat keputusan pahit itu datang. Ia tidak ingin mendengar teman-teman kantornya bergunjing di belakangnya nanti, menatapnya dengan tatapan kasihan atau ejekan. Karena ia sangat yakin, begitu ia keluar dari ruangan Bu Widya, maka orang-orang di kantor ini akan tahu penyebabnya. Karena di perusahaan ini tak ada rahasia yang benar-benar rahasia. Bahkan dinding pun bisa berbicara, dan sebentar lagi dia akan berbisik tentang kejatuhannya.
"Sandra!"
Suara tegas yang sangat dikenal itu membuat Sandra mengangkat wajahnya dengan terkejut, jantungnya berdebar kencang. Pak Yanuar, Manager-nya, sudah berdiri di hadapannya, ekspresinya wajahnya datar.
"Iya, Pak!" Sandra bangun dari duduknya, mencoba bersikap tenang.
"Kamu ditunggu di ruangan Bu Widya, sekarang!"
Seketika Sandra merasa kakinya gemetar dan tubuhnya lemas, seolah semua kekuatannya menguap. Meskipun ia sudah tahu ini akan terjadi, sudah memprediksinya, tapi tetap saja ia merasa sangat ketakutan. Ketakutan yang melilit perutnya.
Dengan tertatih, Sandra memaksa kakinya untuk bergerak keluar, diiringi oleh tatapan mata penuh curiga dari teman-temannya yang mulai berdatangan. Mereka tahu pasti, siapa pun karyawan yang dipanggil langsung oleh Bu Widya, pasti telah melakukan kesalahan yang sangat besar, kesalahan yang tak bisa ditoleransi.
Dan kini ia sudah berada di depan pintu ruangan itu, pintu kayu gelap yang terasa seperti gerbang menuju penghakiman. Bersiap untuk dihakimi. Dan ia pun kembali menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang semakin berdebar kencang. Ia harus tenang. Ia tidak akan menangis atau memohon belas kasihan. Ia tidak akan membiarkan perempuan manipulatif itu tertawa gembira mendengar ia menangis menyesali nasibnya. Ia pun lalu mengetuk pintu itu perlahan. Dan saat terdengar sahutan dingin dari dalam, ia lalu melangkah masuk, merasakan tatapan tajam Bu Widya menyambutnya.
"Silakan duduk, Sandra!" Suara Bu Widya terdengar formal, dingin, tanpa emosi.
Sandra lalu duduk di kursi di hadapan Bu Widya, tegap, menunggu wanita itu bicara. Ia sudah tak sabar lagi mendengarnya. Katakan saja sekarang, ia sudah tak takut lagi, batinnya, mencoba meyakinkan diri.
"Kamu pasti sudah tahu kan, kenapa kamu saya panggil lagi ke sini?"
Sandra mengangguk, rahangnya mengeras.
"Sayang sekali kamu tidak bisa menepati janjimu. Padahal kamu karyawan yang berprestasi dan sebentar lagi akan dipromosikan. Tapi semoga nasib kamu lebih baik di tempat lain. Saya akan memberikan surat referensi nanti. Setelah dari sini kamu menghadap kembali ke Pak Yanuar untuk membereskan sisa pekerjaanmu sambil menunggu HRD memproses pengunduran dirimu." Suara Bu Widya datar, namun setiap kata bagai palu yang menghantam.
Sandra menatap Bu Widya dengan bingung, pupilnya melebar. Pengunduran diri? Bukankah perusahaan ini yang memaksanya untuk keluar? Ini bukan pengunduran diri! Sebuah ketidakadilan yang terasa begitu menusuk.
"Ada yang ingin kamu tanyakan?" Bu Widya bertanya, tanpa ekspresi.
Tapi Sandra akhirnya menggeleng dengan pasrah. Percuma melawan. Ia tak akan menang. Mereka punya seribu satu cara untuk menganggapnya bersalah hingga tak perlu memberinya hak kompensasi.
"Tapi sebelum kamu pergi, ada yang mau bertemu denganmu. Kamu tunggu di sini sebentar." Dan Bu Widya pun beranjak dari kursi lalu keluar dari ruangannya, meninggalkan Sandra sendirian dalam kebingungan dan kemarahan.
Tak lama kemudian, pintu ruangan kembali terbuka. Namun kali ini bukan Bu Widya. Seorang pria paruh baya dengan aura dominan yang sangat kentara, melangkah masuk.
"Apa kabar Sandra?"
Sandra merasa jantungnya berhenti berdetak, napasnya tercekat di tenggorokan. Seluruh darahnya serasa membeku. Ditatapnya pria itu tanpa bisa berkata-kata.
Pria itu lalu mengulurkan tangannya, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal. "Saya Prawira Subagja. Ayahnya Malia!" Ucapnya, suaranya dalam dan berwibawa, namun terasa begitu mengancam bagi Sandra. Dunia Sandra seolah runtuh saat itu juga.