Bima baru saja melangkah masuk ke kafe. Aroma kopi pekat langsung menyergapnya. Pandangannya tertuju pada Langit yang sibuk di balik konter, menyiapkan selusin gelas kopi panas.
“Pesanan online?” tanyanya sambil menyapu sekeliling kafe yang masih lengang — hanya ada deretan meja dan kursi kosong.
Langit, tanpa menoleh, menggeleng. “Lu sendiri yang nyuruh gue naikin omzet. Nih, udah pada order. Tinggal kirim ke kantor-kantor!” sahutnya, suaranya sedikit tenggelam di balik dengung mesin kopi. Tak lama kemudian ia menghilang di balik pintu, menenteng selusin kopi di tangannya.
Bima tersenyum sumringah. Ia tak menyangka marketing ala Langit membuahkan hasil yang cepat.
Tak lama, Langit kembali dengan senyum lebar. “Rezeki anak soleh! Ada yang ngasih sarapan,” serunya, menunjukkan sebuah bungkusan di tangannya.
“Berapa orang yang udah lu rayu?” goda Bima, tertawa kecil.
Langit menghitung jari-jari tangannya. “Lumayan!” ujarnya sambil mendengus. “Semalaman gue ngerayu cewek-cewek itu.”
Bima menepuk bahu Langit sambil tertawa. Bagi orang lain merayu mungkin mudah, tapi bagi Langit, itu adalah perjuangan besar.
“Selamat pagi semua!”
Suara ceria itu mengejutkan keduanya. Malia masuk dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
“Hai!” sapa Langit ramah. “Mau kopi?”
“Coffee latte,” jawab Malia, langkahnya ringan menuju meja favorit di sudut dekat jendela.
Bima menatap Langit penuh tanda tanya. Ia menunggu sampai Langit selesai mengantarkan kopi ke meja Malia, lalu segera menariknya ke pojok konter. “Oke, sekarang lu cerita ke gue!” desaknya tak sabar.
Langit hanya tersenyum tipis. “Yah, orang kan, bisa berubah, Mas,” sahutnya santai.
“Enggak secepat itu juga! Ini pasti ada hubungannya sama kedatangan Pak Subagja tempo hari, kan?” tekan Bima.
Langit mengangguk pelan.
“Lu ditawarin apa?”
Langit menghela napas. “Nanti aja, Mas. Complicated.”
Bima mengangkat kedua tangan. “Oke. Tapi nanti lu harus cerita.”
Langit hanya mengangguk. Ia tahu, ia tak bisa merahasiakan apa pun dari Bima.
Dari kejauhan, Malia memperhatikan Langit yang sibuk melayani pelanggan. Sesekali ia tersenyum saat tatapan mereka bertemu, tapi di saat lain wajahnya berubah cemberut ketika melihat pelanggan wanita yang terlalu ramah. Ada kilat cemburu di matanya.
Langit pura-pura tak menyadari, meski risih dengan perhatian itu, tapi ia mencoba membiasakan diri. Bukankah sejak awal ia tahu pekerjaan ini tak akan mudah? Ia menarik napas panjang. Demi Mentari, apa pun akan ia lakukan.
Malia melirik jam di ponselnya saat Langit akhirnya datang menghampiri mejanya. “Istirahat?” tanyanya penuh semangat. Matanya berbinar.
Langit mengangguk. "Kamu udah pesan..."
Belum sempat Langit menyelesaikan kalimatnya, Malia sudah menarik tangannya keluar kafe.
“Kita mau ke mana?” tanya Langit kaget.
“Makan siang!” sahut Malia riang.
“Loh, katanya mau pesan online, makan di kafe?”
“Aku bosan di kafe,” gerutunya dengan bibir mencebik.
Langit hanya bisa menggeleng, mengikuti langkah Malia menuju sedan mewah yang sudah menunggu di depan lobi—mengantarkan mereka ke sebuah restoran Jepang favorit Malia.
"Kamu mau pesan apa?" Tanya Malia, begitu mereka duduk.
“Terserah kamu." Langit menjawab malas.
“Aku pesenin yang terenak, ya?” sahut Malia, seraya membuka menu.
Langit menghela napas panjang. “Kenapa enggak bilang dulu sebelum narik aku ke sini?”
“Kalau nanya dulu, kamu pasti nolak. Kamu kan, selalu punya alasan buat nolak kemauanku,” jawab Malia cepat.
“Karena aku kerja, Mal. Di kafe cuma ada aku sama Mas Bima. Aku enggak bisa ninggalin lama-lama.”
“Tapi kita kan, cuma makan sebentar.”
Langit menatapnya, lelah. Percuma berdebat. Ia tahu Malia tak pernah merasakan bekerja dengan orang lain. Ia tak tahu rasanya menjadi pegawai yang tak bisa seenaknya menggunakan waktu pribadi. Dalam hatinya, ia mulai ragu. Sanggupkah ia menghadapi gadis ini berbulan-bulan ke depan?
“Oke,” katanya akhirnya. “Mulai sekarang aku enggak bakal nolak, tapi kamu juga harus bilang dulu. Kita diskusi dulu mau ke mana, mau ngapain. Biar aku enak minta ijin ke Mas Bima.”
Malia terdiam, lalu mengangguk kecil. “Oke. Tapi kamu juga janji, kalau aku chat langsung dibales. Enggak boleh lama!”
“Kalau aku enggak sibuk, pasti kubales. Tapi kalau belum dibales, itu tandanya kamu harus s-a-b-a-r,” ucap Langit menatapnya serius.
Malia mencebik, tak puas dengan jawaban Langit. Langit hanya bisa menghela napas. Benar kata Pak Subagja — ini akan jadi pekerjaan yang berat.
Makan siang itu diisi oleh obrolan ringan. Malia lebih banyak bertanya tentang Langit dan Mentari, hampir tak pernah menyentuh topik dirinya sendiri. Dan Langit pun demikian. Seolah keduanya memang sengaja tak ingin membuka masa lalu yang menyakitkan.
Sampai akhirnya, sebuah pertanyaan keluar dari bibir Malia. “Kalau pacar?”
“Enggak ada,” jawab Langit, singkat dan datar.
Malia mengangkat ponsel, menunjukkan sebuah foto di layar. “Terus ini siapa?”
Langit seketika tersenyum. Ia tak menyangka Malia akan menanyakannya. “Itu Devia, tetangga sebelah. Dia nemenin Mentari waktu aku ke rumah kamu. Mereka nungguin aku makan bareng di rumah."
Malia masih belum puas. “Dia yang masak juga?”
Langit menatapnya lelah. “Dia cuma bantuin Mentari."
Malia akhirnya tersenyum, senyum tipis yang melegakan Langit. “Selesai makan, kamu langsung pulang, ya?” pintanya.
“Kenapa harus pulang?” Malia menyahut malas.
“Karena aku udah nurutin permintaan kamu. Sekarang gantian kamu nurutin aku,” ujar Langit, mencoba tegas.
Malia akhirnya mengangguk. “Tapi nanti malam kita video call, ya?”
Langit mengangguk cepat. Apapun asal Malia tak menungguinya di kafe lagi. Ia tak ingin Malia membuat drama.
“Kok enggak dihabisin?” tanya Langit melihat sushi di piring Malia masih tersisa banyak.
“Aku kenyang,” jawab Malia sambil mengusap perutnya.
“Tapi kamu baru makan dua potong.”
“Aku bosan! Kamu aja yang habisin,” katanya, mendorong piring ke depan Langit.
Langit mendengus, menatapnya lelah. “Oke. Kalau kamu enggak makan, aku juga berhenti.”
Malia terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan mata berbinar nakal. “Oke, tapi suapin aku!”
Langit terpaku, kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ya Tuhan… ia benar-benar tak menyangka pekerjaannya akan sesulit ini. Tapi ia tahu, menolak hanya akan memicu drama baru.
“Oke, aku suapin. Tapi habis ini kita langsung pulang.”
Senyum Malia pun merekah. Ia menerima suapan Langit dengan bahagia, menatap wajah kesal lelaki itu diam-diam. Dalam hati, ia tersenyum. Dia lebih tampan kalau lagi kesal.
Sepulang makan siang Langit melangkah cepat menuju kafe. Ia langsung menghampiri Bima di konter. “Maaf, Mas, kelamaan,” ucapnya.
“Gue maafin. Tapi sekarang, cerita dulu,” jawab Bima tegas.
Akhirnya Langit menceritakan semuanya dari awal hingga akhir.
“Jadi dia minta lu jadi temen dekatnya Malia?” tanya Bima memastikan.
Langit mengangguk lesu. “Tapi sekarang gue enggak yakin, Mas. Malia itu… sulit.”
“Makanya Pak Subagja ngasih bayaran. Karena dia tahu anaknya sulit.”
“Tapi kalau gue gagal gimana?”
“Lu kan, enggak disuruh nyembuhin, Lang. Cuma nemenin. Bikin dia mau keluar rumah, mau terapi lagi.”
Langit mengangguk pelan. Tapi keraguan tetap ada di matanya. “Terus kalau dia beneran suka sama gue?”
Bima terkekeh. “Lah, bukannya emang dia udah suka? Yang perlu lu takutin itu malah sebaliknya. Gimana kalau lu juga jadi suka sama dia?”
“Ah, enggak mungkin, Mas.”
“Yang enggak mungkin itu, kalau lu tiap hari ketemu terus enggak ngerasa apa-apa.”
Langit terdiam. Pandangannya kosong menatap kafe yang sepi. Ia menarik napas panjang. Mungkin, ia memang tak punya banyak pilihan. Mungkin inilah cara Tuhan memberinya jalan keluar. Untuk Mentari. Untuk hidupnya.
...
Malam itu, Langit duduk bersandar di ranjangnya. Lampu kamar redup, hanya temaram dari meja kecil di samping tempat tidur yang menemani. Ponsel di tangannya masih menyala — layar menampilkan notifikasi pesan dari Malia:
“Makasih buat hari ini. Aku senang.”
Ia menatap pesan itu lama, tapi tidak membalas. Napasnya terhela pelan.
Ada sesuatu yang menyesak di dadanya — semacam perasaan bersalah yang tak ia pahami sepenuhnya. Apa yang ia lakukan hari ini… terasa salah, tapi di saat yang sama, juga satu-satunya cara yang bisa ia pilih.
“Demi Mentari,” gumamnya lirih, menatap langit-langit kamar. “Cuma demi dia.”
Tapi setiap kali ia mengingat tatapan Malia, hatinya terasa berat. Seperti ada yang salah. Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada di hatinya.
Langit memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, ini bukan sekadar soal uang lagi. Ini tentang nurani. Dan ia takut… kalau suatu hari nanti, salah satu dari mereka akan terluka.