Intervensi Malia

1090 Words
Langit baru saja akan menikmati sarapan pagi dengan tenang saat ponselnya bergetar, menampilkan pesan masuk: foto selfie Malia dengan seringai lebar, memegang sekotak makanan. "Kita sarapan bareng ya, sebelum cafe buka. Otw..." begitu bunyinya. Kepala Langit mendadak pening. Bagaimana bisa sepagi ini Malia sudah mengganggunya? Dipandanginya semangkuk bubur ayam hangat yang sudah disiapkan Mentari di atas meja makan. Langit menghela napas panjang, terpaksa harus melewatkannya. Bergegas ia menyalakan motor, berangkat lebih awal dari biasanya. "Hai...!" Suara Malia terdengar saat Langit baru saja memarkirkan motornya. Gadis itu muncul dari dalam mobilnya. "Kamu dari tadi nungguin aku di sini?" tanya Langit, heran. Malia mengangguk, bibirnya mengerucut. "Aku tungguin kamu di mobil sampai bosan," sahutnya manja. Langit hanya bisa menggelengkan kepala. Ia sudah menduga Malia pasti menunggunya sejak ia masih di rumah. Buru-buru ia menarik tangan gadis itu masuk ke dalam elevator. Ia tak ingin orang-orang melihat mereka berduaan dan menjadi bahan gosip warga gedung itu. Apalagi ia sudah melihat beberapa pasang mata yang mulai melirik dan berbisik saat berpapasan dengan mereka. "Kamu pagi-pagi ke sini cuma mau sarapan bareng aku?" tanyanya, menarik Malia masuk ke dalam kafe. Malia mengangguk antusias. Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam tasnya. "Aku bikinin kamu banana chocolate pancake," ucapnya bangga, matanya berbinar. Melihat ekspresi bahagia di wajah Malia, hati Langit pun melunak. Ah, dia begitu perhatian, gumamnya dalam hati. "Makasih, ya. Kamu udah repot-repot bikinin aku sarapan," ucapnya tulus. Malia menggeleng. "Gak repot, kok. Aku memang senang bikin kue." Langit menyuapkan sepotong kue itu ke dalam mulutnya. "Hmm! Enak banget!" pujinya, takjub. "Kamu suka?" Malia menatap Langit dengan mata berbinar penuh harap. Langit mengangguk yakin. Ia tidak berbohong. Kue itu memang benar-benar enak. Apalagi Malia sudah bersusah payah membuatkan khusus untuknya. Ia harus menghargai pengorbanannya. "Nanti aku bikinin lagi buat kamu!" Sahut Malia kegirangan. Seketika Langit berhenti mengunyah. Duh, kenapa jadi salah bicara? Bisa-bisa setiap pagi dia sarapan di sini? Gerutunya dalam hati. "Kenapa?" Malia menatap Langit dengan curiga, alisnya terangkat. "Oh! Enggak apa-apa. Aku cuma ngerasa enggak enak aja udah bikin kamu jadi repot," dustanya, mencoba tersenyum tipis. "Aku kan, udah bilang enggak merepotkan sama sekali. Aku memang suka bikin kue." Malia bersikeras. Langit akhirnya tersenyum tipis. Tak tega rasanya menolak ketulusan gadis itu. Namun ketenangan pagi itu pecah saat sebuah pesan masuk ke ponsel kafe. Langit bergegas masuk ke konter, membuka pesan itu — pesanan delivery lima belas kopi dan roti yang harus dikirim pukul sembilan. Ia melirik jam tangannya. Setengah jam lagi kafe buka. “Sorry, Mal. Aku enggak bisa temenin kamu lama-lama. Sebentar lagi kafe buka, dan aku juga harus siapin pesanan delivery buat kantor. Jadi kamu sarapan sendiri dulu, ya?” ucapnya terburu-buru. “Kamu sendiri yang nganterin kopi-kopi itu?” tanya Malia, wajahnya langsung berubah keruh. Langit mengangguk, sibuk menyiapkan gelas karton. “Kenapa mesti dianterin? Kan biasanya mereka beli langsung ke sini?” suaranya meninggi. “Ini servis tambahan. Aku mesti bantuin Mas Bima ngejar omzet. Tiga bulan lagi sewa kafe jatuh tempo, dan uangnya masih kurang.” Malia melipat tangan di d**a, menatap tajam. “Kalau sewa udah lunas, kamu enggak perlu nganter-nganter lagi, kan?” “Ya... mungkin enggak,” jawab Langit pelan — separuh jujur, separuh ingin tahu reaksinya. Dan benar saja. Malia tiba-tiba masuk ke konter, merebut ponselnya lalu membaca pesan-pesan di akun kafe. “Kamu merayu mereka beneran, apa demi omzet?” suaranya bergetar, cemburu kentara di matanya. Langit menatapnya tanpa kata. Ia tahu cepat atau lambat Malia akan tahu, tapi tak menyangka reaksinya akan separah ini. “Demi uang sewa, Malia. Itu cuma marketing!” ujarnya membela diri, bingung kenapa harus merasa bersalah padanya. “Aku pulang!” Dan dengan tiba-tiba Malia membuka pintu lalu membantingnya keras, meninggalkan Langit yang hanya bisa mengelus d**a. Ya Tuhan... Miss Drama Queen ini benar-benar menguji kesabaranku. Ia menatap pintu yang baru saja tertutup rapat. Seketika ia ragu apakah sanggup bertahan berbulan-bulan menghadapi gadis itu. “Pagi!” Suara ceria memecah lamunannya. Bima datang sambil menenteng boks roti. “Ada orderan lagi?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lagi disiapin, sama orderan roti juga,” jawab Langit, menuangkan kopi ke gelas karton. “Wah, rayuan Dewa Langit memang dahsyat!” Pujian itu membuat Langit tergelak kecil. Kafe pagi itu ramai luar biasa. Langit dan Bima bahkan tak sempat meluruskan kaki. Baru saat makan siang mereka bisa bernapas lega. “Kalau begini terus, sebulan lagi kita udah bisa nutup kekurangan sewa,” ucap Bima sumringah, seraya menghempaskan tubuhnya di kursi. “Gue yakin bisa, Mas,” sahut Langit, mengulurkan secangkir espresso yang baru dibuatnya. “Lu enggak janjian makan sama Malia?” tanya Bima santai. “Tadi pagi dia udah ke sini sebelum kafe buka. Ngajak sarapan,” jawab Langit malas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Pagi banget?” “Gue masih di rumah, dia udah nungguin,” gerutunya. Bima tertawa kecil. “Sabaaar!” katanya sambil mengangkat ponselnya yang berdering. Namun wajahnya berubah setelah mendengar suara di seberang. Ia bergegas masuk ke ruang kecilnya, lalu keluar lagi beberapa menit kemudian dengan ekspresi bingung. “Kenapa, Mas?” tanya Langit. Bima duduk di hadapan Langit. “Lu cerita sama Pak Subagja kalau kita kekurangan dana buat sewa?” tanyanya serius. Langit menggeleng. “Tadi yang nelpon itu Pak Bagja?” firasat buruk mulai muncul. Bima mengangguk. “Dia bilang, biaya sewa kafe kita digratiskan setahun.” Langit hampir menjatuhkan cangkir di tangannya. “Kok bisa?” “Dengan syarat,” ujar Bima pelan, menatap Langit ragu. “Lu enggak boleh lagi aktif di sosmed Dewa Café, nganterin kopi ke kantor, dan... merayu cewek-cewek kantor.” Langit terdiam beberapa detik, lalu menepuk dahinya. “Malia! Tadi dia marah pas lihat pesan-pesan di IG kafe. Dia juga tanya kenapa gue harus nganterin kopi. Ya, gue jawab aja alasan sebenarnya.” Bima menghela napas panjang. “Gue belum jawab Pak Bagja. Terserah lu, mau ambil tawaran itu atau enggak. Soalnya ini urusan pribadi lu sama Malia.” “Terima aja, Mas,” sahut Langit cepat, seolah beban besar terangkat dari pundaknya. “Lu serius?” Langit mengangguk tegas. “Oke. Tapi uang yang udah terkumpul enggak akan gue pakai. Lu simpan aja buat biaya kuliah Mentari nanti.” “Gak perlu, Mas,” sahut Langit terkejut. “Kalau lu nolak, gue batalin tawarannya.” Akhirnya Langit setuju, meski hatinya berat. Setidaknya kini ia bisa bernapas lega — kafe aman, Mentari bisa kuliah tanpa harus menunda lagi. Tapi bayangan hari-hari panjang bersama Malia membuatnya tertegun. Ia menatap kosong ke arah pintu kafe yang tadi dibanting gadis itu. Rasanya seperti menggadaikan diri sendiri, batinnya getir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD