Langit terpaku, menatap Malia yang berdiri di hadapannya. Gaun terusan biru bermotif bunga membalut tubuh gadis itu dengan anggun hingga ke mata kaki. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai, berkilau lembut di bawah cahaya senja. Riasan wajahnya tipis, tapi cukup untuk menonjolkan kecantikannya. Ia tampak begitu berbeda— seperti bukan Malia yang ia kenal.
Malam ini, Malia memang mengajaknya makan malam di sebuah restoran. Dalam benak Langit, ini hanya bagian lain dari kewajiban, pekerjaan yang dibayar oleh Ayah gadis itu. Namun entah kenapa, karena Malia memilih Sabtu malam dan berdandan tak seperti biasanya, perasaan aneh menyusup di dadanya. Ia merasa seperti hendak pergi berkencan, bukan sekadar memenuhi janji. Jantungnya berdesir, ritmenya berantakan.
“Hai!” Suara Malia yang riang menyentak kesadarannya. Gadis itu melambaikan tangan di depan wajahnya.
Langit tersentak, rona merah menjalari pipinya. “Oh! Sorry. Mmm... masuk dulu, deh. Aku belum ganti baju,” ujarnya, sedikit gugup.
Mentari langsung berlari menyambut Malia begitu mendengar suaranya. Tak lama kemudian, tawa dan obrolan akrab mereka memenuhi ruangan.
Di depan cermin kamarnya, Langit menatap pantulan dirinya. Ditatanya rambutnya dengan jemarinya. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang biru—setelan ketiga yang dicobanya setelah dua sebelumnya ia singkirkan karena ragu. Ia tak ingin membuat Malia malu. Ditariknya napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang gaduh. Ini pertama kalinya ia bermalam minggu lagi setelah dua tahun lamanya—sejak perempuan itu pergi, meninggalkan luka yang tak sepenuhnya sembuh.
Langit mengusap wajah, mengusir nostalgia pahit, lalu melangkah keluar kamar. Tapi saat melihat Malia menunggunya, ia kembali tercekat. Gadis itu tampak terlalu cantik. Entah kenapa, ia merasa tak cukup pantas berdiri di sampingnya.
Malia menatap Langit penuh kekaguman, matanya membulat. Senyum lebar menghiasi wajahnya, menyingkap gigi putih yang rapi. Ia tak menyangka cowok galak yang biasanya berkaus oblong dan jeans belel itu bisa tampil serapi ini. Langit terlihat berbeda—seperti model iklan rokok dengan aura maskulin yang misterius. Sebuah rasa bangga menyelinap di hati Malia; Langit berpenampilan sebaik itu hanya untuk bersamanya.
Mentari bersiul nakal. “Ehm! Ganteng banget Masku!”
Langit salah tingkah, sementara Malia sudah menarik tangannya ke teras. “Yuk, kita berangkat!” katanya riang, meraih helm di atas motor.
Langit membelalakkan mata. “Kamu mau naik motor dengan penampilan kayak gitu?”
Malia mengangguk santai. “Kenapa? Aku nggak apa-apa kok.”
“Enggak!” sahut Langit tegas. Ia menarik nafas, menggerutu—kenapa selalu ada drama setiap kali bersamanya.
“Tapi...”
“Kalau kamu maksa, aku nggak mau pergi.” Tatapan Langit tajam, tak memberi ruang debat.
“Oke, oke,” Malia mengangkat tangan, menyerah. “Kalau gitu, pakai mobilku aja. Daripada nunggu taksi lama, kan?”
Kali ini Langit mengangguk, menyerah dengan helaan napas panjang.
Di dalam mobil, Malia terus menatap Langit sambil tersenyum. Tangannya yang lembut menggenggam tangan Langit erat-erat, membuat jantungnya berdetak makin kencang. Sentuhan itu terasa asing sekaligus familiar. Ada kenyamanan, tapi juga kegelisahan.
“Ehm, sorry!” Langit pura-pura batuk lalu menarik tangannya, pura-pura menutup mulut. Ia menangkap lirikan supir dari cermin atas—mendadak gugup. Ia takut pria itu melapor pada Pak Subagja kalau ia melampaui batas.
Senja berganti malam. Mobil berhenti di depan lobi hotel bintang lima yang menjulang megah.
“Kamu kok nggak bilang kalau kita makan di hotel?” tanya Langit, sedikit terkejut.
“Kalau aku bilang, kamu pasti nolak,” sahut Malia sambil manyun.
Langit mengulurkan tangan, membantu Malia keluar dari mobil. Gestur spontan itu membuat Malia tersenyum bahagia.
Pelayan menyambut mereka sopan dan mengantar ke meja di sudut dengan pemandangan kota yang gemerlap.
Langit menatap sekeliling restoran mewah itu. Lampu kristal berkilau, aroma masakan mahal memenuhi udara, dan semua pengunjung tampak rapi serta elegan. Dunia ini terasa asing baginya. Satu porsi makanan di sana sama dengan uang saku mingguan Mentari. Sebuah jurang besar terbentang di antara dirinya dan Malia.
Ia melirik pakaiannya sendiri. Rapi, tapi terasa seperti kostum. Ia menatap Malia yang sibuk memilih menu dengan bibir mengerucut lucu. Hatinya melunak. Dia sudah baik padanya. Apa salahnya ia menuruti kemauannya? Rasa bersalah kembali menyusup, menyadari semua yang dilakukannya ini hanyalah bagian dari kontrak. Demi uang.
“Makasih, ya.” Suara lembut Malia memecah lamunannya.
“Buat apa?”
“Buat semua yang kamu lakuin buat aku. Buat nerima keadaanku. Buat jadi orang yang paling dekat sama aku sekarang.” Tatapannya dalam, tulus.
Langit tersenyum tipis. Pahit. Ia merasa semakin tak pantas.
“Aku tahu kok, kamu ngelakuin ini karena disuruh Papa,” tambah Malia jahil, senyumnya menggoda.
Langit hampir menjatuhkan garpu. Wajahnya merah padam.
Melihat ekspresinya, Malia tertawa geli. “Kamu pikir aku percaya begitu aja, tiba-tiba kamu jadi baik?”
Langit bungkam. Malu. Rasanya semua topengnya dibuka paksa.
“It’s okay,” ujar Malia lembut. “Aku nggak peduli kamu belum suka sama aku. Aku yakin, kalau kamu jodoh aku, kita pasti bakal jadian.”
Langit memandangnya lama. Ia belum pernah menemui perempuan dengan keyakinan sesederhana itu. “Aku yakin kamu bakal ketemu orang yang lebih baik dari aku,” ujarnya pelan.
Malia menggeleng. “Aku nggak mau yang lebih baik. Aku mau kamu. Aku percaya Tuhan kirim kamu bukan cuma buat nyelamatin aku, tapi buat bahagiain aku. Karena kalau aku nggak bahagia, buat apa aku hidup?”
Langit tercekat. Kata-kata itu menamparnya lembut sekaligus menyesakkan. Mungkinkah gadis ini begitu kesepian hingga menaruh seluruh kebahagiaannya pada orang asing sepertinya? Sebuah rasa iba merambat diam-diam.
“Aku tahu suatu saat nanti kamu bakal cinta sama aku.” Malia menatapnya penuh keyakinan.
Langit meneguk minumannya cepat-cepat. Sadar, Langit. Ini cuma tugas. Ini sementara. Akan berakhir.
“Kamu nggak bisa selalu dapetin apa yang kamu mau,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas.
“Aku juga nggak selalu dapet apa yang aku mau. Aku berdoa siang malam dua bulan buat adikku diselamatin. Tapi Tuhan nggak kabulin.”
Nada suaranya merendah. Air mata nyaris jatuh, tapi segera ia tahan. Ia memalingkan wajah, menatap jendela yang temaram.
“Maaf…” Langit spontan meraih tangannya, mengusap lembut, menyesal karena menyinggung luka lamanya.
“It’s okay. I’m fine now.” Malia tersenyum kecil, meski suaranya bergetar.
Setelah makan malam, mereka menonton film. Langit menuruti semua keinginan Malia tanpa banyak bicara. Ia sadar, membuatnya bahagia adalah bagian dari pekerjaannya—entah tulus atau tidak. Hingga akhirnya, tengah malam tiba dan kencan itu berakhir.
“Makasih ya, buat malam yang menyenangkan,” ucap Langit begitu mobil berhenti di depan rumah. Namun sebelum ia sempat turun, sebuah kecupan lembut mendarat di pipinya.
Langit membeku.
“Aku yang makasih,” bisik Malia, wajahnya bersemu, matanya berbinar.
Langit langsung keluar dari mobil, pipinya panas. Ia bahkan tak berani menoleh.
Menjelang pukul satu dini hari, Langit masih terjaga. Ia menatap langit-langit kamarnya, tangannya refleks menyentuh pipi yang tadi dicium. Sentuhan itu terasa nyata, membekas. Ia belum berganti pakaian, pikirannya penuh bayangan Malia—senyum, tawa, genggaman tangannya, kepala yang bersandar di bahu sepanjang film. Apakah hatinya mulai berkhianat? Merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar tugas? Ia menghela napas berat. Besok entah apa lagi kejutan darinya.